Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Menjadi Guide Wisata Itu Pekerjaan Mulia

22 Agustus 2022   23:21 Diperbarui: 27 Agustus 2022   11:45 1168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tour guide (Sumber: shutterstock)

Indonesia. Aku paling rindu sama negara ini. Tanah kelahiran yang dulu sering aku cueki karena waktu muda, lebih suka berkelana ke luar negeri ketimbang keliling negeri sendiri. Bodoh. Bodoh sekali aku ini. Silau dengan gemilang negara orang, negeri sendiri yang begitu indah terbentang, tertutup gajah di pelupuk mata, hingga tak tampak.

Sumpah. Nggak pernah bermimpi bahwa suatu hari aku harus meninggalkan negeri ini. Begitu harus pindah ke luar negeri, OMG, Indonesia terlihat lebih indah dipandang dari jauh. Bisanya cuma nangis dan meraung "Indonesia, kamu kok, jauh banget sih. Sudah begitu tiketnya mahal bingit." Apalagi sekarang orang asing harus keluar duit banyak untuk membayar visa. Bukankah dulu orang Jerman bebas visa? Katanya peraturan baru karena pandemi....

Tuhan memang tidak pernah tidur. Kami diberi rejeki cukup tahun ini. Selain datang untuk menjenguk ibu, kami sempat ke Kalimantan dan Lombok, demi tahu keindahan apa yang tersembunyi di sana. Luar biasa sekali. Nggak heran kalau Indonesia punya seruan "Wonderful Indonesia." Mengenali detil Indonesia itu sesuatu. Terima kasih para guides....

Sama halnya dengan pengalaman kami ikut program Komunitas Traveler Kompasiana dan Wisata Kreatif Jakarta pada tanggal 16 Agustus 2022. 

Jakarta! Nggak nyangka kalau kota yang aku anggap paling serem di Indonesia karena yang aku lihat di TV nggak cuma berita para artis cakep nan keren tapi juga banyaknya kriminalitas yang bikin hati menciut; pembunuhan, perampokan, penculikan dan seterusnya itu rupanya menyimpan harta karun bernama tempat-tempat wisata yang biasa tapi patut dikunjungi. 

Endingnya, setelah keluar dari tempat-tempat itu hanya bisa berdecak "Luar biasa. Jakarta punya ini!?!" Kalian yang nggak pernah jalan-jalan di sekitar Jakarta, rugi. Kemaren-kemaren ke mana?

Aku kira, aku harus berterima kasih pada mbak Ira, salah satu guide dari Wisata Kreatif Jakarta yang begitu bersemangat menceritakan kepada kami 21 peserta (harusnya 25 peserta tapi 3 orang mengundurkan diri dan 2 orang tidak menunjukkan batang hidungnya. Eh, pada ke mana, coba?). Gemes, ah. Pengen nyubit.

Terima kasih sudah menjadi guide kami, mbak Ira (dok.Gana)
Terima kasih sudah menjadi guide kami, mbak Ira (dok.Gana)

Diajak guide Ira keliling Jakarta

Hanya saja....

"Ira, kamu ngapain jadi guide Jakarta. Emang Jakarta punya apa?" Itu salah satu kalimat olokan teman-teman mbak Ira di Jakarta yang tahu ia berkecimpung di jagad wisata menjadi guide, menceritakan keindahan Jakarta. Ceritamu menginspirasi, mbak Ira. Thank you.

Padahal menurutku, ya, teman-teman, mbak Ira itu benar-benar punya "passion." 

Wanita manis itu tahu keindahan lokal yang harus diketahui warga setempat dan atau warga Indonesia, nggak hanya orang asing. Coba, deh. Museum di mana ada bekas penjara banyak tokoh nasional seperti Untung Suropati ditahan. Menarik kan, sejarah ituh! Ini juga perjalanan "soulseeing." 

Jika kalian punya kekuatan tenaga dalam, bisa rogoh sukma dan sejenisnya pasti ngerasain roh di antara serakan bola-bola besi yang biasa dikaitkan di kaki para tahanan zaman Belanda itu, ratusan tahun yang lalu. Atau roh di antara ratusan wayang-wayang pak Aldi di dinding yang sudah berumur 70 tahun.

Pejamkanlah mata dan resapilah cerita pak Aldi dalam mengembangkan dunia wayang. Nyesek. Menatah kulit kerbau berhari-hari dengan hati, mewarnai tiap wayang dengan jiwa yang suci, lantas memikirkan masa depan; adakah anak muda  yang mau meneruskan potensi ini? 

Atau betapa jamu di cafe Acaraki yang diracik modern dicampur susu atau soda itu pas dengan lidah siapa saja. Apalagi orang asing, ketagihan tuh. 

Sampai di Jerman, suamiku mengira jamu Acaraki hadiah yang aku peroleh karena mengenakan kostum terindah dalam Kotekatrip itu (cie), sekedar soda biasa. Padahal jamu ituuuuh. Dicekokin nggak kerasa, ya. Kasihan, deh, kamuuuuh.

Dan tampaknya mengiyakan bahwa alokasi "budget" air putih untuk peserta menjadi minuman istimewa di cafe sunyi adalah pertimbangan keren. 

Rasa ramuan kopi susunya, segar dan nikmat. Meraba semangat dari mereka yang menggunakan bahasa isyarat itu mengingatkanku berkali-kali, bahwa pertemuan indah itu membuat aku berpikir, "Kalau mereka saja hidupnya jadi luar biasa karena menjadi bermanfaat bagi orang banyak, kita nggak boleh kalah. Harus bisa! Hidup kita harus lebih berisi nggak hanya untuk diri sendiri." Yakin bahwa cafe Sunyi di bangunan Belanda itu nggak sunyi karena kehadiran kami. 

Apalagi mainan kuis, tebak-tebakan diadakan di sini. Asyik, bagi-bagi hadiaaaah. Ada yang dapat kaos persembahan Kompasiana, bapaknya Koteka. Ada tas pinggang Kompasiana yang yakin banget mampu menemani perjalanan kita keliling dunia. Ada jamu acaraki yang bikin kuat perkasa sepanjang masa. Ada tempat minum Kompasiana yang dijamin membuat dahaga lekas hilang seketika saat menyeruput isinya. Pokoknya heboh. Seru. Seruuuu banget. 

Ending-nya, mbak Ira mengajak kami ke cafe Batavia. Cafe zaman penjajahan yang sampai hari ini masih berkibar. Di sana kami bisa menikmati penganan kecil, pesan minum kayak kelapa muda dan sekedar chit-chat sebentar lantaran dari tadi jalan-jalan melulu ngobrolnya kapan?

Jadi ketahuan kan siapa Kompasianer yang paling cerewet. Ih, namanya juga banyak ibu-ibu, emberrrrr. Para bapak hanya bisa tersenyum, malu-malu mau. 

Siapa mau jadi guide?

Pernah seorang guru bahasa Jerman menebak bahwa aku paling pantes untuk menjadi guide wisata, selain orangnya ramai, bisa fasih berbahasa Inggris dan Jerman serta pernah belajar beberapa bahasa asing lainnya. Aku geleng kepala. No, way.

Tapi memang betul sih, guide itu kan pertama harus banyak ngomong. Kalau perlu  pinter banyol, biar bisa ngakak. Mosok jalan-jalan mukanya serem. Nggak asyik. Nah, kemampuan berbahasa harus bagus dan komunikatif.

Aku seneng dengerin mbak Ira cerita ini itu tentang Jakarta. Cuman bisa bilang "Oooo", setiap kali ia berkisah. Hanya saja karena logat orang Jakarta kental, jadi terlalu cepat untuk ukuran orang Indonesia yang sudah lama tinggal di luar negeri seperti aku. Wkwkw. Maafkan, oon sekali menelan kalimat demi kalimat yang deras di telingaku. Sebel, kan.

Selain itu guide pasti harus tahu banyak cerita tentang tempat wisata. Artinya kudu sering baca buku dan atau mencari informasi di internet tentang tempat-tempat yang akan diceritakan. Harus "up to date", karena banyak perubahan yang bisa saja terjadi di satu tempat, walaupun sejarah tetaplah sama. 

Aku? Nggak ah, nggak mau jadi guide lantaran syarat menjadi guide yang ketiga itu, harus sabar mengatur banyak orang dalam satu grup. Ada kan orang yang nyebelin, nggak bisa diatur atau apa kek karakter yang kadang kita nggak bisa tolerir. Harus sabar, seperti mbak Ira, tuh. 

Kalau aku pasti sudah ada acara timpuk payung kalau ada yang datang telat, ada yang nggak datang tapi nggak pamit atau kalau sedang diceritain tentang sebuah tempat, eee malah ngobrol "dhewe." Ngelus dada. Hahaha. Ususnya harus panjang, nih. Kek punya mbak Ira.

Keempat, menjadi guide itu pasti ada pasang surutnya. Kadang pendapatannya banyak, kadang kosong. Bergantung orang lain, kalau ada banyak pengunjung yang minat ikut jalan-jalan pasti asyik rejeki mengalir. Jika sedikit atau bahkan nggak ada sama sekali, aku pikir, repot juga. 

Kelima, harus kuat secara fisik, khususnya kakinya. Apalagi model "walking tour" yang diadakan hari itu. Udah panas, keringetan, jalan ke sana ke mari. Guide pun harus mampu memotivasi wisatawan yang ikut tapi kadang kecapekan, nggak kuat jalan lagi dan sejenisnya. Nggak gampang, kan?

Guide juga harus jadi orang yang kreatif, supaya acara yang dipandegani nggak mbosenin. Bersinergi dengan network pemda sampai swasta. Goodie bag memang menjadi magnet. Walah seneng banget dapat topi ada tulisan "Jakarta." Kemasan jalan-jalannya juga dibuat semenarik mungkin supaya wisatawan nggak bosen, deh.

Terakhir, hanya mau meyakinkan kalian semua yang baca uneg-uneg ini, bahwa menjadi guide wisata itu pekerjaan mulia. Sama mulianya dengan pekerjaan yang membagikan ilmu semacam guru dan dai. Hargailah, dukunglah, mari lestarikan dengan cara ikut acara jalan-jalan dengan para guide seperti mbak Ira ini. 

Ditambah, dari artikel ini, aku berharap akan semakin banyak guide wisata lokal yang lahir karena merasa kalau nggak ada yang mau jadi guide, tempat-tempat wisata Indonesia nggak bakal menarik, bakal sepi. Sedih, kan.

Ya, sudah segitu saja dulu ceritanya tentang perjalananku di kota tua Jakarta bersama Komunitas Traveler Kompasiana dan Wisata Kreatif Jakarta yang dipandu mbak Ira Lathief, guide kita. 

Thank you, mbak Ira. Jangan kapok jadi guide kami, Kompasianer.

Nyambung lagi kapan-kapan. (G76).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun