Maraknya konvergensi media siber di era digital saat ini, berbondong-bondong membangun industri perusahaan media portal. Namun dengan maraknya media portal tersebut, ada hal yang sangat menyayat hati tentang perlakuan perusahan media terhadap Jurnalis.
Ia Jurnalis, seorang pekerja pemburu berita diperkerjakan secara paksa tanpa imbalan sesuai dengan kebutuhan nya. Disinilah titik kritis dinilai adanya eksploitasi Jurnalis yang mengarah kepada kemanusiaan, terjadi di era saat ini.
Salah satu eksploitasi Jurnalis ialah memperkerjakan wartawan tanpa pembinaan bahkan menjadi liar, tanpa upah. Yang sangat miris ialah, pewarta di imingi belah semangka, dipaksa jalin kemitraan untuk dibagi dua tanpa ada upah sesuai aturan kelayakan.
Kejahatan terhadap Jurnalis ini ada di semua kabupaten, dipaksa jadi jurnalis hanya untuk menggerogoti APBD, tanpa upah minimum dari perusahaan media bersangkutan yang seharusnya mensejahterakan Wartawan nya. Bahkan tidak ada proses jenjang karir menjadi harapan semua prajurit media ini.
Kenapa saya katakan perusahaan media terindikasi lakukan eksploitasi Jurnalis/wartawan, tentu sangat tidak nyaman didengar, ini merupakan kejahatan kemanusiaan mengandung makna yang tersakiti, teraniaya, termarjinalkan, atau makna lain yang intinya bukan hal yang menyenangkan bagi sang Jurnalis.
Padahal Wartawan dipekerjakan dengan penuh tekanan yang tinggi, tidak hanya beban tugas peliputan, tapi juga tuntutan-tuntutan lainnya yang diminta perusahaan medianya. Tuntutan yang sangat mengikat, dan dituntut profesional sebagai pekerja menulis berita, sedangkan medianya sendiri jauh dari kata profesional.
REALITAS NASIB JURNALIS MENGENASKAN
Mengapa saya katakan sangat mengenaskan, mereka Jurnalis terbiar ditengah harapan besar sebagai Jurnalis profesional, mereka tidak mendapatkan jaminan kesehatan dan memiliki gaji di bahwa upah minimum Kabupaten/Kota (UMK) atau upah minimum provinsi (UMP).
Bahkan statusnya apakah karyawan atau sebagai pekerja pemburu berita, sangatlah buram. Pasalnya, tidak ada surat keterangan atau semacam kontrak kerja resmi yang mengatur tentang hak dan kewajiban. Soal perjanjian kerja hanya melalui kertas selembar berbentuk SK ditambah Id Card sebagai pers.
Pekerja tersebut dengan pedenya mengaku pers, padahal dibayar atau mendapatkan income ketika kemitraan terjalin baik mengenai belanja publikasi di pemerintah atau swasta, baru mereka dibayar dengan cara bagi dua alias "belah semangka".
MEDIA TIDAK PROFESIONAL MELAHIRKAN WARTAWAN AMPLOP BERMENTAL PREMAN
Ketidakprofesionalan media siber, sangat rentan melahirkan Jurnalis/wartawan bermental amplop yang dinilai merusak marwah Jurnalistik sebagai prajurit digital voice recorder atau pekerja pemburu berita.
Istilah wartawan amplop lantaran kebutuhan nya tidak terpenuhi dari masing-masing perusahaan media. Mereka terpaksa berharap sampingan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.
Istilah ini buat menggambarkan sosok jurnalis yang datang ke sebuah undangan, meliput acara, dan kemudian mendapatkan amplop berisi uang. Baik itu acara yang dilakukan pihak swasta, instansi-instansi milik pemerintah, maupun acara yang "abal-abal".
Pengundang menyiapkan amplop berisi duit, begitu selesai acara amplop itu diberikan ke wartawan. Bahkan ada yang diberikan di awal. Begitu menandatangani buku tamu, wartawan mendapatkan goody bag plus map berisi pers rilis dimana terselip amplop yang katanya sebagai uang rokok/minyak. Kalau di Riau sering disebut caro.
Keterpaksaan sebagai Jurnalis saat ini dikarenakan tuntutan ekonomi. Kata mereka, jika tidak mengikuti dinamika tersebut maka akan habis tergerus dengan kemiskinan. Jurnalis lokal menjadi momok yang menakutkan dikarenakan kesenjangan ekonomi.
Mereka terbiasa dengan ampop, bahkan menjadi preman intelektual memeras penjabat bahkan ketingkat desa. Lakukan pengancaman terhadap pemerintah desa, jika tidak diamankan, maka akan diberitakan. Jika sudah dikasih caro alias amplop, berkara selesai.
Fenomena Jurnalis saat ini dikarenakan adanya eksploitasi pekerja pemburu berita tersebut, diperlakukan seenak perusahaan media hanya menggerogoti APBD dan menggertak pemerintah dan lembaga lainnya. Hanya memproduksi berita tendensius dan sampah berita yang hanya menimbulkan sikap skeptis publik.
Penulis: Daud M Nur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H