Selain itu, pasal lainnya justru memberikan ruang lagi pada korporasi untuk penguasaan hak guna usaha dengan memperbolehkan perpanjangan untuk 35 tahun dan dapat diperpanjang lagi hingga 20 tahun. Bahkan nama pemegang izin HGU bisa dirahasiakan. Jerat pidana terhadap masyarakat yang diduga melakukan pelanggaran di atas tanah tertentu juga rawan kriminalisasi.Â
Terakhir, aturan dalam regulasi ini juga dinilai mundur seperti zaman Belanda yakni saat tak bisa dibuktikan kepemilikannya, tanah akan menjadi milik negara.
Wakil Bupati Kepulauan Mentawai Kortanius Sabeleake menyampaikan, pihaknya tengah berupaya merebut kembali lahan-lahan yang dikuasai korporasi.Â
Deputi II Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Erasmus Cahyadi menyampaikan kekhawatirannya terhadap substansi dalam rancangan undang-undang pertanahan. Sedangkan merujuk pada UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, disebutkan hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya.
Jika mengacu pada janji Nawacita Presiden Jokowi, gambaran di atas justru bertentangan dengan tujuan Nawacita. Presiden menjanjikan regulasi pertanahan harus sejalan dengan reformasi agraria, mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.Â
Tanah tidak boleh dikuasai segelintir orang atau badan usaha karena bisa memperparah ketimpangan. Hal-hal itu tidak tampak dalam substansi RUU Pertanahan.
Pada periode lalu, Presiden sempat mendesak agar RUU Pertanahan segera diselesaikan. Presiden bahkan sampai menggelar rapat internal terbatas di Istana untuk membahas perkembangan pembahasan RUU tersebut. Namun, seiring dari penolakan dari publik dan kelompok masyarakat sipil, pendapat fraksi-fraksi di DPR akhirnya terbelah, dengan sebagian besar meminta RUU Pertanahan ditunda saja.
Setelah mendengar masukan dari berbagai pihak, termasuk partai pendukung pemerintah di DPR, Presiden juga melunak dan meminta menunda RUU Pertanahan. Dalam pertemuan antara Presiden dengan pimpinan DPR pada 23 September 2019, di tengah tensi politik nasional yang meninggi dan rangkaian unjuk rasa, RUU Pertanahan masuk dalam daftar 4 RUU yang ditunda pembahasannya.
Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi PDI-P Arif Wibowo mengatakan, RUU Pertanahan akan dibahas ulang di periode ini. Status carry over tidak otomatis menutup kembali ruang pembahasan. Ia juga menjanjikan akan membuka ruang audiensi dengan berbagai pihak dan sektor pemangku kepentingan.Â
Selain para pakar agraria, perwakilan masyarakat adat, kelompok masyarakat sipi, juga perwakilan lintas kementerian/lembaga untuk mengurangi kesan adanya sektoralisme yang tajam.
Ketika ditanya mengenai komitmen pemerintah untuk melindungi hak masyarakat atas tanah, Arif mengatakan, Presiden Jokowi sebenarnya berpesan agar RUU Pertanahan yang dibuat tetap menghormati hak rakyat, tetapi Presiden juga ingin agar jangan sampai menyulitkan investasi dan menghalangi pertumbuhan ekonomi.