Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Bank di Indonesia: yang Utang Anaknya, Mengapa Orangtua yang Harus Bayar?

16 Januari 2022   14:54 Diperbarui: 16 Januari 2022   16:21 8597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bank tersebut melayangkan sebuah surat kepada ibu, yang memberitahukan bahwa jika saudara saya tidak melunasi dalam tempo yang ditentukan, yakni akhir Januari ini, rumah akan dilelang. Rumah sudah ditempeli peringatan dari bank.

Hallo!!! Rumah itu atas nama ibu saya, yang selama 25 tahun mencicil kredit rumah untuk para guru zaman bahula itu. Kok, nggak ada perasaan sekali bank itu. Memang nggak ada hukum di Indonesia? Yang salah harus dihukum, bukankah ibu saya tidak salah? Ibu saya janda, tidak punya banyak uang. 

Uang pensiun hanya cukup untuk hidup sebulan. Uang dari mana???? Harusnya beliau menikmati indahnya hidup di masa lansia karena semua sudah dilalui, anak-anak sudah dewasa dan mandiri. Ini malah kebalikannya. Masyaallah. Sungguh tidak adil yang terjadi dalam kehidupan ibu saya.

Kalau tidak salah, memang ketika saudara saya berhutang, ada catatan bahwa almarhum bapak dan ibu menandatangani pengambilan hutang dengan agunan rumah tersebut. Tetapi bukankah itu tidak serta-merta menjadi acuan kalau hutang tidak dibayar, ibu saya yang harus membayar hutang pokok anak?

Ngerinya Indonesia. Sudah banyak rakyat menderita, aturan negaranya tidak berpihak pada rakyat golongan ekonomi lemah. Mereka berhak menikmati hidup layak, aman dan nyaman.

Berharap Aturan Bank Diubah

Baiklah. Jawaban pertanyaan dalam judul di atas itu saya dapatkan dalam sebuah rekaman Trans TV (Islam itu indah).

Seorang ustazah memberikan informasi bahwa banyak orang yang suka hutang. Ini menjadi kebiasaan sehari-hari, sebab mereka berprinsip berhutang bukan karena kebutuhan melainkan keinginan.

Tak heran jika hubungan persaudaraan, pertemanan, kekeluargaan jadi rusak karenanya. Lah iya, orang hutang nggak dibayar, sebel kan. Eneg. Untuk itu, ia menyarankan agar jika memberi hutang dan berhutang harus dicatat supaya tidak lupa. C-a-t-a-t! Sebab, biasanya orang akan lupa jika sudah berhutang dan giliran membayar tidak dilunasi. Ini merepotkan orang lain. Orang yang memberikan hutang akan kebingungan karena uangnya atau barangnya tidak kembali. Catatan menjadi peringatan, membantu otak dan bukti.

Rukun hutang dikatakan perempuan berhijab itu ada tiga: yang berhutang, yang memberi hutang dan barang atau uang yang dihutangkan. Lalu, syarat untuk berhutang ada dua; berakal dan telah dewasa. Dari situ bisa ditarik kesimpulan, hutang anak kecil masih bisa dibayar orang tuanya. Contoh, anak kecil yang memanggil tukang es lewat, mamanya yang harus bayar karena anak tidak memenuhi syarat berhutang.

Pertanyaan saya adalah, mengapa bank di tanah air tidak menganut logika itu? Bahwa jika seorang anak yang berakal dan dewasa, berhutang jutaan bahkan milyaran rupiah, dia yang harus bertanggung jawab, bukan orang tuanya. Bukankah negara kita ini negara hukum? Apakah boleh setiap bank seenaknya sendiri memutuskan ini dan itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun