Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Anak Perempuan Sebaiknya Belajar Ketrampilan Keperempuanan Sejak Dini

7 April 2021   21:00 Diperbarui: 7 April 2021   21:20 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak perempuan sebaiknya belajar ketrampilan keperempuanan (Dok.Gana)

Dalam zoom Komunitas Traveler Kompasiana menyongsong hari Kartini, saya mewakili admin sebagai moderator untuk mendampingi Dubes Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Hongaria 2014-2018, Dra. Wening Esthyprobo Fatandari, yang menyampaikan presentasi bagaimana memperingati hari Kartini di negeri Orang. 

Dalam beberapa acara di Hongaria dan Jerman, ibu dubes mampu mencontohkan bagaimana menjadi perempuan Indonesia di negeri orang. Antara lain adalah mau dan mampu berbusana pakaian tradisional dalam acara-acara khusus dan kegiatan lain yang berhubungan dengan keperempuanan seperti memasak dan menata bunga di dalam ruangan.

Dalam acara itu, saya berpakaian kebaya hitam dengan garis bordir emas dan ... disanggul! Memang ada salon di Jerman yang bisa membantu saya? Tidak, tentu tidak. Pertama, pandemi semua salon tutup. Alasan kedua, gaya tatanan rambut Jawa dengan sunggar dan sanggul tentu bukan menjadi menu dalam pelayanan mereka. Makanya, saya buat sendiri.

Kok, bisa? Kalau saya pikir karena ibu dulu waktu remajanya sinden dan ketika menikah dan berkeluarga, ibu masih sering memakai sanggul sendiri alias bukan ke salon. Perias hanya membantu ibu jika ada acara mewah seperti mantu atau menikahkan saya dan adik bungsu. Bayangkan kalau harus ke salon, ibu hampir setiap minggu sanggulan, bisa besar pasak daripada tiang!

Dari situ, saya sering melihat ibu menyasak rambut di kamar, menyemprotkan hairspray dan memberi satu demi satu jepit biting warna hitam supaya rambut rapi. Seru!

Kemudian, karena saya suka menari meski sudah berada di Jerman, saya harus bisa menggelung rambut sendiri. Dan saya mau mencoba, terus dan terus. Alah bisa karena biasa. Tidak sehalus kerjaan salon tapi lumayan, sudah pantas disebut sunggar dan gelungan Jawa lah.

Teman-teman, saya sendiri dulu adalah bukan anak sekolah yang membayangkan bahwa suatu hari akan tinggal di luar negeri. Kalau keliling dunia dan kembali ke tanah air, iya. Saya memimpikan itu. Rupanya nasib sudah digariskan. Saya harus berada di negeri orang. 

Di luar negeri semua dikerjakan sendiri, tidak ada keluarga, teman atau pembantu yang bisa meringankan tugas kita. Jadi istilahnya; kalau nggak masak nggak makan. Kalau nggak mencuci dan menyetrika baju, telanjang. Nggak bisa dandan dan berhias, monoton tampilannya. Capek, deh. 

Hikmahnya, kita jadi pribadi yang terlatih untuk mencoba apa saja dan bisa apa saja karenanya. Thanks God, I am a woman! Bersyukur sekali, saya dilahirkan sebagai seorang anak perempuan di dunia ini.

Apa saja ketrampilan anak perempuan yang sebaiknya diasah selama masa sekolah?

Waktu masih SD tahun 1980 an, saya beruntung masih ada kurikulum pendidikan seni ketrampilan di mana saya diajari para ibu guru untuk membuat sentiling (jajanan dari parutan ketela pohon), membuat kue bolu kukus, menata bunga di dalam vas, membuat prakarya untuk hiasan dekorasi rumah, menyetrika, memiru (melipat bagian ujung dari kain batik untuk melengkapi kebaya) dan menari. 

Meski tidak seperti masa pendidikan ayah ibu saya yang lebih dahsyat, yaitu mendapatkan pelajaran budi pekerti saat di bangku sekolah, pendidikan yang saya dapatkan tersebut di atas sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi di luar negeri, sangat diperlukan!

Di Jerman, tidak ada perbedaan gender saat melakukan tugas di dalam atau di luar rumah, tetapi rasanya seperti mendapat hadiah Lotto milyaran ketika saya bisa mengerjakan semuanya sendiri di negeri orang. 

Maklum, negeri Jerman misalnya sangat menganut sistem kemandirian dan kedisiplinan yang tinggi dibanding di tanah air. Jadi karena di SD dulu sudah diajarkan dan dipraktekkan sampai dewasa saat di rumah, itu menjadi ketrampilan 1001 yang tidak semua perempuan mau dan mampu. Nggak percaya?

Memasak

Tadi sudah saya sebutkan bahwa di SD saya diajarkan ibu guru, cara membuat Sentiling. Bagi orang Jawa pasti sudah sering mendengar bahkan mengudapnya. Kue dari bahan parutan ketela pohon yang diberi warna dan tabur parutan kelapa itu dikukus. Ini tentu menjadi dasar bagi siapapun anak perempuan Indonesia, bahwa jajanan pasar itu adalah warisan budaya yang harus dilestarikan. Tak hanya di dalam negeri tapi juga di luar negeri. 

Ketrampilan membuatnya akan sangat bermanfaat karena ini akan menjadi promosi kuliner gratisan. Banyak kegiatan budaya yang membutuhkan snack luar biasa yang tidak ditemukan di luar negeri. Kalau yang bikin orang asli Indonesia pasti rasanya beda. Bikin sendiri apalagi pasti hasilnya lebih memuaskan, tahu pasti nutrisi yang dikonsumsi, serta bikin bangga. 

Coba kalau harus mendatangkan ahli tukang bikin jajan pasar dari Indonesia simbok dari pasar mana begitu atau chef dari hotel atau restoran berbintang berapa. Banyak bea  yang harus dikeluarkan dan pasti repot bukan? 

Oh, ya, anak perempuan juga harus diajarkan cara membuat pizza, spaghetti, cordon bleue, sushi, steak atau makanan asing lainnya, supaya kalau ke luar negeri bahkan sampai tinggal di sana sudah mahir. Jangan-jangan ikut pertemuan internasional kelaparan karena lidahnya nggak cocok dengan makanan asing yang disajikan. Terus buntutnya rebus indomi di dalam kamar. Nah, belajar memasak, kalau tidak pernah ke dapur, tidak pernah diajarkan di sekolah, bagaimana  mungkin bisa?

Menyetrika

Di kelas 6, ada ujian menyetrika dalam mata pelajaran pendidikan seni dan ketrampilan di SD kami. Jadi sebelumnya, guru mengajari cara menyetrika baju hem dengan baik dan benar. Barangkali dipilih kelas teratas lantaran sudah bisa mengerti soal bahaya panas dari alat setrika dan tentu listrik dari kabel. Kalau diajarkan di kelas yang lebih rendah anak-anak pasti kurang awas.

Nggak menyangka bahwa ini akan bermanfaat untuk melaksanakan tugas rumah tangga. Bayangkan saja kalau menyetrika ditunda-tunda karena tidak bisa, alamat gunungan cucian bersih meledak. 

Memang mencuci dan mengeringkan baju bisa dengan mesin. Tinggal pencet. Kalau setrika baju? Paling banter ada mesin otomatis untuk menyetrika sprei yang besar tapi harganya mahal. Dan kebanyakan orang Jerman tidak menyetrika sprei tempat tidur, hanya langsung dilipat ketika dikeluarkan dari mesin pengering baju. Selain hemat waktu, juga hemat bea listrik untuk setrika sprei. Asyik, ya.

Menjahit

Di dalam hotel, biasanya tersedia "sewing kit." Namanya perjalanan, pernah kali yang namanya kancing copot atau celana/baju robek sedikit. Perlu dibenahi ketimbang beli baru. Ya, kalau bisa menjahit dengan tangan, kalau tidak, takutnya yang ditusuk jarum, jari sendiri. Auwa!

Lagi-lagi pelajaran keperempuanan di SD saya dapatkan. Cara menjahit kancing yang lepas, membuat bordir untuk taplak, kristik untuk hiasan dinding dan lainnya, semua sudah biasa diselesaikan dengan tangan bukan mesin!

Jika ini menjadi ketrampilan yang dimiliki anak perempuan Indonesia, alangkah banyak sekali manfaat yang bisa didapatkan dalam kehidupan. Walaupun zaman sekarang zaman otomatis dan zaman digital, tetap saja yang dikerjakan dengan tangan akan memiliki nilai ekstra.

Menata bunga dan atau berkebun

Saya pernah merengek ibu minta uang, supaya bisa membeli bunga di pasar kembang, demi bahan ujian merias bunga di sekolah. Kata ibu, saya disuruh mencari di kebun. Kebun mana? Kebun siapa? Akhirnya, saya membeli sedikit di pasar bunga. Teman-teman sudah membeli bahan yang banyak dan bagus. Intinya adalah merangkai, jadi nilai bergantung pada hasil kreasi orangnya, bukan jenis bunganya.

Ternyata, keindahan sangat diperhatikan di Jerman. Jika saja saya tidak ada dasar merangkai bunga, pasti sulit ya, mengikuti budaya orang sini yang suka menghias rumah dengan bunga di dalam vas dan diganti-ganti sesuai musimnya. 

Lantas, mereka ini juga paling jago berkebun. Jika saya tidak pernah menyentuh bunga, batang, ranting dan sejenisnya, pasti saya nggak bakal bisa terjun di kebun. Kebun itu kan ada tanah, air, basah, kotor dan cacing. Nah, kalau tidak terbiasa pasti nggak mau. Padahal tradisi berkebun ini sudah turun-temurun di Jerman. Mereka sampai bela-belain meminjam tanah di pinggiran kota untuk menuruti hobi berkebun.

Berdandan

Sebagai orang yang suka menari dan pentas dalam kegiatan budaya di Jerman, ketrampilan berdandan ini tentu sangat berguna saat berada di negeri orang. Untuk rias wajah misalnya, pasti banyak salon yang bisa. 

Tapi ingat, pergi ke salon Jerman tidak bisa hari ini datang langsung dirias, harus ada perjanjian namanya "Termin." Dan kalau sedang peak season banyak orang menikah misalnya, bikin janjinya susah. Makanya, bisa berdandan sendiri selain lebih asyik, hemat dan menjadikan kita pribadi mandiri. Tak perlu bermake up tebal untuk tampil. Tipis-tipis manis sudah cukup.

Di SD, SMP atau SMA tidak diajarkan ketrampilan berdandan. Namun seingat saya ada peajaran cara memiru kain batik. Kain akan dilipat dibagian ujungnya. Kalau perempuan lipatannya akan lebih kecil, laki-laki lebih besar. Ujung kanan atau ujung kiri kain, menentukan jenis kelamin. Jangan salah.

Memotong rambut

Keahlian ini tambahan dalam pendidikan ketrampilan keperempuanan versi saya. Permintaan suami saya supaya saya belajar cara memotong rambut saya ikuti. Ia paling malas harus jauh-jauh pergi ke salon dan bikin janjinya tidak bisa sembarangan. Tadinya mau ambil kursus rambut di Jerman, selain bahasanya pakai Bahasa Jerman, harga paketnya masyaallah mahalnya minta ampun bisa buat terbang ke Indonesia. 

Untuk itu, saya niat untuk belajar di Rudi Hadisuwarno di Semarang tahun 2008. Kapan itu saya pulang sebulan bersama dua gadis kecil, jadi ada banyak waktu khusus untuk belajar di mana anak-anak dititipkan orang tua. 

Sepulang dari tanah air, saya memotong rambut anggota keluarga kami, tak perlu ke salon. Hemat budget rumah tangga dan cepat karena dikerjakan di rumah sambil nonton TV segala dan tak usah bikin janji. Bahkan kadang membantu teman atau tetangga dekat, supaya gratis dan tak perlu ke kota.

Ya, nggak disangka bahwa ketrampilan memotong rambut ini menjadi hal yang sangat bermanfaat di masa pandemi sejak 2020, di mana semua salon ditutup karena disinyalir seagai tempat berkumpulnya banyak orang dan ikut menyebarkan virus covid19. Memotong rambut tidak pernah menjadi masalah  bagi kami sekeluarga, sebab sebagai perempuan, saya memiliki ketrampilannya  dan alatnya ada di rumah.

***

Wah, banyak sekali ya, pendidikan ketrampilan anak perempuan yang sebaiknya dipelajari dan bermanfaat dalam kehidupan? Bukan berarti setiap anak perempuan Indonesia harus menguasai semua, lho. Tentu tidak karena setiap anak memiliki bakat dan minat sendiri-sendiri, tidak bisa dipaksakan.

Namun sekali lagi, jika sekolah-sekolah di tanah air seperti dahulu kala, memasukkan kurikulum pendidikan seni ketrampilan di SD atau PKK (pendidikan ketrampilan keluarga) di SMP, untuk mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan ketrampilan keperempuanan, alangkah ini akan membantu negara dalam mempersiapkan generasi muda yang terampil dan cakap, siap ditempatkan di mana saja. Atau minimal, dimasukkan ke kegiatan ekstrakurikuler pada sore hari, di mana anak perempuan bisa mendapatkan pendidikan non formal ini sebagai tambahan dan pilihan.

Jika tidak, mari ajari anak-anak kita sendiri, dari rumah. Jika main medsos ada waktu, untuk masa depan anak-anak pasti tambah ada waktu, bukan? Karena anak adalah kebanggaan orang tua. Kalau anak-anaknya hebat, orang tua juga ikut merasa hebat.

Sebuah ketrampilan itu memang bisa dikembangkan, tidak ada kata terlambat untuk memulainya saat sudah dewasa, tetapi ya itu, kalau sudah ada dasarnya sejak dini, ini akan menjadi pondasi yang kuat bagi masing-masing pribadi. 

Untuk itu, mari kita ajari anak-anak kita untuk belajar hal-hal yang berkaitan dengan ketrampilan keperempuanan supaya mereka ini siap untuk hidup mandiri di manapun mereka berada. Dimulai dari memasak, memanggang kue, menjahit kancing baju, membuat pita bandana, berkebun dan kegiatan ringan dan mengasyikkan lainnya di rumah. 

Jangan ajarkan anak-anak perempuan yang hanya mengandalkan orang lain saja. "Mbak, ambilin kue" atau "Bu, tolong setrikakan bajuku." Ya, kalau ada yang bantu, kalau nggak ada orang, nggak ada waktu ...nangis bombay, deh. Khususnya saat berada di luar negeri, ini mimpi!

Baiklah, teman-teman, selamat memperingati hari Kartini tanggal 21 April 2021 nanti. Bagi saya, ini  sebagai tonggak sejarah atau memori untuk mengingatkan kita semua bahwa setiap anak perempuan Indonesia di manapun ia berada, sebenarnya mampu melakukan apa saja yang dicita-citakan, bisa sejajar dengan kaum pria pula tapi harus ikut mempersiapkan diri, dan tentu, wajib diberikan kesempatan seluas-luasnya. Jangan halangi perempuan, sebab ini akan menutup kemungkinan kami untuk maju. Perempuan memiliki hak yang sama seperti kaum laki-laki tapi jangan mau jadi kaum instan, ayo maju sekaligus mandiri! (G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun