Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Kunjungi Borobudur, Perpustakaan Musik Dunia!

16 Mei 2021   21:06 Diperbarui: 16 Mei 2021   21:07 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Proyek masa depan Borobudur; Sound of Borobudur jaya (dok.Gana)

Meskipun sinar matahari di Indonesia melimpah, tetap saja masyarakatnya ingin selalu melindungi diri dengan payung supaya kulit terlindungi dan merasa tidak kepanasan. 

Sedangkan di Jerman, barangkali karena jarang ada matahari yang hangat kecuali di antara musim panas selama tiga bulan, itu menyebabkan orang-orangnya menghargai kekayaan alam yang tidak akan habis ini. Sekali ada kehangatan sinar matahari, mereka akan bersuka-ria menggosongkan diri.

Empat anggota keluarga kami tidak begitu antusias melindungi kulit dari sengatan Mentari dengan payung, malas pegang dan bawanya. Hanya baluran sun block 50 SPF yang melekat di kulit dan tetap mengenakan baju tropis.

Lain kali memang harus pakai guide, supaya  informasi  lebih banyak dan akurat.

Mulai dari bawah, kami mengamati relief. Namanya anak-anak mereka tidak sabar. Tapi entah menurut saya, saya perlu bawel untuk menceritakan tentang apa yang tersimpan di sana.

"Lihat, ada rebab di sana. Waktu kecil, mama pernah melihat eyang kakung memainkannya. Cara memainkannya digesek. Seperti kamu kalau sedang bermain biola, Cha." 

Tiba-tiba saya berseru pada anak gadis, sembari jari menunjuk pada relief di salah satu sudut. Saya berharap tema yang saya angkat menarik bagi mereka. Mendekatkan relief Borobudur dengan kehidupan sehari-hari mereka.

Anak saya itu sedikit melirik, ujung matanya mengamati alat yang dipahatkan di dinding. Beberapa menit kemudian, ia segera berlalu. Sepertinya ia kurang tertarik dengan sejarah relief. Semoga anak-anak asli Indonesia tidak begitu. Harus lebih tertarik?

Anak saya tadi lebih tertarik menuju patung Budha di dalam stupa di sana. Ia ingat betul cerita papanya bahwa memegang tangan Budha artinya mendapat keberuntungan. Saya tidak putus asa. Segera saya tarik tangan gadis satunya.

"She, coba lihat. Apakah kamu menemukan alat musik dengan senar lainnya dalam relief?" Tanya saya sembari mendekat ke arah dinding. Si anak yang belajar main gitar sejak 3 tahun lalu itu memandang wajah saya yanfg berkeringat. Ia menggeleng. Saya masih juga tak jera bercerita.

"Ini ada suling atau seruling. Ingat, kan kamu dan kakak pernah kursus di Frau Mueller di gang bawah? Di Indonesia juga sudah lama dikenal alat musik ini. Untuk mencatat sejarahnya, diceritakan dalam bentuk relief ini." Saya coba ingatkan dia pada alat musik yang di Jerman disebut Blockpfloete atau seruling. Pernah sekian tahun saya kursuskan mereka berdua, supaya belajar alat musik untuk keseimbangan kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun