Sembari menunggu, dekorasi seadanya saya buat dari wortel, tomat dan ketimun Jerman yang selalu ada di dalam kulkas. Begitu tumpeng dan dekorasi siap tersaji di atas piring, saya abadikan dengan kamera dan mengirim ke panitia 17 an di KJRI. Itu salah satu syarat mengikuti lomba; satu foto tumpeng dan satu foto selfie dengan tumpeng karya sendiri.
Tak lama kemudian, panitia mengunggah semua foto yang dikirim peserta di instagram KJRI. Foto saya jadi satu halaman dengan seorang teman, yang akhirnya nanti jadi juara II.
Tidak pernah ada pikiran harus menang, harus ada komentar dan seterusnya. Eh, ternyata ada salah satu komentar yang terbaca "Kalau saya jurinya, saya pilih si A karena punya si B (saya) lauknya hanya kacang. Saking gemesnya ini orang nggak ikut lomba cuma komentar nggak nyaman, saya balas "Ya, namanya juga lomba, tetap semangat. Lagian ini telur dadar, sayur (ketimun, wortel, seledri) bagus untuk orang Jerman yang vegetarian."
Biarlah ... badai pasti berlalu. Cetarrrrr.
Tawaran membuat tumpeng untuk perayaan 17 an di KJRI
Dan hari memang berlalu begitu cepatnya. Tidak disangka ...
Tiga hari sebelum tanggal 17 Agustus, yang menjadi tanggal perayaan kemerdekaan RI ke -76 di seluruh dunia, termasuk di Jerman, saya dihubungi mbak Putu, salah satu staff pensosbud yang baru saja mendapatkan penghargaan 10 tahun dari presiden RI karena mendarmabaktikan diri pada negara, sebagai diplomat.
Katanya, bapak Konsul Jendral menawari apakah saya mau membuat tumpeng untuk perayaan. Bea bahan-bahan akan diganti KJRI. Luar biasa, sudah 15 tahun tinggal di Jerman, belum pernah saya mendapatkan anugerah mengemban tugas dari pejabat negara seperti ini. Pejabat yang sangat menghargai diasporanya.
Hmm ... Tadinya saya ragu, apa saya bisa. Ketika dihubungi, saya masih ada di Oslo, Norwegia acara backpacking. Kalau saya pulang, rencana keluarga kami akan keliling Jerman. Saya harus berdiskusi dengan suami, apakah acara liburan bisa diubah. Yaiy. Untungnya, bisa!
Menyanggupi utusan dari bapak Acep Soemantri memang ngeri-ngeri sedap. Saya nggak bisa masak. Selama ini acara masak-masak di Jerman karena terpaksa alias harus. Haha. Maklum di Jerman nggak ada warung yang tersebar di jalan atau yang lewat-lewat begitu. Semua harus mandiri dan bahan makanan Indonesia tidak mudah mendapatkannya. Kami tinggal di tengah hutan dan tengah gunung. Jika nggak ada stok bahan pasti harus ke kota mana, begitu.
Syukurlah saya ingat, alah bisa karena biasa atau kata orang Jawa "saguh, wani, bisa, mrantasi" aka kalau sudah bersedia, berani, bisa dan menyelesaikan sampai titik.