Mohon tunggu...
GAIZKA AULIA AZIZA
GAIZKA AULIA AZIZA Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

saya gaiz

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menggugat Keadilan Sosial bagi Rakyat Indonesia

29 November 2021   21:39 Diperbarui: 29 November 2021   21:42 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Komitmen pemerintah untuk mewujudkannya melalui kebijakan yang berpihak pada masyarakat tanpa mengingkari hak asasi manusia menjadi keniscayaan.

Sudah lewat sebulan, para anggota parlemen dan pasangan Presiden-Wakil Presiden dilantik pasca dinyatakan menang pada Pemilihan Umum 2019. 

Kabinet Indonesia Maju 2019-2024 untuk menunjang kinerja pemerintahan juga telah resmi berjalan. Berbagai kebijakan yang sempat terhenti kini kembali dibahas, baik di tataran pemerintah maupun parlemen.

Aneka rancangan undang-undang yang pernah dipersoalkan karena dinilai merugikan masyarakat siap digulirkan lagi. Salah satunya Rancangan Undang-undang Pertanahan. 

Perjalanan RUU Pertanahan akan dilanjutkan di periode 2019-2024 ini. Setelah sempat ditunda di tengah kontroversi sejumlah RUU problematik pada periode lalu, RUU Pertanahan akan kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional 2020.

Komisi II DPR sudah menetapkan tiga RUU yang akan diusulkan masuk Prolegnas 2020. Selain RUU Pertanahan, ada juga revisi UU Partai Politik dan UU Penyelenggaran Pemilu.

RUU Pertanahan yang diwariskan DPR periode 2014-2019 memiliki sejumlah persoalan. Setidaknya, ada persoalan yang tak sesuai perspektif hak asasi manusia sehingga RUU Pertanahan dinilai tak layak untuk disahkan. 

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menemukan rancangan regulasi ini belum mengatur secara jelas mekanisme penyelesaian konflik agraria yang komprehensif akibat dari kebijakan pemerintah masa lalu. 

Kemudian, sejumlah pasal dalam rancangan undang-undang itu justru melanggengkan impunitas pada korporasi yang menguasai lahan secara melebihi luasan haknya dibanding menjawab hak dan kebutuhan masyarakat akan tanah, serta justru melanggengkan konflik agraria.

Selanjutnya berkaitan dengan masyarakat adat yang kerap terdampak dari konflik agraria, ada pembiasaan dan degradasi terhadap konsep pengaturan dan pengakuan masyarakat adat. 

Proteksi hak kepemilikan hanya dilakukan sebatas yang memiliki sertifikat. Padahal secara faktual, tanah rakyat yang juga termasuk masyarakat adat banyak yang tidak memiliki sertifikat. Kesempatan masyarakat hukum adat untuk mendapatkan kembali wilayah adatnya otomatis tertutup

Selain itu, pasal lainnya justru memberikan ruang lagi pada korporasi untuk penguasaan hak guna usaha dengan memperbolehkan perpanjangan untuk 35 tahun dan dapat diperpanjang lagi hingga 20 tahun. Bahkan nama pemegang izin HGU bisa dirahasiakan. Jerat pidana terhadap masyarakat yang diduga melakukan pelanggaran di atas tanah tertentu juga rawan kriminalisasi. 

Terakhir, aturan dalam regulasi ini juga dinilai mundur seperti zaman Belanda yakni saat tak bisa dibuktikan kepemilikannya, tanah akan menjadi milik negara.

Wakil Bupati Kepulauan Mentawai Kortanius Sabeleake menyampaikan, pihaknya tengah berupaya merebut kembali lahan-lahan yang dikuasai korporasi. 

Deputi II Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Erasmus Cahyadi menyampaikan kekhawatirannya terhadap substansi dalam rancangan undang-undang pertanahan. Sedangkan merujuk pada UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, disebutkan hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya.

Jika mengacu pada janji Nawacita Presiden Jokowi, gambaran di atas justru bertentangan dengan tujuan Nawacita. Presiden menjanjikan regulasi pertanahan harus sejalan dengan reformasi agraria, mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah. 

Tanah tidak boleh dikuasai segelintir orang atau badan usaha karena bisa memperparah ketimpangan. Hal-hal itu tidak tampak dalam substansi RUU Pertanahan.

Pada periode lalu, Presiden sempat mendesak agar RUU Pertanahan segera diselesaikan. Presiden bahkan sampai menggelar rapat internal terbatas di Istana untuk membahas perkembangan pembahasan RUU tersebut. Namun, seiring dari penolakan dari publik dan kelompok masyarakat sipil, pendapat fraksi-fraksi di DPR akhirnya terbelah, dengan sebagian besar meminta RUU Pertanahan ditunda saja.

Setelah mendengar masukan dari berbagai pihak, termasuk partai pendukung pemerintah di DPR, Presiden juga melunak dan meminta menunda RUU Pertanahan. Dalam pertemuan antara Presiden dengan pimpinan DPR pada 23 September 2019, di tengah tensi politik nasional yang meninggi dan rangkaian unjuk rasa, RUU Pertanahan masuk dalam daftar 4 RUU yang ditunda pembahasannya.

Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi PDI-P Arif Wibowo mengatakan, RUU Pertanahan akan dibahas ulang di periode ini. Status carry over tidak otomatis menutup kembali ruang pembahasan. Ia juga menjanjikan akan membuka ruang audiensi dengan berbagai pihak dan sektor pemangku kepentingan. 

Selain para pakar agraria, perwakilan masyarakat adat, kelompok masyarakat sipi, juga perwakilan lintas kementerian/lembaga untuk mengurangi kesan adanya sektoralisme yang tajam.

Ketika ditanya mengenai komitmen pemerintah untuk melindungi hak masyarakat atas tanah, Arif mengatakan, Presiden Jokowi sebenarnya berpesan agar RUU Pertanahan yang dibuat tetap menghormati hak rakyat, tetapi Presiden juga ingin agar jangan sampai menyulitkan investasi dan menghalangi pertumbuhan ekonomi.

Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil mengatakan, fokus pemerintah dan DPR di periode ini tertuju pada mengevaluasi ulang lagi pasal-pasal yang bermasalah. 

Kembali lagi pada falsafah hidup bangsa yang diyakini dan selalu disuarakan agar tidak sekadar berupa untaian kata-kata. Namun, tindakan yang mencerminkan keadilan pada masyarakat, terutama masyarakat adat, harus berwujud nyata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun