Lomba tujuhbelasan? Siapa yang nggak punya kenangan? Seingat saya sejak kecil sampai dewasa, saya sering ikut lomba ini-itu. Bukan semata-mata untuk mencari hadiah tapi kayaknya seru ramai-ramai bersama teman, tetangga bahkan saudara untuk mengikuti acara satu demi satu. Jika menang, itu bonus. Naik panggung, terima hadiah, rasanya "wow." Nggak menang, beli hadiah sendiri. Bisa, kan?
Nah, apakah kalau sudah pindah ke luar negeri, acara lomba 17 an bagaimana, dong?
Tetap ada! Dulu sebelum ada corona, biasanya diadakan klub diaspora. Kalau mau ke konsulat atau kedutaan, juga ada. Sehubungan dengan pandemi, lombanya online, deh.
Kebetulan, saya libur sekolah selama 6 minggu tapi kerja hanya libur 2 minggu. Waktu itu saya manfaatkan untuk mengikuti lomba. Mumpung saya agak longgar, harus ikut, meskipun tetap berangkat pagi, pulang sore. Sighhhh. Capek, deh.
Jadinya, ikutlah saya 4 lomba 17 an online di KJRI Frankfurt yang informasinya saya dapatkan di medsos KJRI dan WA group.
Ikut lomba membuat tumpeng ukuran piring makan
Saya cerita salah satu dulu saja, ya. Lainnya menyusul. Salah satu lomba yang seru adalah membuat tumpeng. Uniknya, tumpeng nggak perlu setampah yang ukurannya segaban. Cukup dengan satu piring makan. "Weniger ist mehr", kata orang Jerman. Alias yang sederhana biasanya nilainya lebih. Setuju? Mari maju!
Lha, saking semangatnya, habis pulang kerja, saya membuat nasi kuning. Pertama memasak 1/4 beras di panci yang diberi air. Saya beri bumbu serai, garam, daun jeruk, bubuk lengkuas, bubuk jahe, bubuk bawang merah, bubuk bawang putih, bubuk merica, bubuk kapulaga. Ketika sudah sedikit empuk, saya tambahi dengan air santan dari kaleng. Mencari perasan segar dari kelapa pasti susah di Jerman, ya. Jadi, seadanya. Setelah semua tambah empuk, saya masukkan ke rice cooker. Masak!
Sembari menunggu, dekorasi seadanya saya buat dari wortel, tomat dan ketimun Jerman yang selalu ada di dalam kulkas. Begitu tumpeng dan dekorasi siap tersaji di atas piring, saya abadikan dengan kamera dan mengirim ke panitia 17 an di KJRI. Itu salah satu syarat mengikuti lomba; satu foto tumpeng dan satu foto selfie dengan tumpeng karya sendiri.
Tak lama kemudian, panitia mengunggah semua foto yang dikirim peserta di instagram KJRI. Foto saya jadi satu halaman dengan seorang teman, yang akhirnya nanti jadi juara II.
Tidak pernah ada pikiran harus menang, harus ada komentar dan seterusnya. Eh, ternyata ada salah satu komentar yang terbaca "Kalau saya jurinya, saya pilih si A karena punya si B (saya) lauknya hanya kacang. Saking gemesnya ini orang nggak ikut lomba cuma komentar nggak nyaman, saya balas "Ya, namanya juga lomba, tetap semangat. Lagian ini telur dadar, sayur (ketimun, wortel, seledri) bagus untuk orang Jerman yang vegetarian."
Biarlah ... badai pasti berlalu. Cetarrrrr.
Tawaran membuat tumpeng untuk perayaan 17 an di KJRI
Dan hari memang berlalu begitu cepatnya. Tidak disangka ...
Tiga hari sebelum tanggal 17 Agustus, yang menjadi tanggal perayaan kemerdekaan RI ke -76 di seluruh dunia, termasuk di Jerman, saya dihubungi mbak Putu, salah satu staff pensosbud yang baru saja mendapatkan penghargaan 10 tahun dari presiden RI karena mendarmabaktikan diri pada negara, sebagai diplomat.
Katanya, bapak Konsul Jendral menawari apakah saya mau membuat tumpeng untuk perayaan. Bea bahan-bahan akan diganti KJRI. Luar biasa, sudah 15 tahun tinggal di Jerman, belum pernah saya mendapatkan anugerah mengemban tugas dari pejabat negara seperti ini. Pejabat yang sangat menghargai diasporanya.
Hmm ... Tadinya saya ragu, apa saya bisa. Ketika dihubungi, saya masih ada di Oslo, Norwegia acara backpacking. Kalau saya pulang, rencana keluarga kami akan keliling Jerman. Saya harus berdiskusi dengan suami, apakah acara liburan bisa diubah. Yaiy. Untungnya, bisa!
Menyanggupi utusan dari bapak Acep Soemantri memang ngeri-ngeri sedap. Saya nggak bisa masak. Selama ini acara masak-masak di Jerman karena terpaksa alias harus. Haha. Maklum di Jerman nggak ada warung yang tersebar di jalan atau yang lewat-lewat begitu. Semua harus mandiri dan bahan makanan Indonesia tidak mudah mendapatkannya. Kami tinggal di tengah hutan dan tengah gunung. Jika nggak ada stok bahan pasti harus ke kota mana, begitu.
Syukurlah saya ingat, alah bisa karena biasa atau kata orang Jawa "saguh, wani, bisa, mrantasi" aka kalau sudah bersedia, berani, bisa dan menyelesaikan sampai titik.
Yup, setelah Minggu pagi sampai Jerman, Seninnya beresin tugas rumah tangga yang terbengkalai selama saya pergi. Saking banyaknya sampai hanya tidur sejak. Bangun jam tiga pagi, saya membuat tumpeng 1 kg untuk tampah dari bambu ukuran sedang. Jam 6 baru selesai, kemudian membangunkan suami dan anak-anak untuk siap-siap. Namanya juga perjalanan jauh. Dari rumah kami ke KJRI Frankfurt harus 3 jam naik mobil. Kalau naik pesawat lama lagi, karena kami harus ke Stuttgart 1 jam, belum check in, boarding dan transit. Hahaha ... aneh tapi nyata, naik pesawat malah lebih lama.
***
Dari cerita ikut lomba ini, menjadi inspirasi bagi saya. Namanya juga lomba, ini mengasah mentalitas seseorang. Ada saja orang yang mulutnya pedes ke kita. Lantas ... Mau kalah - mau menang, harus semangat. Jika menang tidak harus merendahkan yang kalah. Yang kalah, tak harus silau dari yang menang. Jika hari ini kalah, pasti suatu hari menang.
Begitu pula sebaliknya. Siapa tahu ada rejeki lain yang lebih dari hadiah yang diberikan bagi para pemenang, untuk yang tidak menang seperti saya. Iya, tawaran bapak Konjen membuat tumpeng tadi. Sebuah kehormatan, bukan? Seribu satu. (G76)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI