Alasan mengapa orang Jerman suka drakor
Kembali lagi ke Jerman.
Heran, saya masih heran dan melanjutkan membaca blognya Jenny.
Lantas mengapa penonton dari negara barat seperti Jerman menyukai drakor, dong? Dari baca-komentar di blognya Jenny, saya merangkum alasannya adalah:
- Ceritanya dijamin 100% bikin nangis.
- Kisahnya romantis sekali. Ini penting karena hidup tanpa cinta itu hambar rasanya. Harus ada hati yang berbunga-bunga dan perut seperti dikelilingi kupu-kupu yang riang gembira.
- Klasik tapi nggak mbosenin, seperti cerita percintaan gadis miskin dengan jejaka kaya. Ini, cerita klasik yang membuatnya terhanyut. Seperti kisah dongeng yang mendarah daging di budaya Jerman. Seperti karya-karya Gebruder Grimm, sastrawan Jerman.
- Cerita yang jarang ditawarkan serial barat. Karena cerita ala Korsel ini biasanya tanpa adegan ranjang, kekerasan dan tentu, innocent. Bikin gemes, kali ya.
- Ada selipan leluconnya, jadi penonton bisa ngakak. Ini cocok di masa pandemi di mana semua orang stress, capek, gerah, gemes dan entah perasaan nggak enak lainnya.
- Suka dengan artis pemainnya. Bayangkan saja kalau punya posternya dan nempel di dinding kamar, merchandise yang diburu untuk dikoleksi dan entah apalagi. Aww!
- Original Sound Track yang bikin pemirsa ikut berdendang dan hatipun senang. Saya kira, film yang bagus biasanya punya OST yang keren pula. Itu mirip trade mark.
- Episodenya biasanya dari 16-20, sehingga banyak warna cerita di dalamnya alias nggak membosankan. Dari hari ke hari inginnya melanjutkan saja, ingin tahu apa yang akan terjadi.
- Karena orang barat, pastinya pemirsa sangat tertarik dengan budaya timur, seperti Korea Selatan.
- Bisa langganan murah dari Netflix, Viki atau Amazon. Bahkan untuk Netwflix sendiri banyak orang Jerman yang sudah mengaku mengambil keuntungan dari langganan awal sebulan gratis dan mudah untuk tidak berlangganan lagi, nggak perlu ribet atau tanpa masalah.
- Meskipun panjang, kalau diulang-ulang sampai 4-5 kali nonton, pemirsa nggak bosen
- Wawasan dari dunia lain ini makin memperkaya budaya orang Jerman, jadi nggak melulu dari China saja budaya yang masuk ke Jerman, ya.
- Kabarnya, menurut pakar Bahasa Korea, Bahasa Korea dianggap sebagai Bahasa sederhana karena memiliki fonetik sederhana, tata Bahasa tanpa jenis kelamin laki atau perempuan, suku kata yang relatif sedikit. Sub title berbahasa Jerman sangat membantu pemirsa Jerman untuk belajar dan memahami isi film.
- Ternyata Korsel lebih rajin bikin film ketimbang Jerman. Pada tahun 2011 Korsel berhasil mengungguli Jerman dengan 216 film, sedangkan Jerman hanya 212. Jadinya, ini sebagai insulin bagi bangsa Jerman sendiri untuk mengejar Korea Selatan. Kejarrrr!
***
Itu tadi realita di Jerman sehubungan dengan drakor.
Dari kupasan tentang drakor ini, membuat saya semakin masygul, kapan drama Indonesia bisa sampai seperti drakor yang melejit di mana-mana di seluruh dunia? Betapa hebatnya Korea Selatan ini. Bisakah Indonesia belajar dari Korsel?
Bukankah drama seri Indonesia banyak juga yang bagus di tanah air? Banyak pula artis Indonesia yang keren aktingnya, kaya pengalamannya, banyak jam terbangnya, bening wajahnya dan macho tubuhnya. Tempat syuting di tanah air yang bagus pun tersebar dari Sabang sampai Merauke. Komplit. Kurang apa lagi?
Saya kira, jawabannya adalah pada kualitas hasil karya anak bangsa sendiri. Jika mampu menunjukkan kelasnya, akan laku di pasaran, akan diminati pemirsa dari beragam negara. Termasuk bagaimana mengetahui keinginan pasar yang sebenarnya tanpa meninggalkan ciri khas keindonesiaan.
Lebih dari itu, pasti dukungan dari bangsa sendiri untuk mencintai drama seri buatan negeri sendiri, sangat penting dan perlu digalakkan. Kalau bukan bangsa sendiri yang memburunya, tak bisa begitu saja meminta negara lain untuk mencintainya. Sudah siapkah kita? Mari mulai tahun 2021?(G76)
NB: Ojemine adalah kata seru untuk mengungkapkan keheranan atau saat terkejut dalam bahasa Jerman.