Garis waktu bergerak tanpa ada yang bisa menghentikan. Garis takdir pun katanya juga tak ada yang bisa mengubahnya. Lalu manusia memilih untuk berdamai dengan waktu, sembari menerima kenyataan-kenyataan. Padahal, tidak ada salahnya untuk menghentikan waktu. Lalu melihat setiap yang sudah terlewati. Barangkali yang sudah lewat itu kemudian disebut sejarah.
Sejarah soal perempuan panjang sekali. Awal peradaban manusia di bumi juga tidak lepas dari peran Ibu Hawa. Tanpa adanya political will dari Ibu Hawa, yang meminta suaminya untuk memetik buah yang dilarang itu, peradaban manusia tidak ada. Atau bisa juga, peradaban manusia itu ada, namun tinggalnya di surga sana.
Oh perempuan, kudeta berdarah pertama di Jawa juga tidak lepas dari peranmu. Tunggul Ametung lengser dari kursi Raja, tidak lepas juga dari konspirasi Ken Arok dan Ken Dedes. Tanpa perempuan juga, Reog Ponorogo sebagai warisan peradaban Nusantara yang diakui dunia internasional, juga tidak ada.
Katanya, reog itu merupakan sindiran Adipati Wengker pada raja waktu itu, agar tidak mabuk oleh perempuan. Kepala Singa dalam Reog, adalah simbol ketegasan Raja. Lalu bulu burung merak yang indah, mengapit kepala itu. Bulu burung merak itu, adalah simbol kecantikan perempuan. Dan siapa saja yang diapit keindahan itu, akan mabuk kepayang. Sebagaimana gerakan tari reog ponorogo.
Begitulah kenyataan perempuan dalam sejarah. Meskipun kenyataan itu juga tidak lepas dari fakta yang dikonstruksikan. Lalu bagaimanakah perempuan seharusnya? Apakah aspirasi perempuan adalah sebagaimana yang didengungkan oleh Aktivis Feminim itu? Ataukah ada persoalan yang belum tuntas ketika kita bicara perempuan yang seharusnya.
Tidak perlu dulu bicara posisi perempuan dalam kemajuan bangsa dan negara. Ada sesuatu yang perlu kita pahami dengan kacamata kita sebagai laki-laki. Dan kacamata kita sebagai perempuan. Dengan kacamata masing-masing, coba kita definisikan apa itu perempuan. Dalam kacamata laki-laki dan perempuan, jika dminta melihat apa itu perempuan, maka jawabannya tidak jauh-jauh bahwa perempuan itu bak permata.
Permata itu dipuja karena keindahannya. Permata itu membutuhkan pengorbanan untuk mendapatkannya. Permata itu adalah sesuatu yang berharga yang harus disimpan. Dan sungguh, tak ada satupun perempuan yang tak ingin dijadikan permata dihadapan laki-laki.
Semua berlomba menjadi permata. Lalu, kulit jelita, bibir merah dan alis lebat melengkung, bukan satu hadian pemberian Tuhan yang terdapat pada sedikit saja perempuan. Melainkan kini, siapapun bisa cantik asal ia mampu membeli perangkatnya.
Barangkali cita-cita untuk menjadi permata berkilau adalah impian setiap perempuan. Itu sah-sah saja. Sebagaimana laki-laki miskin, berjuang keras untuk sukses dengan harapan kehidupannya berubah. Cerita-cerita soal itu banyak dan tidak lepas dari sejarah. Ken Arok, seorang gembala, karena kepribadiannuya kemudian menjadi Maha Raja di Raja.
Ciung Wanara, anak tukang besi, menjadi Sang Prabu Pajajaran, karena kepribadiannya. Tapi bagi perempuan, hanyalah kecantikan wajah dan badan yang dianggap mendatangkan kehidupan baik. Sebagaimana menurut Bung Karno, kalau tidak kebetulan sang Arjuna berjalan melewati rumah, dan tertarik oleh keelokan yang "seperti bulan purnama", maka tak mungkin si gadis miskin naik derajat menjadi putri di dalam keraton.
Yang paling radikal kemudian, perempuan memaksa dirinya untuk tak perlu pintar, asal tenang dan menurut. Tak perlu bekerja, asal sedia berkorban, halus suara, merendah dan mengurus rumah tangga saja. Perempuan memang harus menerima kenyataan ini, namun jika perempuan hanya menerima kenyataan saja, seharusnya kata dan makna kemajuan dihapuskan saja.