Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Penumpukan Penumpang dan Calon Penghuni Wisma Telantar di Bandara

22 Desember 2021   18:33 Diperbarui: 24 Desember 2021   06:59 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ribuan pendatang duduk di karpet bandara Terminal 3 (Dokumentasi Gana)

Tanggal 18 Desember jam 10.15. Saya mendarat di Indonesia. Senangnya bukan kepalang. Setelah dua tahun tidak berkunjung lantaran pandemi, akhirnya terkabul keinginan untuk mengunjungi keluarga. Perjalanan 24 jam terlewati. Badan rasanya sudah nggak karuwan setelah terkungkung di pesawat. Indonesia, kaki ini telah menginjaknya.

Di depan mata sudah banyak petugas yang akan mengecek kelengkapan syarat untuk boleh keluar dari bandara.

Saya serahkan formulir kedatangan "nothing to declare." Lorong yang dipilih dengan tanda hotel.

"Sendiri, bu?" tanya petugas.

"Iya, pak." Jawab saya lirih. Sedih juga keluarga nggak ikut tapi kalau ikut juga ribet begini. Kasihan, malah. Sebaiknya mereka di rumah saja.

Sudah ada bagasi tapi belum juga keluar bandara (Dokumentasi Gana)
Sudah ada bagasi tapi belum juga keluar bandara (Dokumentasi Gana)
Penumpukan penumpang dari luar negeri di meja imigrasi

Melewatinya, terlihat banyak penumpang pesawat yang duduk di lantai berkarpet depan sana. Yaoloh, ribuan, kalau satu palang jaraknya 1 meter, paling tidak ada 20 palang sampai depan. Kalau saya saja datangnya jam 10, mereka datang jam berapa coba? Menggenaskan.

Mereka itu menunggu pengecekan notifikasi dokumen di imigrasi di sebuah loket kecil. Seorang petugas berbaju seragam tentara duduk di depan komputer. Sedangkan petugas perempuan berseragam pink mirip darmawanita dengan sepatu pantofel hak 5 cm, berdiri di menghadap si bapak petugas.

Paling miris melihat satu botol susu yang tergeletak di lantai karpet. Mata saya menangkap seorang anak yang terlihat bosan menunggu. Bocah itu bermain dengan jarinya. Sementara itu, beberapa orang sudah tertidur terbaring di lantai bak di atas kasur.

Menggotong ransel pink, saya lewati imigrasi di bagian paspor Indonesia. Tak banyak orang asing yang ada di sana, bisa dihitung dengan jari. Sedih, ya. Pandemi merusak perekonomian, khususnya di sektor pariwisata.

Loket imigrasi berjajar satu baris. Saya maju ke loket yang kosong. Setelah mengucapkan selamat pagi, saya serahkan paspor. Beres, boleh mengambil bagasi.

Ya ampun, di sana juga banyak yang antre.

Dengan keranjang yang sudah dipenuhi tas atau koper, barisan numpuk. Saya menengadah, ada papan yang tergantung. Tulisannya memberi peringatan keras " Waspada! Penipuan karantina, beware: quarantine fraud. 

Dari berita di media massa dan elektronik, ternyata ada calo-calo hotel yang menawarkan harga 19 juta per orang. Padahal untuk hotel bintang tiga yang saya booking, ratenya mulai dari Rp 9.799.000, Rp 10,699.000, Rp12.499.000. Berarti lebih mahal dari standar yang bisa dijangkau warga pada umumnya.

Pos terakhir, Bilik PCR (Dokumentasi Gana)
Pos terakhir, Bilik PCR (Dokumentasi Gana)
Pemeriksaan bandara berlapis-lapis

Pemeriksaan memang berlapis-lapis tadi. Saya kira-kira ada 10 kali dari ketibaan sampai exit menuju parkir.

Kursi-kursi merah di sana, mengingatkan pada kursi gedung pernikahan, menanti kami. Tas punggung warna pink saya letakkan di sebelah kursi, capek. Duduk sembari menghela nafas. Pasti alamat lama.

Tak berapa lama, petugas mempersilakan kami untuk berdiri dan membentuk dua barisan. Saya pilih barisan sebelah kanan. Kemudian, saya diminta maju dan duduk di salah satu loket sebelah kanan. Mbak Petugas menanyakan paspor dan PCR negatif dari negara asal, Jerman. Negatif.

"Di Jerman ngapain?"

"Saya tinggal di sana dan kuliah."

"Baik."

"Sudah semuanya?"

"Sudah"

Badan beranjak dari kursi menuju loket berikutnya. Seorang tentara memeriksa lagi berkas-berkas. Lolos, saya melaju ke loket berikutnya. Di sana, duduk lagi di loket. Seorang petugas perempuan memeriksa berkas saya lagi dan memberikan satu kertas dengan barcode. 

Itu untuk tes PCR pertama, setelah 3 hari yang lalu melakukan tes PCR di Jerman dengan bea 79euro atau Rp 1.264.000,00. Itu tarif terendah karena biasanya di atas 100 euro atau lebih dari Rp. 1.600.000,00.

Si mbak mempersilakan saya masuk ke bilik no 7 untuk dites. Seorang pria lengkap dengan APD sudah menunggu. Ia melepas sarung tangan yang digunakan sebelumnya dan mengganti dengan yang baru. Tas saya letakkan di atas lantai. Melepas masker, si mas segera menyolok dua lubang hidung saya. Pedes. Saya menarik badan ke belakang.

"Jangan ditarik, tetap tenang, bu." Pinta petugas.

"Aduh" Saya kira tadi batang colokan tembus. Sedikit air mata jatuh di ujung mata kanan.

"Sekarang mulut, ibu."

"Oh, dua kali ya. Waktu di apotik cuma sekali saja."

"Sudah ibu. Selesai."

"Terima kasih, mas." Segera saya keluar dari bilik. Terpampang tanda wisma dan hotel. Saya menuju hotel. Di sana ditanya petugas lagi. Disuruh kembali dekat bilik PCR. Di sana kursi ditata melingkar dengan jarak satu sama lain 1,5 meter. 

Seorang pria dengan tas seperti tukang bank titil menghampiri. Menanyakan QR code dari hotel yang saya punya. Saya dipersilakan maju untuk duduk ke tempat di mana petugas hotel yang direservasi dari Jerman.

Penumpukan penumpang di area pengambilan bagasi

Semua sudah beres. Senang sekali bahwa saya sudah dinyatakan bebas dari pengecekan berkas lengkap. Secepat kilat, sebuah kereta bagasi saya tarik. Bagasi harus ditemukan dalam waktu sesingkat-singkatnya. 

Takut kalau sudah ditunggu lama dari pihak hotel. Dari layar Belt 3, saya baca nomor penerbangan dari Singapura yang saya tumpangi. Ah, mengapa belum juga tiba koper merah dengan pita pink punya saya? Setelah sekian menit, koper nongol juga. Beban seberat 25 kg itu saya tarik keluar dari ban. Done!

Astaga. Tapi mata ini pedih memandang mereka yang numpuk di pengambilan bagasi. Banyak yang sudah jenuh berdiri dan memilih duduk di lantai sambil bermain handphone atau hanya bertopang dagu, memikirkan nasib yang terkatung-katung selama berjam-jam di bandara.

Berbeda dengan saat harus menunggu sekitar 2 jam di bandara Singapura, pihak maskapai menyediakan makanan dan minuman seperti teh atau kopi hangat, croissant dan cheesecake. Total ada 15 SGD untuk tiap orang, walau menu snacknya boleh milih berbeda dari etalase cafe bandara yang ditunjuk.

Saya lihat di TV, ada yang minta air saja jadi ribut. Nelangsa. Malamnya, karena belum keangkut ke wisma, mereka merebahkan diri atau tidur di ban koper yang telah berhenti.

Sebelum saya berangkat sudah tersiar kabar Wisma Kemayoran lock down berkaitan dengan ditemukannya varian omicron di sana. Barangkali itu yang menjadi masalah. Calon penghuni akan dilimpahkan ke wisma yang lain.

***

Peristiwa penumpukan penumpang ini sebenarnya tak perlu terjadi, jika pemerintah sudah menyiapkan dari awal setelah tahu Wisma Kemayoran ditutup.

Penanganan membludaknya pendatang dari luar negeri calon penghuni wisma juga kurang sigap. Makanan dan minuman yang cukup bagi mereka harusnya bisa disiapkan sesegera mungkin bekerja sama dengan restoran, cafe atau restoran bandara yang ada di Terminal. 

Diaspora, BMI, ASN, Pelajar juga manusia, punya rasa lapar dan dahaga. Kesel. Capek lho, perjalanan dari luar negeri. Saya saja 24 jam dari rumah baru sampai Jakarta. Belum juga ke Semarang. Harga yang dibayar pun nggak murah, dengan proses panjang dan berbelit. Begini risikonya tinggal di luar negeri dan selalu kangen tanah kelahiran.

Dibandingkan dengan Jerman, mereka yang datang dari luar negeri (bukan dari negara zona merah) prosesnya sistematis dan mudah. Asal sudah ada kartu vaksin (apalagi sudah ketiga aka booster), PCR negatif, tidak ada gejala, mereka tidak perlu dikarantina. 

Jika karantina pun boleh dilakukan di rumah. Petugas yang ditunjuk dari wilayag setempat akan mengecek keberadaan mereka selama karantina apakah di rumah atau jalan-jalan.

Nggak model "asal sopan" atau "yang boleh karantina di rumah hanya artis kondang seperti dia", tidak ada! (G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun