Mohon tunggu...
Galang Ksatria Bella
Galang Ksatria Bella Mohon Tunggu... Auditor - penulis lepas

Penulis pernah berkuliah di Hubungan Internasional Universitas Airlangga. Kini, penulis adalah pengurus Majelis Kalam Ikaran Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Surabaya, Aktivis HIPMI Surabaya, dan Pegiat HMI Cabang Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perempuan, Dipuja seperti Dewi, Ditololkan seperti Tidak Penuh

25 Oktober 2018   22:09 Diperbarui: 25 Oktober 2018   22:29 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Garis waktu bergerak tanpa ada yang bisa menghentikan. Garis takdir pun katanya juga tak ada yang bisa mengubahnya. Lalu manusia memilih untuk berdamai dengan waktu, sembari menerima kenyataan-kenyataan. Padahal, tidak ada salahnya untuk menghentikan waktu. Lalu melihat setiap yang sudah terlewati. Barangkali yang sudah lewat itu kemudian disebut sejarah.

Sejarah soal perempuan panjang sekali. Awal peradaban manusia di bumi juga tidak lepas dari peran Ibu Hawa. Tanpa adanya political will dari Ibu Hawa, yang meminta suaminya untuk memetik buah yang dilarang itu, peradaban manusia tidak ada. Atau bisa juga, peradaban manusia itu ada, namun tinggalnya di surga sana.

Oh perempuan, kudeta berdarah pertama di Jawa juga tidak lepas dari peranmu. Tunggul Ametung lengser dari kursi Raja, tidak lepas juga dari konspirasi Ken Arok dan Ken Dedes. Tanpa perempuan juga, Reog Ponorogo sebagai warisan peradaban Nusantara yang diakui dunia internasional, juga tidak ada.

Katanya, reog itu merupakan sindiran Adipati Wengker pada raja waktu itu, agar tidak mabuk oleh perempuan. Kepala Singa dalam Reog, adalah simbol ketegasan Raja. Lalu bulu burung merak yang indah, mengapit kepala itu. Bulu burung merak itu, adalah simbol kecantikan perempuan. Dan siapa saja yang diapit keindahan itu, akan mabuk kepayang. Sebagaimana gerakan tari reog ponorogo.

Begitulah kenyataan perempuan dalam sejarah. Meskipun kenyataan itu juga tidak lepas dari fakta yang dikonstruksikan. Lalu bagaimanakah perempuan seharusnya? Apakah aspirasi perempuan adalah sebagaimana yang didengungkan oleh Aktivis Feminim itu? Ataukah ada persoalan yang belum tuntas ketika kita bicara perempuan yang seharusnya.

Tidak perlu dulu bicara posisi perempuan dalam kemajuan bangsa dan negara. Ada sesuatu yang perlu kita pahami dengan kacamata kita sebagai laki-laki. Dan kacamata kita sebagai perempuan. Dengan kacamata masing-masing, coba kita definisikan apa itu perempuan. Dalam kacamata laki-laki dan perempuan, jika dminta melihat apa itu perempuan, maka jawabannya tidak jauh-jauh bahwa perempuan itu bak permata.

Permata itu dipuja karena keindahannya. Permata itu membutuhkan pengorbanan untuk mendapatkannya. Permata itu adalah sesuatu yang berharga yang harus disimpan. Dan sungguh, tak ada satupun perempuan yang tak ingin dijadikan permata dihadapan laki-laki.

Semua berlomba menjadi permata. Lalu, kulit jelita, bibir merah dan alis lebat melengkung, bukan satu hadian pemberian Tuhan yang terdapat pada sedikit saja perempuan. Melainkan kini, siapapun bisa cantik asal ia mampu membeli perangkatnya.

Barangkali cita-cita untuk menjadi permata berkilau adalah impian setiap perempuan. Itu sah-sah saja. Sebagaimana laki-laki miskin, berjuang keras untuk sukses dengan harapan kehidupannya berubah. Cerita-cerita soal itu banyak dan tidak lepas dari sejarah. Ken Arok, seorang gembala, karena kepribadiannuya kemudian menjadi Maha Raja di Raja.

Ciung Wanara, anak tukang besi, menjadi Sang Prabu Pajajaran, karena kepribadiannya. Tapi bagi perempuan, hanyalah kecantikan wajah dan badan yang dianggap mendatangkan kehidupan baik. Sebagaimana menurut Bung Karno, kalau tidak kebetulan sang Arjuna berjalan melewati rumah, dan tertarik oleh keelokan yang "seperti bulan purnama", maka tak mungkin si gadis miskin naik derajat menjadi putri di dalam keraton.

Yang paling radikal kemudian, perempuan memaksa dirinya untuk tak perlu pintar, asal tenang dan menurut. Tak perlu bekerja, asal sedia berkorban, halus suara, merendah dan mengurus rumah tangga saja. Perempuan memang harus menerima kenyataan ini, namun jika perempuan hanya menerima kenyataan saja, seharusnya kata dan makna kemajuan dihapuskan saja.

Ada hal-hal yang perlu pertama kali dilakukan untuk membuat kenyataan baru. Hal itu adalah soal kesadaran para perempuan. Kesadaran adalah hasil dari membaca situasi yang terjadi. Alangkah ironis, jika kemudian perempuan di era kontemporer tidak lagi bisa membaca situasi.

Sebagaimana kolam yang harusnya tenang, kolam itu kemudian bergelombang dan beriak. Setetes air yang jatuh hanya dapat disadari oleh kolam yang tenang itu. Bahkan hujan yang deras sekalipun, tak mungkin disadari oleh kolam yang beriak dan bergelombang.

Artinya perempuan harus mengembalikan dirinya sebagai manusia yang tenang. Tak perlu berlomba-lomba atas sesuatu yang dianggap itu tantangan jaman. Tak perlu kerja giat mengejar kekuasaan mutlak pada jabatan-jabatan publik, lalu abai bahwa ia adalah penguasa mutlak urusan domestik. Dimana alam ini mendapat kesukaran, dimana alam ini dikurangi haknya, disitulah soal ini menjadi genting.

Agar tidak genting, ada tiga hal yang harus disadari perempuan. Pertama, lelaki bekerja dari matahari terbit sampai terbenam. Perempuan bekerja tidak ada hentinya siang dan malam. Artinya, ada beban hidup yang besar dalam pundak perempuan.

Kesadaran bahwa beban rumah tangga itu berat harus dipikirkan. Artinya, ada pihak yang ditaruhkan dalam besaran rumah tangga itu, yakni anak. Indikator kemajuan bangsa bukan di laki-laki sebagai suami, atau perempuan sebagai ibu, melainkan pada kualitas penerusnya.

Kedua, perempuan juga tidak pada tempatnya jika terlalu nyaman pada kondisi perhambaan. Perhambaan pada laki-laki yang turun temurunlah yang melahirkan perempuan sebagai makhluk yang lemah, tumpul pikiran, penakut dan sebagainya.

Itu semua bukan kodrat yang melekat pada kaum perempuan, melainkan adalah hasil dari pengurungan.

Pengurungan sebenarnya adalah konsekuesni dari cinta laki-laki yang berlebihan. Pengurungan bukan untuk merendahkan atau menghina. Melainkan untuk menghormati dan memuliakannya. Perempuan dinilai seperti dewi, dikasihi seperti dewi, dan diberikan sajen seperti dewi. Tetapi disaat yang sama, perempuan juga harus diawasi, yang seolah-olah tidak bisa melakukan sendiri.

Manifestasi cinta seorang laki-laki kepada perempuan seperti itu banyak. Sebagaimana menurut Havelock Ellis, bahwa perempuan seperti blesteran antara dewi dan seorang tolol. Dipundi-pundikan sebagai seorang dewi, dianggap tidak penuh sebagai seorang tolol.

Dua kesadaran inilah yang seharusnya menjadi bekal untuk perempuan berpikir kembali. Sehebat apa tarikannya untuk menjadi permata, atau sekuat apa tarikannya ingin menjadi seorang Ibu. Akhir tulisan ini, mengutip pandangan Soekarno ketika ditanya bagaimana rupa masyarakat yang seharusnya?

Soekarno kemudian menjawab bahwa masyarakat yang ia citakan, adalah tiap laki-laki bisa mendapat istri, tiap perempuan mendapat suami. Ini terdengarnya sederhana. Tapi panjang terusannya. Sebagaimana panjangnya angan seorang jomblowan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun