Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Kunjungi Borobudur, Perpustakaan Musik Dunia!

16 Mei 2021   21:06 Diperbarui: 16 Mei 2021   21:07 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perpustakaan musik dunia (dok.Gana)

Menjadi diaspora yang tinggal di Jerman lebih dari 10 tahun, tetap ada satu keinginan "Anak-anak harus mengunjungi Borobudur, harus, meski hanya sekali!"

Mereka besar di Jerman tapi tetap saja ada darah Indonesianya, jadi bagaimanapun, harus mengenal peninggalan sejarah bangsa yang adi luhung dan pernah masuk 7 keajaiban dunia; Borobudur!

Walaupun jaraknya sangat jauh dari Jerman, meskipun harga tiket orang asing untuk masuk ke candi terhitung mahal (@Rp 250.000-Rp 350.000), saya pikir, kalau nggak sekarang datang, kapan lagi? Teman-teman di luar negeri yang anak-anaknya belum ke sana, mari diajak.

Itulah sebabnya, meski 4 anggota keluarga saya ngotot ingin pergi ke Amerika, negara yang belum pernah kami kunjungi, pada akhirnya, kami sepakat berlibur ke Indonesia juga musim panas itu. Dan Borobudur menjadi salah satu pilihan selain Semarang, Bali, Yogyakarta, Solo, Labuan Bajo dan pulau Rinca.

Sebagai orang Indonesia, yang lahir dan besar di tanah tumpah darah,  kunjungan ke Borobudur adalah salah satu menu tamasya langganan. Meskipun demikian, saya tidak pernah bosan untuk datang lagi dan lagi ke sana, serta memperkenalkannya pada orang-orang terdekat saya.

Mengapa? Karena saya masih menganggap Borobudur ini ajaib, luar biasa dan harus dilestarikan. Jadinya, mari kabarkan pada dunia!

Betapa tidak, bayangkan bagaimana pada abad 7 Masehi, wangsa Syailendra bisa membangun candi 10 tingkat, dengan relief yang menakjubkan? Zaman yang pasti belum serba digital dan canggih seperti sekarang. Semua masih dengan tangan. Ajaib!

Keajaiban lain adalah siapa saja yang sudah singgah ke situs yang diakui UNESCO sebagai heritage kita ini? Mulai dari Charlie Caplin, David Beckham, Mark Zuckerberg, sampai Barack Obama menyempatkan waktu berkunjung. Magnet pesona candi Budha terbesar sedunia itu pasti bukan sembarangan. Ini sungguh luar biasa. Masak, orang Indonesia dan keturunannya sendiri malah kalah dengan mereka? Jangan sampai.

Borobudur, kami amati alat musik dunia di dindingmu

Kesannya dari zaman kanak-kanak, kalau ke Borobudur pasti panas, saya butuh payung. Tiba di Borobudur, saya sudah siap mengembangkan payung lipat dari dalam tas yang selalu setia menemani perjalanan keliling Indonesia.

Andai saya melakukan ini di Jerman, banyak orang Jerman yang nyengir sambil nyeletuk "Tidak hujan, kok payungan." Bangsa Aria ini tidak tahu bahwa payung di negeri kita memiliki dua fungsi untuk melindungi diri dari panas dan hujan. 

Meskipun sinar matahari di Indonesia melimpah, tetap saja masyarakatnya ingin selalu melindungi diri dengan payung supaya kulit terlindungi dan merasa tidak kepanasan. 

Sedangkan di Jerman, barangkali karena jarang ada matahari yang hangat kecuali di antara musim panas selama tiga bulan, itu menyebabkan orang-orangnya menghargai kekayaan alam yang tidak akan habis ini. Sekali ada kehangatan sinar matahari, mereka akan bersuka-ria menggosongkan diri.

Empat anggota keluarga kami tidak begitu antusias melindungi kulit dari sengatan Mentari dengan payung, malas pegang dan bawanya. Hanya baluran sun block 50 SPF yang melekat di kulit dan tetap mengenakan baju tropis.

Lain kali memang harus pakai guide, supaya  informasi  lebih banyak dan akurat.

Mulai dari bawah, kami mengamati relief. Namanya anak-anak mereka tidak sabar. Tapi entah menurut saya, saya perlu bawel untuk menceritakan tentang apa yang tersimpan di sana.

"Lihat, ada rebab di sana. Waktu kecil, mama pernah melihat eyang kakung memainkannya. Cara memainkannya digesek. Seperti kamu kalau sedang bermain biola, Cha." 

Tiba-tiba saya berseru pada anak gadis, sembari jari menunjuk pada relief di salah satu sudut. Saya berharap tema yang saya angkat menarik bagi mereka. Mendekatkan relief Borobudur dengan kehidupan sehari-hari mereka.

Anak saya itu sedikit melirik, ujung matanya mengamati alat yang dipahatkan di dinding. Beberapa menit kemudian, ia segera berlalu. Sepertinya ia kurang tertarik dengan sejarah relief. Semoga anak-anak asli Indonesia tidak begitu. Harus lebih tertarik?

Anak saya tadi lebih tertarik menuju patung Budha di dalam stupa di sana. Ia ingat betul cerita papanya bahwa memegang tangan Budha artinya mendapat keberuntungan. Saya tidak putus asa. Segera saya tarik tangan gadis satunya.

"She, coba lihat. Apakah kamu menemukan alat musik dengan senar lainnya dalam relief?" Tanya saya sembari mendekat ke arah dinding. Si anak yang belajar main gitar sejak 3 tahun lalu itu memandang wajah saya yanfg berkeringat. Ia menggeleng. Saya masih juga tak jera bercerita.

"Ini ada suling atau seruling. Ingat, kan kamu dan kakak pernah kursus di Frau Mueller di gang bawah? Di Indonesia juga sudah lama dikenal alat musik ini. Untuk mencatat sejarahnya, diceritakan dalam bentuk relief ini." Saya coba ingatkan dia pada alat musik yang di Jerman disebut Blockpfloete atau seruling. Pernah sekian tahun saya kursuskan mereka berdua, supaya belajar alat musik untuk keseimbangan kehidupan.

Berbeda dengan zaman saya masih kanak-kanak. Banyak anak yang kurang didukung para orang tua untuk belajar alat musik. Mungkin selain soal dana, juga kepopuleran alat musiknya kurang menarik anak-anak untuk mempelajarinya.

Sedangkan di lingkungan kami, banyak anak yang distimulasi para orang tua untuk belajar alat musik sejak dini. Bahkan ada pemda yang memberi subsidi dana bagi keluarga yang mengirim anaknya ke sekolah musik, dengan diskon sekian persen. Bagaimana dengan Indonesia? Barangkali belum sampai ke sana.

Berkunjung ke Borobudur bersama keluarga (dok.Gana)
Berkunjung ke Borobudur bersama keluarga (dok.Gana)
Jenis-jenis alat musik di relief candi Borobudur

Anak-anak dan suami sudah meninggalkan saya sendirian mengamati relief demi relief. Kamera tetap menyelempang di badan. Sungguh hebat bagaimana tukang pahat zaman itu melukiskan apa yang terjadi pada zaman dulu itu. Zaman itu belum ada foto digital, mereka memahatkannya pada batu.

Entah mengapa, saya menyukai untuk mengamati detilnya. Biasanya, turis yang wara-wiri di Borobudur yang saya temui, mereka hanya sambil lewat saja.

Menurut situs Kemendikbud. Borobudur memiliki 4 jenis alat musik dunia yang dipahatkan dalam relief dinding candi:

Pertama adalah idiophone. Alat musik yang dipukul dan diketok ini terbuat dari bahan kayu atau besi. Bagi kita yang sudah sering datang ke pagelaran wayang kulit, di mana ada gamelan Jawa yang disebar di belakang layar sang dalang. 

Pasti pernah melihat gong, gambang, gender dan saron. Sedangkan di sekolah, seperti di SMP tempat saya pernah mengenyam pendidikan, ada kulintang. Nah, alat-alat tersebut masuk di dalamnya.

Kedua, yakni membraphone. Alat musik dari bahan kulit yang berbentuk lingkaran yang melekat pada rangka. Beberapa contoh alatnya adalah gendang, tambur dan dogdog. 

Gendang tidak hanya dimiliki Indonesia, negara seperti Afrika pun juga punya. Gendang Afrika bisa ditemukan di toko-toko etnis di Jerman dan ada beberapa pagelarannya. Menarik sekali, bukan?

Ketiga adalah chordophone. Jenis instrumen yang merupakan alat getar karena cirinya memiliki senar atau tali yang bisa digesek atau ditekan. Di Jerman, alat musik biola sangat diminati anak-anak. Mereka mempelajarinya dengan suka rela, dan mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk kursus tiap bulannya. 

Contoh yang ada di relief candi pada alat jenis ini adalah rebab dan tatawangsa. Rebab biasa terdengar di acara wayangan (wayang kulit), msik tarian Jawa klasik atau musik gamelan Jawa untuk acara pernikahan dalam rekaman kaset.

Keempat, yaitu aerophone. Jenis alat musik yang menghasilkan suara karena udara ditiup atau dipompa ini memiliki lubang-lubang yang ada pada alat. Anak-anak kami mengingat saxofon sebagai salah satu alat yang ditiup karena setiap minggu menonton film "The Simpson", di mana Lisa, anak gadis nomor dua dari keluarga itu, suka memainkan alat musik yang mengingatkan saya pada Kenny G. 

Beberapa alat music lain yang ditiup adalah terompet, sangka dan uling. Sedangkan alat musik yang dipompa adalah organ, elekton dan harmonika, sebagai salah satu alat yang dekat dengan kehidupan kami di Jerman. 

Di kota sebelah, bahkan ada museum harmonica di mana ada perusahaan yang memproduksinya dan disebarkan di seluruh dunia. Di kampung kami, ada komunitas pemain harmonika pula.

Sewaktu mengamati relief, saya kurang awas dengan 4 kategori musik tersebut. Akhirnya, memang tidak salah jika kita menyebut "Borobdur sebagai perpustakaan musik dunia" atau "Borobudur, pusat musik dunia" karena semua instrumen digambarkan di reliefnya.

Proyek masa depan Borobudur; Sound of Borobudur jaya (dok.Gana)
Proyek masa depan Borobudur; Sound of Borobudur jaya (dok.Gana)
Pentingnya Gerakan Sound of Borobudur

Jujur, kalau tidak nimbrung di Kompasiana, saya tidak akan tahu tentang gerakan "Sound of Borobudur" yang sudah lama digembar-gemborkan dan saya ketinggalan berita. Terima kasih, Kompasiana.

Dari event ini, saya tertarik melihat profil websitenya:

Sound of Borobudur merupakan Gerakan Kebangsaan melalui Budaya, dengan menggaungkan kembali bunyian Peradaban Borobudur yang terpendam selama ribuan tahun, agar dapat dimanfaatkan di masa depan. Salah satunya adalah dengan melalui media Seni (sebagai Produk Budaya), dalam mengajarkan nilai warisan leluhur, untuk membangun Manusia Indonesia yang memiliki akar jati diri yang kuat, baik, welas asih, saling menolong, serta berbakti pada Negara. Yang mana hal tersebut merupakan modal utama untuk membangun Negara dan Rakyat Indonesia.

Gerakan yang bermaksud untuk melestarikan kekayaan budaya Indonesia berupa candi Borobudur yang memiliki catatan sejarah dalam reliefnya, di mana menggambarkan tentang alat musik dunia dari keempat jenis tersebut di atas, patut kita dukung. Lah kalau belum pernah datang ke Borobudur, belum mengamati reliefnya, bagaimana bisa?

Untungnya pada Kamis 8 April 2021 ada musisi Dewa budjana dan Tri Utami, Bintang Indrianto dan kawan-kawan yang  tampil di Omah Mbudur, Jowahan, Wanurejo, kecamatan Borobudur, kabupaten Magelang.  Mereka mengalunkan musik replika dari relief candi terbesar kebanggaan Indonesia.

Ide Dewa Budjana dan Tri Utami untuk mereplika instrument dalam relief dan mencari tahu cara membunyikannya dengan ala zaman now, merupakan kreativitas anak bangsa yang patut ditiru. Sekitar 200 alat replika sudah ada. Dikatakan oleh gubernur Jateng Ganjar Pranowo bahwa ini merupakan riset yang menakjubkan. Reinventing yang tak hanya melibatkan musisi yang peduli tentang ini, juga beberapa ilmuwan yang berkompeten di bidangnya.

Yang kemudian menjadi wacana adalah, bagaimana alat-alat tersebut bisa diproduksi, dimainkan dan memperkaya budaya tanah air. Bisa? Wonderful Indonesia!(G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun