Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Anak Terlantar dan Anak Nakal dipelihara Oleh Negara

7 Desember 2024   01:53 Diperbarui: 7 Desember 2024   01:56 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Setidaknya, itu yang aku ingat dari pendidikan di sekolah, sebelum aku meninggalkan tanah air. Orang tuaku sendiri adalah pendidik. Almarhum bapak pernah menjadi dosen di sebuah universitas, lantas menjadi PNS. Waktu pensiun, mendirikan yayasan budaya yang mendidik masyarakat untuk melestarikan budaya Jawa. Ibuku, setelah lama menjadi guru, akhirnya menjadi kepsek di dua SD. Aku bangga bahwa aku dididik dengan baik di rumah dan di sekolah. Aku bukan anak nakal apalagi anak terlantar. Aku pun bersyukur, buah nggak jatuh jauhnya dari pohon. Aku jadi pendidik juga di tanah air, sampai ke negeri orang.

Berbicara mengenai anak terlantar, sudah diatur dalam UUD RI pasal 34 "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara." Aku yakin, negara sudah mengatur sedemikian rupa, supaya pengejawantahan pasal itu nyata. Hanya saja, kita belum  bisa melihat buktinya dengan lapang dada sampai hari ini. Ini tentu berbeda dibandingkan Jerman. Negara maju yang pajak penghasilannya sangat tinggi ini, menganut sistem subsidi silang. Orang  yang gajinya tinggi membantu yang gajinya rendah. Aku pikir, istilah terlantar nggak bakalan ada di Jerman kalau orangnya benar-benar mengikuti aturan supaya bisa dibantu pemerintah. Kalau egois dan mau enaknya sendiri alias susah diatur, ya harus mau tidur di luar. Mana hari gini, Jerman memiliki temperatur rendah karena sudah masuk musim dingin, bahkan sudah turun salju beberapa hari yang lalu.

Anak terlantar di Jerman

Adalah A, anak pengungsi Ukraina. Aku perhatikan setiap istirahat sekolah, ia tidak pernah membawa box makanan atau memiliki chip yang bisa ditukar di kantin sekolah dengan makanan sehat yang tersedia. Ingat, ini bukan gratis seperti di tanah air yang sedang marak. Tiap orang tua harus membayar bulanan. Satu kali makan sekitar 3-5 euro atau 48.000-80.000 satu kali makan, tergantung menunya apa, komplit atau nggak (mulai pembuka, utama sampai penutup). Aku kasihan sekali melihat A. Walaupun badannya nggak kurus, tetap saja lapar, dong. Sebagai orang dewasa, seorang ibu, apalagi pendidik, aku ikut mikir. Sekolah dimulai pukul 08.00-16.00. Selama itu harus menahan lapar, apa bisa konsentrasi? Untung saja, ada kebijakan dari pemkot, yang membebaskan buah, sayur dan air di kantin untuk dikonsumsi siapapun walaupun tanpa membayar (aka tidak memiliki chip kantin).

Setelah setahun berlalu, ada evaluasi dari konferensi para guru di sekolah kami, bahwa harus ada pertemuan dengan orang tua si anak. Maksudnya, supaya kondisi si anak diperhatikan lebih baik lagi. Agar orang tuanya mengatur sehingga A tidak lupa membawa makanan untuk seharian (istirahat pertama, istirahat kedua dan makan siang). Jika tidak, akan ada pertemuan lagi dengan dinas kepemudaan. Di Jerman, anak terlantar yang tidak dipelihara dengan baik oleh orang tuanya, akan diminta oleh negara melalui dinas ini. Dinas pendidikan akan mencari orang tua yang baik yang mampu memelihara, merawat dan mendidik si anak dengan baik, seperti anaknya sendiri. Tentu saja ada support dana dari pemerintah. Jika orang tuanya mampu, harus ada iuran dari orang tua si anak. Jika orang tua tidak mampu, bea ditanggung pemerintah.

Kita tunggu apa hasil dari pertemuan, ya?

Membicarakan lebih lanjut tentang terlantar. Definisinya berbeda, ya, dengan di tanah air. Kalau terlantar di negeri kita yang gemah ripah loh jinawi, kita akan membayangkan si anak terlantar itu ada di jalanan. Baju si anak akan lusuh, tidak pakai sandal atau sepatu. Badannya kotor, rambutnya kutuan dan tidak disisir dengan rapi. Untuk makan, ia harus mencari sendiri dari hasil menyemir sepatu, jualan koran atau makanan dan jadi manusia silver.

Di Jerman, setiap anak mendapatkan support bulanan dari pemerintah. Entah itu anak Jerman, anak pengungsi Ukraina atau Suriah bahkan Afrika, anak Rusia, anak Asia, semua mendapat jatah yang sama. Jumlah subsidi anak ditentukan oleh pemerintah dan ditransfer ke rekening orang tua masing-masing. Maksudnya supaya orang tua bisa terbantu dalam memelihara anaknya secara jasmani rohani. Kami menggunakan uang itu untuk membeli kebutuhan anak-anak, bahkan  untuk membayar les sesuai ketertarikan anak, termasuk uang saku jajan bulanan  anak yang dikirim ke masing-masing ke rekening. Dengan kartu ATM, anak bisa membelanjakan sendiri sewaktu-waktu. Selain belajar memenuhi kebutuhannya sesuai dana yang ada, juga belajar memanage uangnya (mau digunakan semua atau ada yang disisihkan untuk ditabung). Anak belajar bertanggung-jawab, juga bagian dari misi orang tua saat mengirim uang lewat bank bukan diberikan cash. 

Nah, yang terlantar di Jerman ini kan karena uangnya tidak sampai ke anak dan kondisi anak buruk, khususnya nutrisi. Padahal uang sudah diterima orang tua dari pemerintah setiap bulannya. Orang tua harus hati-hati, supaya anaknya tidak terlantar dan diambil negara.

Anak nakal di Jerman

Ada lagi B. Anak pengungsi Ukraina itu memiliki saudara yang bersekolah di tempat yang sama di sekolah kami. Kata ibu saya, "Endog ki, netese dhewe-dhewe" (telur itu, menetasnya beda-beda). Bisa diartikan bahwa setiap anak membawa karakter dan nasibnya sendiri sejak dari lahir. Walau dari orang tua yang sama, dengan pendidikan yang sama tapi hasilnya bisa saja berbeda.

B ini memiliki saudara, C. C memiliki pembawaan halus dan pandai berteman. Nggak heran kalau ke mana-mana, ia dikelilingi banyak teman dan wajahnya gembira. Si B ini hanya punya satu teman dan wajahnya selalu suram bahkan terkesan jahat. Ada saja kenakalan yang dibuatnya di sekolah.

Utamanya, B menolak mengikuti pelajaran di kelas. Kalau temannya sedang mengerjakan sesuatu, ia bermain sendiri. Bahkan tak heran  ia mengganggu teman-teman lainnya yang sedang serius belajar. Diperingatkan guru kelas dengan bahasa Ukraina karena gurunya dari Ukraina, ia tak menggubris. Gurunya pusing.

Sekolah kami, seharian. Usai sekolah, anak-anak makan siang dan boleh bermain. Setelah itu ada kelas PR. Ketika ia berada di kelas bimbel itu pada sore hari, sebelum ikut ekstrakurikuler, ia nggak mau mengerjakan PR. Pernah aku menungguinya membuat PR. Aku ikut merapikan tasnya. Di dalam tas, ada sebuah metal besar. Metal itu biasanya untuk diletakkan di depan pintu rumah bagian dalam sebagai pembatas, supaya gagang pintu nggak menghantam dinding. Ini mengapa dibawa.

"Kok, bawa ginian segala. Buat apa?" aku tanya si anak. Aku tatap matanya. Sorotannya nggak sepolos anak-anak lain. Ada luka dan benci di sana. 

"Untuk memukul teman-teman yang mau melawanku." B tersenyum. Ia merebut metal yang aku ambil dan dimasukkan ke tasnya.

"Lho, nanti berdarah, sakit. Ini namanya melukai orang bisa jadi urusan polisi." Sebagai pendidik, aku mengingatkan bahwa setiap murid juga harus tahu hukum di negara Jerman. Koerper Verletzung atau melukai tubuh orang, ada pasalnya. "Kamu kalau besar, mau jadi apa?"

"Pembunuh." Mata anak kelas 4 itu nanar memandangiku.

"Aduh, kok, pembunuh, bisa dipenjara. Susah nanti." Aku panik. Itu pertama kali aku mendengar kalimat anak kecil yang sangat negatif.

"Terserah, aku nggak peduli."Si B cuek. Aku segera memanggil guru dari Ukraina yang kebetulan ada di kantor guru. Mereka pun bercakap-cakap dengan bahasa Ukraina. Si guru mengernyitkan dahi. Setelah 10 menit berlalu, si B berujar:

"OK, OK aku mau jadi polisi." B menganggukan kepala. Ia optimis.

"Kalau begitu, sekarang mengerjakan PR dulu, ya. Kalau mau jadi polisi, ada Ausbildung atau trainingnya. Rapor juga harus bagus. Kalau tidak, tidak diterima saat seleksi. Kamu harus punya rapor bagus di sekolah ini." Aku ingat betul cerita seorang teman anakku. Badannya tinggi besar, tegap dan tidak berkacamata, serta ganteng lagi.  Kurang apa, kok nggak diterima? Ternyata karena rapor sekolah kelas 10 jelek! Ini anak masih kelas 4 masih ada kesempatan, tapi kalau sudah dari awal susah belajarnya dan tidak menurut guru atau sekolah, mana bisa?

Kami tunggu 10 menit, ia tidak juga mau mengerjakan PR. Anak-anak lain ikut tertarik melihatnya bermain sendiri, tidak mengerjakan PR. Si B mondar-mandir di dalam kelas. Aku mengusulkan ke si guru Ukraina itu untuk menelpon ibunya. kalau dua jam di sekolah tapi tidak mau mengerjakan tugas, lebih baik diserahkan kepada orang tuanya. Aku nggak  bisa membantu dan bahkan mengganggu anak-anak lain. Alhamdulilah, lima belas menit kemudian si ibu menjemput. 

Kejadian itu nggak aku tulis di kolom chat para guru di AIDA. Lupa. Aku dimarahi koordinator. Hal itu penting, supaya guru lain tahu, si anak nggak lagi berada di rumah. Ah, aku pikir itu tugas si guru Ukraina yang menelpon si ibu. Tugasku juga rupanya, karena ia ada di kelas Bimbel-ku. Oh, ya, ada dua aplikasi yang kami gunakan selama bekerja dan bisa diakses di HP atau laptop, Webuntis dan AIDA. Webuntis untuk hal-hal yang mengurusi mata kuliah, absensi dan komunikasi para guru. AIDA untuk absensi guru, komunikasi, informasi dan dokumentasi.

Tentang semua ini, aku dokumentasikan di folder khusus. Folder ini bisa diakses semua guru departemen bimbingan konseling atau di Jerman disebut Sosial Paedagogik. Di sana, tak hanya kasus B, ada kasus A sampai Z. Jika kasus tiap anak diurus, akan ada penarikan dokumen sang anak, disarikan dan dibawa ke forum pertemuan BK, sekolah dan orang tua. Untuk kasus B ini, pasti tebal dokumennya sudah satu buku jika diprint.

Kasus si B ini minggu ini sudah sampai ke "Jugend Amt" atau departemen kepemudaan. Pertemuan orang tua dengan departemen itu dan sekolah sudah diadakan. Kabarnya, anak akan diambil oleh negara karena tingkat kenakalannya sudah tingkat tinggi. Secara verbal dan non verbal, ia sering membahayakan orang dewasa (guru) dan anak-anak (teman sebaya) lainnya. Si B sudah tidak bisa dididik dengan cara biasa di sekolah kami, seperti anak-anak yang lain. Jadinya, harus ada penanganan khusus, dengan para ahli.

Begitulah, anak nakal dipelihara oleh negara Jerman. Si anak menurut rencana akan dicarikan orang tua pengganti yang mampu memelihara, merawat dan mendidik si B dengan lebih baik. Anak-anak nakal lain, ada yang dimasukkan ke pusat anak nakal, di mana mereka tinggal bersama orang tua asuh dalam satu rumah. Satu rumah 5 anak misalnya. Orang tua asuh ini akan mengajarkan tentang segala hal dalam hidup, termasuk menghormati orang, merawat diri dan hidup mandiri. Anak boleh kembali ke orang tua masing-masing jika kondisinya membaik. Pusat anak nakal ini juga menampung anak-anak di bawah umur yang dianiaya orang tuanya, jadi tidak hanya karena anaknya nakal.

***

Akhir-akhir ini, banyak kasus anak nakal yang terjadi di tanah air yang viral di medsos. Ada anak membentak-bentak gurunya, menganiaya gurunya dan seterusnya.

Aku ingat zaman aku kecil waktu sekolah, ada anak nakal juga.  Misalnya nyolong jagung, merokok, minum air keras atau meninggalkan sekolah tanpa izin. Namun, waktu itu belum ada kasus anak atau murid yang nggak hormat  dengan gurunya sampai sebatas itu. Apakah budaya Indonesia sudah luntur? Aku kira, Indonesia masih disegani sebagai negara yang memiliki budi pekerti halus, sopan, hormat-menghormati dan sifat baik lain yang dari nenek moyang kita dulu diwariskan ke kita generasi berikutnya?

Guru yang tak patah arang mendidik muridnya, seharusnya dihormati dan dihargai. Ini tidak hanya karena gaji guru juga belum seperti yang diharapkan, tetapi juga tugas dan tanggung jawabnya yang besar dalam mendidik anak-anak orang itu sesuatu.

Adalah peran dan tanggung-jawab masyarakat dan pemerintah RI dalam membantu sekolah utamanya guru, dalam mendidik anak-anak. Jika ada aturan yang mirip di Jerman, bahwa anak terlantar dan anak nakal dipelihara oleh negara, akan membantu tugas guru. Barangkali saja, anak-anak yang sebenarnya lahir sebagai tabula rasa itu tobat, kembali ke arah kebaikan. Supaya ketika dewasa, menjadi manusia yang baik dan terjun ke masyarakat menjadi manusia yang baru.

Bagaimana menurutmu? 

Greetings from Germany.(G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun