Mohon tunggu...
Galang Ksatria Bella
Galang Ksatria Bella Mohon Tunggu... Auditor - penulis lepas

Penulis pernah berkuliah di Hubungan Internasional Universitas Airlangga. Kini, penulis adalah pengurus Majelis Kalam Ikaran Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Surabaya, Aktivis HIPMI Surabaya, dan Pegiat HMI Cabang Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perempuan, Dipuja seperti Dewi, Ditololkan seperti Tidak Penuh

25 Oktober 2018   22:09 Diperbarui: 25 Oktober 2018   22:29 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada hal-hal yang perlu pertama kali dilakukan untuk membuat kenyataan baru. Hal itu adalah soal kesadaran para perempuan. Kesadaran adalah hasil dari membaca situasi yang terjadi. Alangkah ironis, jika kemudian perempuan di era kontemporer tidak lagi bisa membaca situasi.

Sebagaimana kolam yang harusnya tenang, kolam itu kemudian bergelombang dan beriak. Setetes air yang jatuh hanya dapat disadari oleh kolam yang tenang itu. Bahkan hujan yang deras sekalipun, tak mungkin disadari oleh kolam yang beriak dan bergelombang.

Artinya perempuan harus mengembalikan dirinya sebagai manusia yang tenang. Tak perlu berlomba-lomba atas sesuatu yang dianggap itu tantangan jaman. Tak perlu kerja giat mengejar kekuasaan mutlak pada jabatan-jabatan publik, lalu abai bahwa ia adalah penguasa mutlak urusan domestik. Dimana alam ini mendapat kesukaran, dimana alam ini dikurangi haknya, disitulah soal ini menjadi genting.

Agar tidak genting, ada tiga hal yang harus disadari perempuan. Pertama, lelaki bekerja dari matahari terbit sampai terbenam. Perempuan bekerja tidak ada hentinya siang dan malam. Artinya, ada beban hidup yang besar dalam pundak perempuan.

Kesadaran bahwa beban rumah tangga itu berat harus dipikirkan. Artinya, ada pihak yang ditaruhkan dalam besaran rumah tangga itu, yakni anak. Indikator kemajuan bangsa bukan di laki-laki sebagai suami, atau perempuan sebagai ibu, melainkan pada kualitas penerusnya.

Kedua, perempuan juga tidak pada tempatnya jika terlalu nyaman pada kondisi perhambaan. Perhambaan pada laki-laki yang turun temurunlah yang melahirkan perempuan sebagai makhluk yang lemah, tumpul pikiran, penakut dan sebagainya.

Itu semua bukan kodrat yang melekat pada kaum perempuan, melainkan adalah hasil dari pengurungan.

Pengurungan sebenarnya adalah konsekuesni dari cinta laki-laki yang berlebihan. Pengurungan bukan untuk merendahkan atau menghina. Melainkan untuk menghormati dan memuliakannya. Perempuan dinilai seperti dewi, dikasihi seperti dewi, dan diberikan sajen seperti dewi. Tetapi disaat yang sama, perempuan juga harus diawasi, yang seolah-olah tidak bisa melakukan sendiri.

Manifestasi cinta seorang laki-laki kepada perempuan seperti itu banyak. Sebagaimana menurut Havelock Ellis, bahwa perempuan seperti blesteran antara dewi dan seorang tolol. Dipundi-pundikan sebagai seorang dewi, dianggap tidak penuh sebagai seorang tolol.

Dua kesadaran inilah yang seharusnya menjadi bekal untuk perempuan berpikir kembali. Sehebat apa tarikannya untuk menjadi permata, atau sekuat apa tarikannya ingin menjadi seorang Ibu. Akhir tulisan ini, mengutip pandangan Soekarno ketika ditanya bagaimana rupa masyarakat yang seharusnya?

Soekarno kemudian menjawab bahwa masyarakat yang ia citakan, adalah tiap laki-laki bisa mendapat istri, tiap perempuan mendapat suami. Ini terdengarnya sederhana. Tapi panjang terusannya. Sebagaimana panjangnya angan seorang jomblowan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun