Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Buka Diskotek Pada Jumat Agung Bisa Kena Denda 24 Juta

1 April 2024   02:59 Diperbarui: 2 April 2024   10:15 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi peringatan Jumat Agung. Sumber: KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO

"Tanzverbot" atau larangan menari, adalah salah satu hal yang ngga boleh dilakukan pada hari "Karfreitag", Jumat Agung atau hari Jumat sebelum hari paskah Minggu di Jerman, khususnya daerah Baden-Wuerttemberg. Alasannya, hari itu yakni hari di mana Yesus disalib. Ini merupakan hari yang hening, hari tempat orang berempati atas apa yang telah terjadi masa itu. 

Kesedihan yang mendalam, harus dihormati. Jadi acara keramaian seperti pesta disertai dengan tarian, festival, konser, perlombaan dan perhelatan olahraga dilarang. Bagaimana jika melanggarnya? Di Jerman, semua hal serba diatur dari yang kecil sampai yang besar. Termasuk aturan ini. Mereka yang melanggar akan didenda sampai sebesar 1500 euro atau sekitar 24 juta rupiah. Apakah ada orang yang berani melanggarnya? Ada! Berikut kisahnya:

Hari itu hari Sabtu. Habis berkebun seharian, datanglah tamu ke rumah kebun kami. Mereka diundang suami untuk makan malam. Salah satu tamu, berasal dari Neuhausen, itu nggak jauh dari Messkirch atau Sigmaringen. Tiga tempat itu sangat asyik untuk dikunjungi. Selain asri dengan pemandangan hijau, Neuhausen terkenal dengan festival musik anak muda dengan ribuan penonton pada bulan Juni. Tahun ini, ada Ed Sheeren. Aku pasti datang! Messkirch adalah kota tua yang indah dengan gereja tua dan bangunan atau rumah tua yang dilindungi. Sigmaringen itu kota kecil yang memiliki keindahan kastil berdekorasi emas yang indah. Sayang nggak boleh difoto apalagi divideo, aku nggak bisa sharing.

"Senang, ya sudah malam minggu. Seminggu ini kamu ngapain?" tanya tamuku itu padaku.

"Nukang. Kami tiga hari bikin garasi kayu buat simpan alat-alat kebun" aku tersenyum. Capek sudah hilang dan kami bangga membangunnya sendiri. Anak-anak sekarang sedang dalam rangka mengecatnya dengan warna putih supaya cantik, bersih dan terang. Uang yang seharusnya untuk membayar honor tukang, rencananya kami gunakan untuk travel sajalah. 

"Tapi nggak kerja pada hari Jumat kan? Nggak boleh berisik. Kalian nggak boleh memukul palu, nggak boleh menggergaji. Bising. Eh,  ada, tuh, pemilik diskotek yang kena denda karena dianggap membuat kebisingan. Jumat Agung, kok buka diskotek. Orang nggak boleh joget, pada datang dan pesta di Messkirch, nggak jauh dari rumah, sih."

"Eh, serius?" Aku nggak percaya. Masyarakat Jerman mayoritasnya beragama Katholik. Mereka ini, masih memegang tradisi dan kepercayaan secara turun-temurun. Barangkali karena modernisasi, orang mulai berani melawan atau coba-coba melanggar? Selama aku tinggal di Jerman, aku merasa bahwa masyarakat Jerman juga terkenal tertib, patuh pada aturan dan lurus. Mengapa itu bisa terjadi?

Akupun membuka HP dan mencari informasi di internet mengenai hal itu. Betul. Itu terjadi. Memang "Tanzverbot" ini sudah jadi pro dan kontra sejak zaman dulu. Tahun 1943, protes terhadap larangan ini muncul, orang-orang mencoba mendukung anak muda yang ingin joget, sebagai bentuk solidaritas terhadap mereka yang maju ke garda depan. Menurutku, Jerman lebih maju dari Indonesia dalam hal demokrasi karena masyarakatnya sangat aktif nan berani dalam mengemukakan pendapat. 

  • "Diskobetrieber verstoesst gegen Karfreitag." 
  • "Disko-Betreiber im Kreis Sigmaringen verstoesst gegen Tanzverbot."
  • "Messkirch bei Sigmaringen: Diskothek ignoriert Tanzverbot am Karfreitag."
  • "Tanzverbot an Karfreitag: Diese Disco laesst es trotzdem krachen."
  • "Clubs ignorieren Tanzverbot an Karfreitag."

Inti dari judul headline surat kabar itu adalah pemilik diskotek di Messkirch wilayah Sigmaringen, melanggar aturan di Jumat Agung. Diskotek "Ritterhof" di Messkirch yang dipenuhi 30-40 orang baik laki-laki maupun perempuan yang berpesta itu didatangi polisi. Mereka bekerjasama dengan Landratsamt, pemerintah setempat yang mengurusi masalah kemasyarakatan. Urusan denda akan dikirim melalui surat berwarna kuning yang bakal dikirim oleh Landratsamt. Biasanya, pemilik diskotek harus menstransfer sejumlah uang di norek yang ditunjuk. 

Aku  tercenung. Aku mencoba memahami apa yang terjadi. "Tanzverbot" ini adalah larangan yang sangat setrong karena pemerintah mendukung larangan dan penganut agama yang ketat juga begitu. Larangan yang sama dikenakan pada hari "Volkstrauertag" dan "Totengedenktag", di mana mengenang mereka yang gugur pada PD I- II. 

"Tanzverbot", pesta disertai keramaian dan joget di tempat terbuka memang dilarang, tapi jika diadakan di rumah pribadi nggak papa. Bingung, juga kan. Aku ikut gagal paham. Kalau disuruh tenang, nggak memicu keramain, sebaiknya seragam, serempak. Apapun agama kita, ini aku pikir  bagus untuk menghormati orang-orang yang memperingati Yesus yang disalib. Kesedihan bagi umat yang mempercayainya harus kita tolerir.

Hanya saja yang aku soroti lagi adalah "negara mawa tata, desa mawa cara" atau "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung." Kalau tinggal di Jerman, khususnya di wilayah Baden-Wuerttemberg di mana ada UU berbunyi "joget pada hari Jumat Agung dilarang", ya harus menurut. Jika melanggar, siap-siap didenda sesuai "Bussgeld" atau uang denda sebesar 1500 euro yang kalau dirupiahkan sebesar 24 juta. 

Adalah sebuah keteledoran dari pemilik diskotek yang membuka tempat bisnisnya untuk menjamu anak-anak muda di areanya untuk berpesta (minum, joget, have fun). Berani-beraninya dia. Untungnya yang hadir di diskotek tidak kena getahnya, sebab mereka adalah tamu aka bukan penyelenggara pesta. Artinya, nggak kena getahnya.

Mungkin agak mirip dengan peristiwa di tanah air baru-baru ini. Suasana ramadan yang kental dengan konsentrasi dalam menjalankan ibadah puasa, urusan dengan Tuhan dan sesama, diskotek yang biasanya dibuka, sebaiknya menghormati mereka yang sedang beribadah. Ditutup untuk sementara! 

Aku ingat waktu baca berita menantu pak Jokowi yang pura-pura jadi pengunjung diskotek lalu meminta pemilik untuk menutupnya, saat berada di lokasi. Ini demi menghormati bulan Ramadan, bulan suci umat Islam dan mereka yang sedang beribadah supaya khusyuk. Aku nggak baca lebih lanjut, sih, apakah pemilik  harus membayar denda. Kalau sudah ada perda, harusnya sih, kena denda. Kalau belum, bisa saja dibuat wacananya suatu hari nanti. 

Selamat merayakan paskah bagi yang merayakan.

Selamat berpuasa ramadan bagi yang menjalankan.

Hidup itu indah, toleransi itu mudah.

Selamat malam. (G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun