Tiba-tiba dosen masuk ruangan, kami pun menghentikan percakapan dan membuka tablet. Alamak, sudah emak-emak, tekan sana-sini lemot banget. "Welcome to technology, people."
Delapan jam kuliah dengan sistem digital termasuk melelahkan, untung hari cepat berlalu. Kami diizinkan untuk pulang begitu bel berbunyi.
Keesokan harinya, hari Rabu, kami bertemu lagi. Ia mengeluh nggak enak badan. Saya pijat pundaknya. Kata saya, "Wah, semoga kamu nggak ketularan anak lanang."
Saya segera memperbaiki posisi duduk, pura-pura menjauh dan memperbaiki letak masker yang mencong supaya betul-betul rapat. Cairan disinfektan saya balurkan di kedua tangan.
"Ya, nggak lah, aku sudah dibooster. Dan anakku dikarantina di kamar." Katanya lirih.
Tawanya terdengar merekah. Ia minta cairan yang sama kemudian sibuk meratakan di jari-jemarinya yang lentik.
Sehari setelah perbincangan terakhir itu, kami harus bekerja. Biasanya, kami baru bertemu hari Jumat. Tapi ternyata pada hari Jumat, ia pamit. Yahhh, positif!
Ia dan semua anggota rumahnya dites PCR, hasilnya anak lanang, anak perempuan dan teman saya itu, positif.
Jadi satu benang merah yang saya tarik dari pengalaman teman saya itu adalah sudah booster belum tentu bebas corona! Ingat, ya.
Lalu apa bedanya dong, divaksin dan nggak divaksin kalau sama-sama kena. Sudah capek-capek, repot-repot, sakit-sakit divaksin, kena juga, mending divaksin alami sama virus saja?
Tidak begitu. Kalau saya amati, mereka yang sudah divaksin dan tetap terkena biasanya gejalanya lumrah.