Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mahalnya Harga Buang Paving di Jerman Bisa Mencapai Belasan Juta Per Kontainer

9 Maret 2021   19:22 Diperbarui: 10 Maret 2021   09:07 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teman-teman, kalian pernah ke kota lama, "The little Netherland" di Semarang atau di kota-kota tua lainnya di seluruh penjuru tanah air? Atau yang sudah ke tempat wisata di Passau, Jerman atau Venezia, Italia pasti pernah melihat pemandangan yang mirip, yaitu gang sempit dan lantai yang sama. 

Lihatlah, lihat. Di sana jalannya bukan beraspal tapi berpaving. Peninggalan Eropa yang mengingatkan saya pada tempat di mana saya merantau saat ini, membuat saya ingin berbagi tentang wawasan baru mengenainya.

Mengapa orang memilih paving?

Di Jerman, paving atau disebut "Pflaster" banyak digunakan untuk digunakan sebagai lantai di depan rumah, depan garasi atau di taman. Mengapa? 

Pertama karena secara optik, paving enak dan nyaman dipandang serta bersih. Namanya orang Jerman, sangat identik dengan dua hal itu. 

Istilahnya ketika mau makan pun, sajiannya harus cantik supaya mengundang lidah bergoyang. Kata mereka "Die Augen essen mit" atau yang makan tak hanya mulutnya tapi juga matanya. Dari mata turun ke perut.

Kedua, ramah lingkungan. Jerman sangat peduli tentang hal satu ini. Paving memberi kesempatan bumi untuk bernafas, meskipun ditutupi batu atau beton. Sebab, ada celah di antaranya yang memungkinkan air hujan atau air yang datang, jatuh ke bawah dan diserap tanah. Bayangkan jika semua permukaan diaspal. Bagaimana mungkin air mengalir? Banjir!

Ketiga, banyak bentuk yang bisa dipilih, dari yang bundar, persegi panjang, kuadrat.

Keempat, banyak warna yang bisa dipilih sesuai selera. Ada yang abu-abu, hitam, merah, oranye dan warna campur.

Kelima, awet. Meski paving bisa saja rusak, tetapi lebih awet dibandingkan kalau lantai disemen atau diberi bahan lainnya. 

Di Jerman, selalu ada standardisasi untuk semua hal, begitu pula paving. Garansi rata-rata paving yang beredar di pasaran hanya 10-20 tahun. Bisa juga 25 tahun atau lebih, tergantung kondisi. Dan nggak heran banyak orang Jerman mengganti paving setelah 25 tahun berlalu, padahal kalau untuk ukuran orang Indonesia sepertinya masih layak.

Keenam, kuat. Lihatlah di bandara. Halamannya berpaving. Artinya, paving mampu menahan tekanan dari pesawat yang besarnya segaban. 

Paving juga awet melawan minyak, bahan kimia, salju dan garam, yang di Jerman biasa disebar untuk menghilangkan licinnya permukaan jalan demi menghindari kecelakaan.

Ketujuh, perawatannya mudah. Meskipun seiring berjalannya waktu, warna paving bisa berubah, tetap saja memiliki keuntungan bagi pemiliknya karena untuk merawatnya mudah. 

Menurut pengamatan saya, paving yang memiliki jarak lebar akan mengundang "Moos" atau lumut yang memberi pekerjaan tiada henti tiap tahunnya. 

Sebaiknya memang dengan jarak sempit dan bukan paving yang berbentuk bundar. Ini juga akan memicu ketidakramahan orang karena menggunakan bahan kimia untuk menghilangkannya secara cepat tapi tidak berkesinambungan dengan lingkungan. Untuk mengambil atau memasangnya, harus satu-persatu, bisa capek.

Congkel paving satu-persatu, capek deh (dok-Gana)
Congkel paving satu-persatu, capek deh (dok-Gana)
Harga memasang paving

Kalau ada yang ingin tahu tentang harga memasang paving di Jerman, jangan kaget ya. Saya sendiri mengaku terkejut mengetahui kenyataan ini. Lantas, punya ide gila, membayangkan mengimpor para tukang Indonesia ke Jerman demi kesejahteraan dua pihak.

Oh ya, saya baru paham kalau proses pembuatan paving itu sangat detail setelah saya melihat dengan mata kepala sendiri. Begitulah, kehidupan Jerman memang keras. Nah, berikut langkah-langkah yang biasa dilakukan saat membangun paving:

Menandai lahan
Untuk mengetahui secara persis mana daerah yang akan di-paving, tukang akan memberikan tanda dengan semprotan warna. Biasanya warna yang terlihat jelas oleh mata seperti merah atau biru. Ada juga sih tukang yang memakai senur putih atau merah.

Menggali lahan dan membuangnya
Lahan yang sudah ditandai lalu digali. Biasanya dengan "Bagger" atau traktor khusus. Sampah berupa tanah dan batu dari bumi akan dibuang ke "Deponie" atau tempat pembuangan sampah khusus. 

Harga jasa tukangnya saat menggali per kuadrat meter adalah Rp 170 K, sedangkan untuk pembuangannya adalah separohnya per kuadrat meter persegi.

Pondasi
Ini perlu supaya ada dasar yang kuat di mana paving akan diletakkan. Biasanya setebal 100 mm dengan batu (Kiess-kecil dan Schotter-besar). 

Untuk meratakannya ada alat khusus, untuk menekan permukaannya supaya padat berisi. Baru disiram pasir secara merata. Ini dibandrol pada Rp 400 K per kuadrat meter.

Pemasangan garis batas batu
Seperti halnya manusia, harus ada aturan supaya tidak seenaknya sendiri. Demikian pula paving, supaya tidak ke mana-mana, paving harus dibatasi dengan batu di sekelilingnya agar menyatu, seperti pagar lah. Harganya pemasangannya per kuadrat meter mencapai Rp 85 K.

Pemasangan paving
Bagian tersulit darinya adalah pemotongan. Alatnya harus khusus dan termasuk penyumbang polusi suara yang memekakkan telinga. Untuk membantu pemasangan tetap lurus, diperlukan senur putih atau merah. Ini sama dengan bea untuk pembuatan pondasi.

Penuangan pasir
Setelah paving terpasang, jarak di antara paving harus ditutupi supaya tidak kemasukan kotoran seperti daun, batang, batu atau yang lain. 

Makanya, perlu adanya pasir untuk menutupinya. Pasir akan membantu penyerapan air yang datang dan menyedotnya ke bawah tanah.

Dari semua proses, diperkirakan paving dengan luas 100 meter persegi dikerjakan selama 1 minggu dengan bea 7900 euro atau Rp 136 juta. Kok, bisa? 

Sebab yang mengerjakan paving biasanya hanya 2 orang, berbeda dengan pemandangan pekerjaaan bangunan di Indonesia yang buanyaaaaaak banget tukang yang bekerja dalam satu proyek dan biasanya tarifnya lebih murah. 

Di Jerman, alatnya banyak dan tersebar di segala penjuru di sekitar tempat yang direnovasi. Kata mereka, mesin lebih cepat dan tidak rewel protes ini dan itu. Kalau bermasalah, tinggal dimatikan dengan menekan tombol "off", habis perkara. 

Memang harga blue collar sama mahalnya dengan white collar, alias penghargaan kepada tenaga kasar dengan menggunakan keterampilan tangan sangat dihargai. Manusiawi tapi kantong pun jadi bolong.

Buang paving mahal, pasang paving tambah mahal (dok.Gana)
Buang paving mahal, pasang paving tambah mahal (dok.Gana)
Mengganti paving yang rusak

Teman-teman, jika harga membeli paving ditakar pada Rp 170 K per kuadrat meter, yang dari batu alam tiga kalinya. Harga bisa tergantung dari pergerakan pasar. Misalnya kalau banyak permintaan pasti harganya naik. 

Musim sekarang ini, banyak orang di rumah, banyak orang melakukan renovasi sehingga permintaan bahan-bahan bangunan naik. Namun, setelah adanya penutupan semua toko kecuali toko bahan makanan, bisa saja harganya turun.

Bagaimana jika membuangnya? Bisa dilelang? Bisa dijual? Boro-boro, dikasih orang saja belum tentu ada yang mau, walaupun kualitasnya lebih bagus dan secara optik terlihat tidak berbeda dengan paving beli baru. Di Indonesia, saya yakin masih banyak yang membutuhkan dan mau mengambilnya secara cuma-cuma.

Jadi jangan mengharap kalau akan membuang paving di Jerman akan gratis. Membuang sampah di Jerman sangat detail, semua ada tempatnya, tidak bisa sembarangan. Makanya, harus menghubungi perusahaan yang mengurusi persampahan (besar) "Entsorgung."

Berapa biayanya? Memesan satu kontainer kosong harus membayar 60 euro atau Rp 1 juta. Lalu truk akan mengantar ke rumah setelah dipesan dan dikonfirmasi ke HP pemesan. 

Setelah itu dalam penjemputan, akan dihitung berapa yang harus ditanggung untuk pembuang sampah. Satu ton paving misalnya, seharga 19 euro atau Rp 300 K. Biasanya satu kontainer bisa memuat 10 ton atau Rp 3 juta.

Tahukah kalian untuk mengambil paving ini banyak kontraktor yang mempersilakan rumah tangga untuk mengerjakannya sendiri. Itu artinya mencongkel satu demi satu paving dengan tangan memegang obeng atau alat khusus. Memang mudah karena paving tidak disemen, hanya rekat oleh pasir, tapi butuh ketekunan dan kesabaran. 

Sebabnya, jika dikerjakan oleh kontraktor dengan para tukangnya, mereka ini akan menggunakan traktor pengeruk atau "Bagger", yang mana, ada tanah di sana. 

Selain itu lebih mudah juga cepat. Tapi ingat, pembuangan tanah campur beton akan dikenai bea 69 euro per ton atau Rp 1,17 juta. Itu belum termasuk tarif pemakaian traktor. Pilih mana? Murah tapi kerja keras dan uang menetap di dompet atau mau enak tapi kantongnya kosong? Dipilih-dipilih ....

***

Eh, sebentar, 300 K hingga 1,1 juta per ton atau 3 hingga 11 juta satu kontainer?

Ya ampuuuun, mahalnya pembuangan sampah paving di Jerman! Saya heran, bukankah persampahan di Jerman sistemnya sudah baik. 

Terlepas dari skandal ekspor sampah plastik dari Jerman ke Asia termasuk Indonesia yang pernah terjadi, apapun yang ada di TPA didaur ulang oleh perusahaan tertentu.

Termasuk sampah beton atau paving ini, mereka akan mengolah menjadi paving baru. Berarti, mereka untung dong. Sudah dapat uang dari pembuang sampah, masih tambah pendapatan dari hasil sampah tadi setekah melalui proses.

Ya, sudah, memang begitu aturannya di Jerman, negara yang dari soal remeh-temeh sampai pelik diatur detil, persis, panjang dan tebal. Namanya pendatang, harus menjunjung langit di bumi yang dipijak.

Dari coretan saya ini, semoga menjadi sebuah gambaran jelas bagaimana Jerman menghargai dan mengatur pekerjaan berat dan pekerjanya, yang di tanah air, dipandang rendah atau dihargai rendah. 

Siapa bilang tukang di Jerman tidak perlu "Ausbildung" atau pendidikan setara SMK? Mereka itu sekolah dan berilmu bahkan ada yang sampai insinyur! 

Sekaligus, bagaimana sebagian dari masyarakat Jerman mengatasi keberadaan mereka dengan menjadi mandiri dan mengerjakannya sendiri selagi bisa. 

Beda negara, beda budaya, beda cara kerjanya. "Zack-zack-zack", mereka ini sangat cepat, teratur, disiplin dan persis.

Terakhir, semoga bisa sebagai wawasan bagaimana mengatur persampahan di tanah air, yang mungkin saat ini belum seperti di Jerman. 

Saya yakin pelan tapi pasti, suatu hari Indonesia akan menuju kemajuan yang mirip, karena semakin banyak generasi muda yang berilmu tinggi dan belajar di negeri orang serta kembali ke tanah air untuk membagikan dan menerapkannya. 

Indonesia bisa! (G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun