Oh, lihat, lihat jembatan atas sana, terlihat satu rombongan keluarga dengan anak-anak umuran SD. Di punggung tampak ransel yang bisa saja berisi bekal selama perjalanan. Tidak ada masker yang mereka pakai. Kami di jembatan bawahpun juga tidak. Udara segar melegakan raga dan jiwa. Janji. Sehat, kami ingin selalu sehat, melalui jalan ini. Kami pun terus berjalan....
"Wandern" atau jalan kaki di tempat alami seperti hutan, danau, sungai dan sejenisnya sudah mendarah daging dalam tradisi masyarakat Jerman. Tak heran karena dengan berjalan kaki, manusia menjadi sehat dan bugar. Peredaran darah semakin lancar, mata pun kian manja menatap warna alam. Tanpa pendar cahaya radiasi yang merusakkan mata dan bunyi polusi yang memekakkan telinga.
Teman-teman, selain sebagai obyek wisata gratisan berupa air terjun, Fahler di Todtnau dekat Freiburg wilayah negara bagian Baden-Wuerttemberg ini ternyata menawarkan alternatif sebagai tempat hiking. Yang kakinya kuat dan suka jalan, tempat ini cocok sekali untuk dikunjungi.
Ke mana? Ke mana kaki boleh melangkah? Beberapa rute yang bisa dipilih adalah:
- Dari Kaserne bagian atas di Fahl -- tempat parkir di Haarnadelkurve
- Dari Todtnau (gereja) melalui Walter Wagner Weg dan Feldbergpfad
- Dari Todtnauberg melalui Beerenbuehlweg dan Kapfenbergweg
- Dari Feldberf melalui Hebelweg.
Untuk menemukan nama-nama atau tempat-tempat di atas sangat mudah, karena ada tanda palang dari kayu yang menunjukkan ke arah mana kita harus melangkah atau kita ada di mana. Tak perlu sesat meski tanpa kata tanya.
Ini yang perlu ditiru dari pariwisata kita; bahwa semua daerah ada petunjuknya. Di hutan yang sunyi, senyap, sendiripun juga diatur begitu. Selamat datang di Jerman.
Jika ada awal pasti ada akhir, perjalanan kami mengelilingi hutan dan menemukan air terjun kecil cabe rawit ini, akan segera mencapai sebuah titik dalam hitungan 30 menit.
Ah, tidaaak. Jalan raya di sana terlihat jauh untuk dicapai. Sanggupkah kami dari dataran rendah ke dataran tinggi di sana? Bisa, bisa kalau ada kemauan dan kekuatan diri. Kami memang harus ke sana untuk menemukan mobil, armada yang akan membawa kami kembali ke desa.
Jalan setapak yang biasa ditempuh para wamil zaman dulu kala kami lewati meter demi meter. Aliran air yang ada di mana-mana begitu kejam, membuat sepatu dan kaos kaki kami basah seketika. Brrrr ... Dingin, dingin sekali.
Dan hamparan salju yang berserakan di sana-sini semakin nakal membenamkan kami ke dalamnya. Rupanya ketebalannya adalah fatamorgana. Begitu kaki kita menapak, ambleslah dunia.