"Ira, kamu ngapain jadi guide Jakarta. Emang Jakarta punya apa?" Itu salah satu kalimat olokan teman-teman mbak Ira di Jakarta yang tahu ia berkecimpung di jagad wisata menjadi guide, menceritakan keindahan Jakarta. Ceritamu menginspirasi, mbak Ira. Thank you.
Padahal menurutku, ya, teman-teman, mbak Ira itu benar-benar punya "passion."
Wanita manis itu tahu keindahan lokal yang harus diketahui warga setempat dan atau warga Indonesia, nggak hanya orang asing. Coba, deh. Museum di mana ada bekas penjara banyak tokoh nasional seperti Untung Suropati ditahan. Menarik kan, sejarah ituh! Ini juga perjalanan "soulseeing."
Jika kalian punya kekuatan tenaga dalam, bisa rogoh sukma dan sejenisnya pasti ngerasain roh di antara serakan bola-bola besi yang biasa dikaitkan di kaki para tahanan zaman Belanda itu, ratusan tahun yang lalu. Atau roh di antara ratusan wayang-wayang pak Aldi di dinding yang sudah berumur 70 tahun.
Pejamkanlah mata dan resapilah cerita pak Aldi dalam mengembangkan dunia wayang. Nyesek. Menatah kulit kerbau berhari-hari dengan hati, mewarnai tiap wayang dengan jiwa yang suci, lantas memikirkan masa depan; adakah anak muda yang mau meneruskan potensi ini?
Atau betapa jamu di cafe Acaraki yang diracik modern dicampur susu atau soda itu pas dengan lidah siapa saja. Apalagi orang asing, ketagihan tuh.
Sampai di Jerman, suamiku mengira jamu Acaraki hadiah yang aku peroleh karena mengenakan kostum terindah dalam Kotekatrip itu (cie), sekedar soda biasa. Padahal jamu ituuuuh. Dicekokin nggak kerasa, ya. Kasihan, deh, kamuuuuh.
Dan tampaknya mengiyakan bahwa alokasi "budget" air putih untuk peserta menjadi minuman istimewa di cafe sunyi adalah pertimbangan keren.
Rasa ramuan kopi susunya, segar dan nikmat. Meraba semangat dari mereka yang menggunakan bahasa isyarat itu mengingatkanku berkali-kali, bahwa pertemuan indah itu membuat aku berpikir, "Kalau mereka saja hidupnya jadi luar biasa karena menjadi bermanfaat bagi orang banyak, kita nggak boleh kalah. Harus bisa! Hidup kita harus lebih berisi nggak hanya untuk diri sendiri." Yakin bahwa cafe Sunyi di bangunan Belanda itu nggak sunyi karena kehadiran kami.
Apalagi mainan kuis, tebak-tebakan diadakan di sini. Asyik, bagi-bagi hadiaaaah. Ada yang dapat kaos persembahan Kompasiana, bapaknya Koteka. Ada tas pinggang Kompasiana yang yakin banget mampu menemani perjalanan kita keliling dunia. Ada jamu acaraki yang bikin kuat perkasa sepanjang masa. Ada tempat minum Kompasiana yang dijamin membuat dahaga lekas hilang seketika saat menyeruput isinya. Pokoknya heboh. Seru. Seruuuu banget.
Ending-nya, mbak Ira mengajak kami ke cafe Batavia. Cafe zaman penjajahan yang sampai hari ini masih berkibar. Di sana kami bisa menikmati penganan kecil, pesan minum kayak kelapa muda dan sekedar chit-chat sebentar lantaran dari tadi jalan-jalan melulu ngobrolnya kapan?