"Aaaa" hanya jerit saya yang terdengar berulang-ulang di udara. Meluapkan kaget dan jerit yang menggoda, hingga menarik tawa yang mendengarnya.
Salju memang harus takluk pada iklim udara yang tak lagi rendah hari itu. Ia tidak lagi sekaku batu, tidak pula sekeras kepala. Namun salju telah menjelma, selembut es gosrok yang siap dituangi sirup Frambos dan menggugah selera dahaga.
"Srrrrrt, sendok, mana sendok?"
Yah, lupakan saja.
Akhirnya sampai, kami bertiga telah sampai di tempat parkir, menemui mobil putih yang menggoda.
Ya Tuhan, saya baru ingat, bukankah kami berempat? Mana suami??? Kepala menengok belakang tapi tetap tak ada bayangan sosok yang ingin kami temukan.
Angkat kaki, kembali ke arah semula, di mana suami berada di bawah sana. Alamak, ia terperosok ke dalam salju! Separoh tubuhnya hilang, pinggang dan kaki-kakinya terbenam. Untung saja ia tidak pingsan. Ia hanya butuh menarik nafas dalam salju. Mengingatkan saya pada Suzanna yang "Terbenam dalam lumpur." Kesannya, suami tersedot si salju. Kekasih hati saya itu menyusun kekuatan untuk melepaskan diri dari jebakannya. Tak berapa lama, ia berhasil. "Yes, you can."
Langkah demi langkah membawanya ke atas, di mana kami berada.
"Kapok, aku sudah tidak muda lagi." Keluh pria saya.
"Ah, tentu tidak, perjalanan ke air terjun ini menyenangkan dan lucu." Saya rasa jalan-jalan ke hutan itu sesuatu, harus diulang lagi, meski corona tak juga mau pergi. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H