Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Inspirasi Hidup Bocah Laki-laki Asal Friwen, Papua

3 Juni 2023   22:23 Diperbarui: 9 Juni 2023   12:46 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Asyik dapat coklat Jerman, segera dimakan supaya nggak lumer (dok.Gana)

Raja Ampat. Siapa yang nggak pengen ke sana, aku ambilkan seblak. Dan sungguh, kunjungan kami berempat ke sana adalah sesuatu. Nggak hanya faktor kesehatan prima, yang waktu itu masih belum seseram zaman corona, tapi juga waktu dan tentu kekuatan finansial rumah tangga. Kami sungguh beruntung mendapat kesempatan ke sana.

Akhirnya dari perjalanan ke ujung Barat Indonesia itu, kami berhasil mengunjungi tempat keren seperti Geopark dan Batu Pensil, Piaynemo, Wayag, Telaga Bintang, Desa Wisata Arborek, Friwen, Friwen Wall, Pasir Timbul. Sepanjang itu perjalanan kami, hingga ada kisah menarik yang aku temukan di Friwen.

Awalnya, kapal cepat kami menyentuh bibir pantai Friwen. Setelah nahkoda dan asistennya berhasil mengaitkan kapal ke pohon supaya nggak lari-lari terhanyut oleh ombak, kami turun. Pulau Friwen, Waigeo Selatan, Papua. Kami datang!

Selamat datang di Friwen, surga dunia (dok.Gana)
Selamat datang di Friwen, surga dunia (dok.Gana)

Oh, sepi. Sepi sekali di sana.

Anak-anak kami sudah lintang - pukang berlarian ke sana ke mari. Apalagi ada anjing pantai yang jinak. Anak-anak kami penyuka binatang. Maklum, mereka besar di pedesaan Jermna. Kuteliti wajah mereka, warna bahagia luar biasa begitu merona, bukan dari terik mentari.

Nggak dinyana, beberapa menit kemudian datang tiga anak laki-laki kecil. Mungkin mereka tertarik ada orang asing (suami dan dua anak-anakku yang berambut jagung) datang.

Mereka pun mengintip gerak-gerik kami yang memakai sepatu katak dan kacamata snorkeling. Bahagianya menatap raut wajah polos anak-anak Papua.

Aku melambaikan tangan kepada mereka. Dibalas dengan senyuman malu. Ah, tipe anak Indonesia. Boleh lah malu, asal jangan malu-maluin, ya nak.

Kamu bisa lompat, dik? (dok.Gana)
Kamu bisa lompat, dik? (dok.Gana)

Kekuatan manusia itu ada di dalam hati dan pikiran  (dok.Gana)
Kekuatan manusia itu ada di dalam hati dan pikiran  (dok.Gana)

Lawanlah rasa takut (dok.Gana)
Lawanlah rasa takut (dok.Gana)

Berbahagialah! (dok.Gana)
Berbahagialah! (dok.Gana)

Salah satu dari mereka berjalan meniti pohon besar di seberang sana. Mataku mengamati dengan seksama.

"Kamu berani melompat dari pohon ke air?" Aku mendekat dan berseru dari bawah. Anak lelaki itu menggeleng." Kalau kamu berani, nanti aku kasih uang dan hadiah." Aku mencoba memotivasi keberaniannya untuk muncul, dengan iming-iming, impuls berupa hadiah. Seorang pria berteriak, menambahkan bahwa biasanya si bocah bisa dan biasa terjun dari pohon ke bawah. Nah!

"Byurrrr" Aih, bunyi sesuatu nyemplung di air. Akhirnya saudara-saudara, ia berani terjun!

Aku kaget. Kaget sekali. Lantaran tadinya aku kira, nyalinya akan menciut dan nggak sanggup terjun bebas. Ah, begitu dasyatnya iming-iming sebuah hadiah? Atau ia hanya ingin membuktikan perkataan seorang pria tua berbaju putih tadi. Kalau aku disuruh saja, walau dikasih hadiah tetap memilih mundur, alias nggak terjun ke air yang barangkali saja ada buaya atau hiunya. Nggak berani lah, ya. Hatiku mengecil.

Hal itu tentunya membuat aku berpikir bahwa manusia itu sebenarnya bisa apa saja, bisa menjadi apa saja, jika ada niat, kemauan dan usaha keras, serta motivasi dari orang-orang di sekitarnya. Aura positif.

Si anak tadi mencontohkan bagaimana dalam hidup yang keras ini mencapai apa yang diinginkan. Hal itu tentu saja harus didukung, dipupuk dan dilanjutkan.

Jika dari kecil saja sudah kuat begitu, aku pikir besarnya nanti pasti luar biasa. Aku berharap ia akan mendapatkan banyak kesempatan dari orang-orang di sekelilingnya.

Aku hentikan tepuk tanganku sebagai tanda apresiasi pada si bocah lanang yang gerak-geriknya lugu itu. Senyumku masih mengembang di wajah. Mataku kembali menyoroti si bocah.

Usai basah kuyup, ia berenang menuju pantai. Aku panggil dia untuk mendekat, memberikan lembaran puluhan ribu kepadanya. Janji adalah hutang. Aku lunasi sudah hutangku dan berpesan untuk mengumpulkan teman-teman lainnya juga. Karena selain untuk dia, uang dan tas berisi mainan dan alat tulis akan dibagikan.

"Teman-temanmu yang lain di mana?" Aku menatap matanya tajam.

"Di rumah." Si bocah lanang meringis. Giginya putihhh, aku suka!!!

"Minta tolong dipanggilin bisa, dik? Aku mau bagi hadiah buat kalian ... Jauh, nggak?" Aku merunduk, mensejajarkan badanku dengan badannya. Aku pegang tangannya yang ceking dan terbakar matahari.

"Nggak. Sana." Semangat sekali ia berlari menuju arah rumah penduduk. Namanya orang Indonesia kalau jauh, bilangnya dekat. Huh. Nggak tahunya, kami harus menunggu lamaaa sekali. Kami harus berbuat apa? Mau snorkeling takut nanti anak-anak pada datang. Kalau ditunggu terlalu lama, sedihnya kalau nggak jadi snorkeling.

Syukurlah, di depan kami ada sebuah warung. Kami merapat. Si ibu di rumah bambu itu tersenyum, ada rejeki datang. Rentengan kopi instan, susu instan tampak menggantung di atapnya. Dua termos yang aku yakin berisi air panas di meja. Di sebelahnya, ada dos mie instan. Sembari menunggu mereka kumpul, kami pun makan gorengan sambil  ngobrol dengan penjual. Si mamak lucu, ah. Ya ampun, nikmatnya pisang goreng, dan ketela goreng. Hangat-hangat nendang.

Anak perempuan boleh naik-naik (dok.Gana)
Anak perempuan boleh naik-naik (dok.Gana)

Kakak mau coba juga, dong (dok. Gana)
Kakak mau coba juga, dong (dok. Gana)

Aku perhatikan anak-anak mulai bosan. Menunggu adalah pekerjaan yang mereka kurang sukai. Tahu apa yang mereka lakukan? Namanya anak, kreatif! Mereka menirukan apa yang si bocah lokal tadi lakukan! Inspirasi. Jadi Tarzan, menggantung di tali lalu melompat ke air.

Pertama yang bungsu mencobanya, sampai kakaknya penasaran dan ingin mencobanya juga. Gelegar tawa menggema. Mereka menikmati alam dengan hati. Aku pikir, anak perempuan juga boleh naik-naik, boleh aktif dan boleh melakukan semua hal baik yang dilakukan anak laki-laki, jika mau dan mampu. Mereka membuktikannya.

Selang beberapa waktu, kira-kira 10 anak datang. Polos dan manis-manis sekali. Kami persilakan semua duduk di atas pasir. Yang masih kecil dipangku ibunya. Pertama aku menjelaskan mengapa aku ke sana. Iya untuk berlibur bersama keluarga, memperkenalkan Indonesia, sekaligus untuk membagikan tas kain yang ramah lingkungan supaya bisa digunakan setiap hari saat sekolah atau belanja. Tas bisa dicuci jadi tahan lama. Kalau rusak bisa dijahit jadi tidak dibuang, seperti kantong plastik.

Selain itu, tas dari Jerman itu semoga menjadi pesan supaya mereka punya cita-cita tinggi sampai ke Jerman, misalnya. Isi tas juga merupakan hasil sumbangan dari orang Jerman, seperti tasnya. Aku mengumpulkan uang dari mereka. Kalau aku ultah, aku nggak mau disumbang hadiah tapi uang, agar aku bisa bagikan ke anak-anak Indonesia atau dibelikan sesuatu untuk mereka.

Para ibu yang hadir merasa iri karena hanya anak-anak yang dapat uang dan hadiah. Aku bilang, anak-anak lebih membutuhkannya. Bagi mereka pasti sesuatu, mendapat hadiah dari wisatawan. Jarang-jarang.

Semua dapat oleh-oleh dari Jerman (dok.Gana)
Semua dapat oleh-oleh dari Jerman (dok.Gana)

Asyik dapat coklat Jerman, segera dimakan supaya nggak lumer (dok.Gana)
Asyik dapat coklat Jerman, segera dimakan supaya nggak lumer (dok.Gana)

Capailah cita-cita sampai ke Jerman (dok.Gana)
Capailah cita-cita sampai ke Jerman (dok.Gana)

"Saya nggak dapat uang atau hadiah, ya? Aku tukang sapu pantai. Kalau pantai kotor aku membersihkannya, masak aku nggak dikasih?" Seorang perempuan berambut khas Papua mendekat. Sapunya ia tenteng di tangan kanan. Akhirnya aku berikan ia selembar uang. Iapun tampak riang. Untung ibu yang lain nggak minta karena anak-anak mereka sudah dapat dariku.

Oh, ya, teman-teman. Program begini aku mulai sejak tahun 2009, tahun pertama aku kembali ke Indonesia, itu aku sebut "My bag is your bag." Kalian bisa mencari dokumentasinya di Instagram.

Selain di Jawa, tas kain aku sebarkan di Bali, Lombok, Sulawesi, Sumatra, Kalimantan dan Papua ini. Seru banget rasanya berbagi dan mengajak mereka untuk cinta lingkungan.

Lain itu, ini juga kursus buat anak-anakku, supaya mereka jadi orang baik; memikirkan orang lain, mengumpulkan dana, berbagi dan mensyukuri hidup yang berkecukupan. Anak-anak yang mendapat hadiah agar memiliki perspektif go international, "Uangnya ditabung, kalau sudah banyak untuk keperluan kalian. Jangan lupa mencari ilmu sampai ke Jerman!" pesanku pada anak-anak berambut keriting itu.

Hari masih saja tak lelah menyebar terik. Kami harus melanjutkan rencana yang kami reka. Iya, snorkeling. Setelah acara foto bersama untuk dokumentasi, kami pamit untuk nyebur ke air. Guide kami sudah nggak sabar menggiring kami menikmati keindahan bawah air laut Friwen. Olala, hari yang indah, hari yang penuh makna.

Sampai jumpa lagi, Friwen (dok.Gana)
Sampai jumpa lagi, Friwen (dok.Gana)

"Sampai jumpa, Friwen!" (G76)

Ps: Cerita ini aku bagi supaya bisa dibukukan dalam proyek buku Komunitas Traveler Kompasiana kedua "Inspirasi dan Hikmah dalam sebuah perjalanan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun