Seingat saya, kami pernah tertawa lepas sampai mau pipis, karena ada turis Belanda yang datang ke Maluku, membuat video tentang tradisi Sinterklaas. Saya lupa namanya. Ia mengumpulkan dana dari keluarganya di Eropa dan keliling kampung Indonesia untuk membagikan hadiah.
Di sanalah, ia meminta dua orang teman Indonesia untuk menjadi Sinterklas dan Pit hitam. Tetapi karena orang Indonesia kurang beken dengan tradisi itu, anak-anak pada nangis dan lari pontang-panting begitu dipegang Pit atau Sinterklas, padahal mau dikasih hadiah. Bisa saja karena penampakan Pit hitam yang benar-benar hitam sangat menyeramkan. Meskipun menangis, mereka akhirnya bahagia karena di tangan mereka ada hadiah natal.
***
Itulah hal-hal yang saya kisahkan pada wartawan Graenzbote, Frau Alina Ehrlich itu. Terakhir, saya ulas bahwa bagi saya, natal adalah hal baru yang saya kenal selama berada di Jerman yang memiliki mayoritas pemeluk Katolik Roma.
Betapa tidak, lahir dan besar di Semarang, di mana mayoritas warganya beragama Islam, budaya lebaran lebih lekat ketimbang natalan. Pernah satu-dua teman sekolah menceritakan pengalaman mereka, bahkan memperlihatkan bagaimana mereka merayakannya. Namun, sekali lagi tidak massal, tidak semeriah di Jerman. Seperti melihat film-film Hollywood begitu, deh.
Ini tentu saja berbeda jika saya tinggal di Sumatra, Maluku atau Papua atau daerah lain yang memiliki populasi Nasrani lebih banyak. Perayaan natal pasti lebih megah lagi.
Sebaliknya, sejak pindah ke Jerman, tidak ada perayaan lebaran yang saya lihat. Sekalipun ada, ini sangat sederhana, tidak seheboh di tanah air. Dan tentu dengan kelompok kecil atau minoritas.
Kemudian menurut saya, natal di Jerman adalah tradisi baik dan patut dilestarikan sebab banyak keluarga yang akhirnya bersatu karena pada natal biasanya banyak orang ingin melupakan pertikaian keluarga, banyak berbagi hadiah dan ingin melewatkan malam natal pada tanggal 24 bersama keluarga inti dan atau keluarga dekat. Ini sangat jarang terjadi.
Istilahnya hanya setahun sekali. Ini jelas berbeda dengan Indonesia yang bertemunya bisa setiap hari atau setiap minggu sampai bulan misalnya arisan atau silaturahim. Sayang tidak di Jerman karena individu lebih tinggi dari kelompok/kekeluargaan.
Baiklah, hal yang menyenangkan adalah meskipun saya bukan Nasrani tetap saja selalu mendapatkan hadiah natal dari banyak orang mulai dari teman, tetangga, saudara, kerabat dan entah siapa lagi. Asyik, ya? Inilah indahnya berbagi.
Tak heran, jika di Jerman ada orang yang bahagia sekali dikatakan "Gluecklich wie an Weihnachten", atau bahagia seperti saat natal tiba, padahal natal masih jauh. (G76)