Itulah sebab setiap pergantian tahun, saya biasa membuat nasi tumpeng kuning. Selain untuk doa tahun depan, ini selamatan diri juga. Bukankah nasi tumpeng berwujud kerucut ke arah atas itu menurut orang Jawa sebagai doa kepada Yang Esa, di atas sana?
Harapan manusia tertambat bersamaan dengan format nasi. Mulai dari kering tempe, telur, perkedel, sayuran sampai ayam menjadi lauk-pauknya. Sedap! Anak-anak saya yang separoh Jerman saja suka melahapnya, apalagi saya. Itulah sebab, wartawan ingin menampilkan gambar tumpeng di koran.
Nah, apa lagi yang menarik dari perayaan tahun baru di tanah air selain tumpengan? Di Semarang khususnya adalah pemakaian topi dari kertas berbentuk kerucut dan bunyi terompet dari kertas.
Tradisi ini sudah turun-temurun ada. Terompet bisa didapat di sepanjang jalan. Harga terompet yang dihiasi dengan kertas "melang-meling" (berkilat emas atau perak) juga tidak mahal harganya.
Sayang sekali, ini kurang ramah lingkungan karena sekali buang. Namanya saja belum begitu banyak daur ulang di setiap sudut negara kita. Makanya masih menjadi sampah, yang sebenarnya justru bisa dimanfaatkan lagi kalau ada system dan tempatnnya. Biasanya kalau terompet kertas sudah ditiup seharian, ditambah basah dari hujan, lecek. Dibuang, deh.
"Teeeetttt", begitu bunyinya nyaring mengundang semangat merayakan tahun baru. Beberapa keluarga tampak asyik bermain pedal dengan becak hias. Sejam bisa Rp 25.000-50.000 tergantung besar kecilnya becak.
Ada yang bentuknya Princess, Doraemon, Unicorn dan lainnya. Seru sekali mengelilingi Simpang Lima atau dalam bahasa Jerman "Platz der 5 Strassen", dengan becak hias yang kerlap-kerlip penuh warna. Wisata olahraga, ya? Foto becak hias menurut wartawan sangat cantik untuk ditampilkan karena unik. Di Jerman mana ada?
Oh, ya, terompet kertas itu di Jerman bentuknya seperti "Vuvuzela", terompet dari bahan plastik/melamin dengan tiga warna (hitam, merah dan emas, sebagai warna bendera nasional), yang biasa dibunyikan warga Jerman saat timnas Jerman bertanding. Vuvuzela sendiri adalah nama terompet dari Afrika Selatan. Jadi itu lebih awet, bisa dipakai terus setiap tahun, seperti milik kami di almari.
Lalu saya lanjutkan cerita pada wartawan Jerman yang berambut keriting itu bahwa perayaan tahun baru di Indonesia tak ubahnya natalan di Jerman, di mana banyak dekorasi lampu di sudut kota. Indah nian.
Bedanya, di Indonesia khususnya di Semarang, banyak penjual makanan jalanan. Namanya juga negara hangat, mau malam juga masih saja tetap hangat temperatur udara.
Tak hanya kebahagiaan lampu, banyak keluarga berkumpul untuk bergadang, esoknya piknik atau tamasya bareng. Termasuk anak-anak muda yang naik gunung dan berkemah sampai melewati tahun baru di puncak dan menyaksikan matahari terbit. Ah, lupa menyebutkan bahwa jagung bakar banyak dicari orang untuk melewatkan malam tahun baru. JBL -Jagung Bakar Lesehan.