"Sudah"
Badan beranjak dari kursi menuju loket berikutnya. Seorang tentara memeriksa lagi berkas-berkas. Lolos, saya melaju ke loket berikutnya. Di sana, duduk lagi di loket. Seorang petugas perempuan memeriksa berkas saya lagi dan memberikan satu kertas dengan barcode.
Itu untuk tes PCR pertama, setelah 3 hari yang lalu melakukan tes PCR di Jerman dengan bea 79euro atau Rp 1.264.000,00. Itu tarif terendah karena biasanya di atas 100 euro atau lebih dari Rp. 1.600.000,00.
Si mbak mempersilakan saya masuk ke bilik no 7 untuk dites. Seorang pria lengkap dengan APD sudah menunggu. Ia melepas sarung tangan yang digunakan sebelumnya dan mengganti dengan yang baru. Tas saya letakkan di atas lantai. Melepas masker, si mas segera menyolok dua lubang hidung saya. Pedes. Saya menarik badan ke belakang.
"Jangan ditarik, tetap tenang, bu." Pinta petugas.
"Aduh" Saya kira tadi batang colokan tembus. Sedikit air mata jatuh di ujung mata kanan.
"Sekarang mulut, ibu."
"Oh, dua kali ya. Waktu di apotik cuma sekali saja."
"Sudah ibu. Selesai."
"Terima kasih, mas." Segera saya keluar dari bilik. Terpampang tanda wisma dan hotel. Saya menuju hotel. Di sana ditanya petugas lagi. Disuruh kembali dekat bilik PCR. Di sana kursi ditata melingkar dengan jarak satu sama lain 1,5 meter.
Seorang pria dengan tas seperti tukang bank titil menghampiri. Menanyakan QR code dari hotel yang saya punya. Saya dipersilakan maju untuk duduk ke tempat di mana petugas hotel yang direservasi dari Jerman.