Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Bank di Indonesia: yang Utang Anaknya, Mengapa Orangtua yang Harus Bayar?

16 Januari 2022   14:54 Diperbarui: 16 Januari 2022   16:21 8597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di Singapura, ada ketentuan bahwa jika ada orang tua yang telah menghadiahkan rumahnya pada seorang anaknya, ia tetap boleh tinggal di dalam rumah sampai meninggal. Ini menjaga agar orang tua yang tadinya punya rumah lalu tidak punya rumah, menjadi gelandangan di jalan. Entah itu dibuang oleh si anak atau keinginan sendiri. Saya melihat ada kiat dari negara untuk melindungi orang tua. Thanks to Lee Kwan Yew!

Di Jerman juga begitu. Tetangga saya yang memiliki dua anak, membalik nama rumahnya kepada anak bungsu. Anak sulung tidak diberi karena disebut-sebut durhaka. Ada aturan yang membolehkan keinginan orang tua itu untuk membalik nama kepemilikan rumah, asal dilakukan 10 tahun sebelum orang tua meninggal. Karena jika sesudah, semua anak tetap mendapatkan bagian dari warisan orang tua (bukan hanya anak kesayangan).

Nah, berhutang sendiri di Jerman juga tidak semudah di Indonesia, di mana sertifikat rumah atau tanah orang tua dijadikan jaminan di bank supaya hutang seorang anak di bank bisa cair. Tidak! Kalau mau hutang, agunan milik pribadi. Titik.

Melalui artikel uneg-uneg ini, saya mohon kepada bank-bank di tanah air dan atau bank Indonesia atau yang berkuasa menentukan aturan hutang -piutang bank, untuk memperbaiki aturan berhutang di bank seantero Indonesia. Jika seseorang berhutang, harus dengan barang atau sertifikat atas namanya sendiri, bukan atas nama orang lain. Karena namanya orang, biasanya tidak ada perjanjian tertulis hanya lesan. Jika kemudian hari diperkarakan seperti kasus keluarga kami, bagaimana coba? Pusing dan pelik. Sudah berbaik  hati masih juga jatuh dan tertimpa tangga.

Terakhir, bukan  bermaksud menggurui tapi lebih mengingatkan; harapan saya pada teman-teman semua, mari kita jangan sampai menyusahkan orang tua dengan hal-hal seperti tersebut di atas.

Rasanya tidak adil, jika orang tua yang telah membesarkan kita, merawat kita dari dalam kandungan hingga mampu mandiri, mencintai kita sepanjang masa, lantas mendapat balasan yang tidak semestinya. Jika berhutang, bayarlah. Jangan menggantungkan orang tua. Jangan membebani mereka secara psikis maupun materi aka hutang seperti ini.

Selamat pagi. Selamat menikmati hari Minggu. Di sini salju. (G76)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun