Ketidakprofesionalan media siber, sangat rentan melahirkan Jurnalis/wartawan bermental amplop yang dinilai merusak marwah Jurnalistik sebagai prajurit digital voice recorder atau pekerja pemburu berita.
Istilah wartawan amplop lantaran kebutuhan nya tidak terpenuhi dari masing-masing perusahaan media. Mereka terpaksa berharap sampingan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.
Istilah ini buat menggambarkan sosok jurnalis yang datang ke sebuah undangan, meliput acara, dan kemudian mendapatkan amplop berisi uang. Baik itu acara yang dilakukan pihak swasta, instansi-instansi milik pemerintah, maupun acara yang "abal-abal".
Pengundang menyiapkan amplop berisi duit, begitu selesai acara amplop itu diberikan ke wartawan. Bahkan ada yang diberikan di awal. Begitu menandatangani buku tamu, wartawan mendapatkan goody bag plus map berisi pers rilis dimana terselip amplop yang katanya sebagai uang rokok/minyak. Kalau di Riau sering disebut caro.
Keterpaksaan sebagai Jurnalis saat ini dikarenakan tuntutan ekonomi. Kata mereka, jika tidak mengikuti dinamika tersebut maka akan habis tergerus dengan kemiskinan. Jurnalis lokal menjadi momok yang menakutkan dikarenakan kesenjangan ekonomi.
Mereka terbiasa dengan ampop, bahkan menjadi preman intelektual memeras penjabat bahkan ketingkat desa. Lakukan pengancaman terhadap pemerintah desa, jika tidak diamankan, maka akan diberitakan. Jika sudah dikasih caro alias amplop, berkara selesai.
Fenomena Jurnalis saat ini dikarenakan adanya eksploitasi pekerja pemburu berita tersebut, diperlakukan seenak perusahaan media hanya menggerogoti APBD dan menggertak pemerintah dan lembaga lainnya. Hanya memproduksi berita tendensius dan sampah berita yang hanya menimbulkan sikap skeptis publik.
Penulis: Daud M Nur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H