Kelas kami tampak lengang. Teman-teman sudah beredar menuju tempat-tempat di mana mereka bisa makan siang. Istirahat 1 jam cukup untuk mengisi perut yang keroncongan sedari pukul 7 pagi.
Saya paling malas pergi ke restoran, toko roti atau keluar untuk istirahat. Biasanya, saya membawa bekal dari rumah. Misalnya roti, buah atau segelas alpokat. Selain itu, saya bisa sembari sedikit baca-baca bahan yang baru saja diberikan guru atau materi yang nanti akan dibahas.
Usai makan, saya terlibat obrolan dengan teman-teman muda. Mereka membahas soal pandemi. Saya bilang, di Norwegia nggak ada corona. Kehidupan sehari-hari terlihat biasa seperti nggak ada bahaya virus Covid 19.
Ana: "Kok, kamu tahu, Gana?"
Maria: "Iya, nih, Gana baru pulang dari Oslo. Sendirian lagi."
Ana: "Hah, kapan?"
Saya: "Liburan kemarin."
Ana: "Aku suka travel tapi nggak berani ah, sendirian. Serem."
Saya: "Yah, masih muda. Harus berani, mumpung belum ada buntut. Apalagi EU kan aman, daerah hijau. Ayo, travel, dong. Sudah divaksin lengkap, kan. Aku sudah memulainya ketika aku masih muda."
Setahu saya, selama berada di Jerman dan berkenalan dengan banyak lansia Jerman, mereka itu paling demen traveling. Entah sendirian atau bersama teman, kegemaran itu seperti minum obat. Rutin, dijalani. Kalau nggak jalan-jalan, kakinya pegal aka badan sakit semua.
Perbincangan singkat tadi membuat saya ingin berbagi tips di sini. Mula-mula, saya memulai solo travel pada umur 18 tahun. Waktu itu pasti banyak kesalahan dan pengalaman buruk yang saya alami. Mulai dari kehilangan barang sampai uang hilang. Justru itu menjadi pelajaran berharga supaya lain kali nggak kejadian lagi.
Apa saja hal yang harus diperhatikan bagi kita perempuan, ketika memutuskan diri untuk travel sendirian?
Pertama, pilih tempat destinasi yang aman. Bulan Agustus lalu, sengaja saya pilih Norwegia karena masih daerah EU. Negara itu bisa dicapai dalam 5 jam dari Swiss (melalui Zuerich-Amsterdam 2 jam, transit 1 jam dan Amsterdam-Oslo 2 jam).
Mengapa bandara Zuerich? Sebab lebih dekat ketimbang bandara Stuttgart atau Frankfurt, saya tinggal di perbatasan Jerman-Swiss. Keamanan negara Viking dijamin karena label zona hijau yang disematkan Robert Koch Institute, berkenaan dengan situasi aktual pandemi.
Artinya, saya boleh keluar-masuk ke sana tanpa karantina, tanpa PCR test dan bebas menggunakan sertifikat digital Jerman yang berlaku di EU. Keamanan kedua, karena logika saya berputar, negara modern pasti kriminalitasnya nggak setinggi di daerah yang ekonominya terpuruk.
Tapi betul, lho, lima hari di Oslo, saya nggak liat kriminalitas terjadi di kota yang nggak tidur itu. Saya juga nggak mengalami kekerasan atau pengalaman buruk malam-malam sendirian sampai pukul 22.00.
Mengapa saya tidak sampai pukul 00.00? Karena saya biasanya cepet ngantuk dan langsung ke pulau kapuk, alias kembali ke hotel. Padahal kalau di Jerman malah saya takut, tuh, malam-malam sendiri.
Kedua, pilih tiket murah. Rencana saya terbang baru Jumat, Sabtu berdiskusi dengan suami. Minggu baru kami putuskan. Hari Seninnya beli tiket, Selasanya terbang. Rencana dadakan ini mengasyikkan karena saya nggak stres dengan packing tas.
Biasanya kalau saya sudah tahu jauh hari akan pergi, tasnya sudah siap sejak lama. Hahaha. Oh, ya, pernah dengar yang namanya tiket last minute? Ini juga rekomendasi bagus buat kita.
Setelah tahu negara mana yang akan dan atau bisa dituju (berkenaan dengan visa dan bea), kita bisa beli tiket murah. Ngiler, lho, harganya cuma di bawah 100 euro atau kira-kira 1,5 juta rupiah untuk PP. Bahkan ada yang hanya 10, 20, 30 euro saja.
Ketiga, jangan lupa bawa smartphone (charger dan baterainya). Kalau zaman dulu orang travel bawa-bawa peta, sekarang ini kita cuma butuh smartphone untuk mengetahu ke mana harus mencapai tempat tujuan (must visit dll).
Mau tahu berapa harga lokal transport atau restoran yang cocok dan murah mana yang bisa kita datangi? Mudah! Malu bertanya memang sesat di jalan, yup, mbah google beraksi. Asyiknya jalan di negara kaya, internet wifi di mana-mana. Di bandara juga 4 jam gratis lagi. Komunikasi lancar deh.
Saya baru sadar pula kalau internet di Norwegia bisa saya akses gratis juga dengan kartu Jerman saya. Ah, bahagianya. Hanya saja waktu ikut nimbrung zoom Koteka, koneksinya kurang kuat karena tidak ada wifi di jalan raya. Keluar suaranya saja, gambarnya hilang.
Keempat, mencari tempat penginapan murah yang ada di pusat kota. Sebaiknya sudah dibooking sebelum tiba di tempat. Kami sekeluarga menyukai site hostel.com daripada booking.com, lantaran ada voucher bebas menginap jika sudah mencapai nilai tertentu, misalnya sudah 10 kali pesan hotel, dapat satu kali menginap gratis.
Jadi ingat kalau beli mie instan, hadiahnya piring, walah seneng banget karena ada bonusnya. Begitu kali, ya? Xixi. Karena tujuan bepergian itu bukan untuk tidur di kamar hotel saja seharian, saya beropini bahwa tidak perlu penginapan yang mahal tetapi layak untuk ditempati saat pagi dan malam hari.
Bukankah dari pagi sampai sore jalan-jalan? Kalau mau tidur saja, ya di rumah sajalah. Betul?
Memilih hotel, saya biasa memilih yang memiliki harga miring dan menyediakan makan pagi dan internet. Menurut hemat saya, kalau paginya bensin sudah diisi penuh, bisa ngegas seharian.
Namanya buffet hotel kan sedia empat sehat lima sempurna. Usai sarapan, kadang kalau lihat apel, nyamber satu untuk bekal makan siang, supaya nggak usah jajan. Ops. Baru malamnya makan malam di resto yang menarik untuk dicoba. Waktu itu saya coba restoran Asia dan Pakistan.
Kelima, bawa kartu ATM dan Kartu kredit. Dr. Tien, teman lama yang juga pernah jadi narsum di Kotekatalk bertajuk "Northern light" berpesan bahwa sebaiknya saya membawa kedua kartu itu.
Jika kartu tidak berfungsi, masih ada jagan-jagan, serep Mastercard. Maklum selama pandemi, tidak membayar kontan disarankan di mana-mana. Lebih sehat dan nyaman.
Di Norwegia, hanya kartu yang berembel-embel Visa saja yang berlaku dan mengambil uang NOK alias Kroner yang berlaku di Norwegia memang hanya bisa dilakukan di negeri asal. Saya nggak dapat Kroner di bank lokal Jerman.
Ingat pula untuk tidak menarik uang asing terlalu banyak, perkirakan budget supaya kalau sisa nggak pusing karena nggak kepakai di rumah. Seandainya sisa, belanjakan di bandara sebelum boarding.
Keenam, nggak usah bawa tas berat. Namanya juga hanya lima hari. Jadinya saya pakai jaket, tas pinggang untuk handphone, dompet, dan dokumen, serta memanggul tas punggung yang juga tas sekolah saya.
Beratnya 3 kg. Isinya? Make-up, snack (kacang dan coklat), healthy-kit (sikat gigi, odol, antiseptik sampai tes cepat), rukuh untuk sholat, dua legging, 5 CD, 3 kaos kaki, 3 kaos dan satu atasan yang pantas (untuk pesta, demi jaga-jaga).
Kalau kotor bisa dicuci dengan sabun di toilet kamar hotel dan dijereng bisa kering sampai hari berikutnya. Naaaah, namanya orang nggak tahu. Nggak ada rencana dari rumah akan sowan bapak dubes RI di Oslo.
Sampai pada suatu ketika, staf menjawab saya diberi waktu 1 jam. Padahal saya lupa bawa bawahan yang pantas untuk melengkapi atasan yang pantas tadi. Terpaksa beli rok di H&M yang sudah diskon. Habisnya, di rumah sudah banyak baju. Untuk keperluan mendadak begitu, jadi terpaksa beli tapi juga harus dipikir bea dan manfaatnya nanti.
Selain itu, tadinya saya sudah mempersiapkan termos untuk minum. Dengan harapan kalau air tidak boleh masuk bandara waktu check in, saya bisa mengeluarkan air di termos, screening tas dan mengisi termos lagi di airport dengan air kran. Jerman dan Norwegia terkenal memiliki kebersihan air ledeng yang terjamin kualitasnya.
Konon, air botolan yang dijual malah kalah. Membawa tas seperlunya ini terapi bagi traveler yang suka pergi kayak pindahan rumah. Wkwk... Bukankah pergi sendiri kalau bawa barang berat, pegel, nggak ada yang bantuin. Angkut sendiri. Sengaja nggak bawa kamera DLSR, sebab rempong, takut rusak dan kamera terkini juga bagus bisa 4K. Sudah cukup dan kecil. Oh, ya handcarry ini praktis karena nggak perlu mencari koper lama-lama di baggage claim.
Ketujuh, jalan kaki. Memang bus, kereta, trem, kereta bawah tanah banyak ditawarkan di EU. Namun entah mengapa, saya suka sekali jalan kaki. Selain gratis, saya biasa menemukan tempat-tempat yang menarik yang nggak dilewati alat transportasi umum secara kebetulan.
Contohnya, saya nemu bekas rumah para tawanan NAZI, kuburan tua dan sejenisnya. Dan lagi, jalan kaki itu sehat. Selain kaki kuat, siapkan sepatu yang kuat juga untuk diajak jalan.
Malamnya, pasti tepar dan cepat tidur karena kecapekan. Nggak perlu obat tidur, dah. Paling tidak, sehari bisa minimal 10 km hit. Jangan pakai highheels, ya. Selain nggak sehat juga capek, atuh.
***
Dari ketujuh tips dan hal yang paling utama adalah niat dan keberanian. Kalau semua tadi bisa dijalani tapi nggak niat dan nggak berani sendirian, mana jadi pergi?
Makanya di sini, saya mau komporin Kompasianer, khususnya yang wanita yang masih muda, masih singel; menabunglah. Supaya bisa dibuat jalan-jalan. Nggak usah nunggu ada kawannya, sendirian asyik juga lho, nggak ada yang rewel. Hihi. Jangan pula menunggu sampai kaya dulu. Asal hemat, bisa, kok. Menantang, bukan? Pengalaman seribu satu.
Yang sudah berumur seperti saya juga nggak ada salahnya untuk selalu memuaskan hawa jalan-jalan sendiri. Terbang bersama angin.... tapi tetap kembali ke sarang pada waktunya. Jangan lupa izin suami atau partner/pacar. Ini tata krama dan kode etik RT yang harus dipatuhi.
Dunia itu berwarna. Traveling mampu menimbulkan efek relaks yang kita butuhkan dalam hidup untuk menjalani hari demi hari berikutnya. Yak, menghadapi masalah, rintangan, godaan yang datang tanpa permisi.
Selamat merencanakan perjalanan solo traveling berikutnya. Kalian mau ke mana? Saya mau ke Indonesia! Kalau yang ini harus bawa koper 25 kg supaya banyak bumbu dan baju adat masuk ke dalamnya untuk dibawa ke Jerman. Aha!
Jaga kesehatan dan be happy.(G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H