Tahukah Kompasianer, bahwa ramalan cuaca merupakan topik utama yang disukai mayoritas masyarakat Jerman? Jangan suka gosipin tetangga atau ngomongin kerabat di kantor tapi gosipin saja temperatur udara. Ini lebih obyektif dan dijamin aman. Ibaratnya, cuaca itu penting sekali untuk diketahui tiap warga karena akan menentukan bagaimana hari mereka.
Makanya, ada peribahasa Jerman yang mengatakan "Es gibt kein schlechtes Wetter, es gibt nur falsche Kleidung", atau tidak ada cuaca yang buruk di muka bumi ini, yang salah itu orangnya karena saltum alias salah kostum.
Barangkali karena tidak awas dengan berita terkini cuaca, sehingga salah pakai baju. Harusnya pakai baju pendek, eh ternyata kudu keringatan seharian karena cuaca hari ini berbeda sekali dengan cuaca besok, meskipun satu musim. Mana lupa pakai deo lagi, pingsan deh, kawan-kawan.
Namun jangan khawatir, ternyata ada angin segar di tengah pandemi. Itu ketika sejak 3 hari sebelum malam natal, diberitakan beragam media massa dan berita ramalan cuaca di channel Jerman bahwa negeri yang kami tumpangi ini akan mengalami Natal putih atau "Weisse Weihnachten" atau White Christmas.
Weiss = putih, Weihnachten = natal. Artinya, hari natal di mana orang akan melihat hamparan salju atau turunnya salju pada malam natal (24 Desember), natal pertama (25 Desember) dan natal kedua (26 Desember). Sekalipun hanya satu di antara tiga tanggal tersebut salju turun dengan ketebalan minimal 1 cm, orang sudah menjulukinya sebagai natal putih.
Terwujud! Karena pada malam natal menuju pukul 00, salju mulai turun rintik-rintik kecil. Pada hari natal pertama, hari ini, begitu bangun tidur, semua berubah putih warnanya. Indah sekali. Ini seperti mimpi karena sudah lama, Jerman tidak mengalami natal putih.
Semoga besok, natal kedua tanggal 26 Desember, cuaca tidak merendah sehingga salju tidak mencair atau akan turun salju lagi? Entahlah, harus cek ke peramal cuaca lagi.
Kompasianer, setelah lebih dari 10 tahun berada di Jerman dan nggak pernah sekalipun melihat natal putih, hari ini adalah hari yang luar biasa. Keajaiban Pencipta Bumi dan Langit memberikan kebahagiaan kepada sebagian besar masyarakat jerman yang sudah tertekan lahir batin gara-gara pandemi, ternyata sangat bahagia dan bersyukur diguyur salju setelah sekian lama hanya merindu. Bukankah ini hadiah terindah?
Perlu diketahui bahwa dinas cuaca Jerman memberitakan, natal putih selama tiga hari berturut-turut hanya terjadi pada tahun 1906, 1917, 1962, 1969, 1981 dan 2010. Artinya baru 10 tahun kemudian natal putih terjadi. Generasi yang baru lahir setelah tahun 2010 belum pernah melihat white christmas atau bahkan belum bisa membayangkan bagaimana gambaran natal putih itu.
Kembali ke masa lalu Jerman, diberitakan oleh media "Welt" bahwa sejak tahun 1963 Berlin yang ada di daerah timur Jerman, sudah mengalami 10 kali salju, 3 kali di antaranya setinggi 10 cm. Sedangkan Hamburg yang ada di daerah hangat karena adanya sungai Elbe dan laut, justru mengalami 10 kali natal putih sejak 1961 dan 20 cm salju pada tahun 2010 yang lalu.
Memang dikabarkan para ahli bahwa pada tahun 2000-an, natal putih di dataran rendah Eropa Tengah hanya 20-30% atau 2-3 kali per dekade. Sedangkan Muenchen di daerah Bayern sangat beruntung mengalami 19 kali natal putih sejak 1961. Bahkan pada tahun 1962, salju setinggi 28 cm terlihat di depan mata.
Kota kesebelasan Bayern Muenchen ini hanya 2 jam dari sebuah gunung yang terletak di 3 perbatasan negara (Jerman, Swiss dan Austria). Namanya Zugspitze. Disanalah natal putih selalu hadir. Bahkan di musim panaspun (Juni, Juli, Agustus), kita masih bisa melihat dan memegang salju dan gletzer di sana.
Mengapa natal putih tidak terjadi setiap tahun meskipun Desember adalah musim dingin di mana temperatur rendah dan salju bisa saja turun ketika memenuhi minimal 4 derajat C? Ini lebih dingin dari kulkas kita!
Rupanya, ada syarat jika menginginkan kehadiran natal putih yang ditulis wikipedia, yakni "Sebelum natal, suhu harus berada di sekitar titik beku dan angin dari utara ke utara-barat, yang berarti massa udara yang lembab dan dingin merembes dari daerah kutub, jika bertemu udara Altlantik yang lembab dan lembut dari barat akan terjadi salju. Jika mengikuti posisi timur atau timur laut yang dingin, salju akan bertahan."
Teman-teman, seperti kita ketahui, sudah sejak Februari, dunia tergoncang oleh adanya penyebaran virus Covid19. Gelombang kedua sampai hari ini masih saja memporak-porandakan kehidupan manusia. Situasi sudah tidak normal.
Walaupun begitu, rupanya ada hikmah yang bisa diambil bahwa bumi sedikit bisa bernafas. Tidak banyak orang bepergian dengan pesawat, kapal pesiar, kendaraan bermotor dan pabrik banyak yang berhenti berproduksi karena tidak ada pesanan atau bahkan bangkrut. Tentu saja ini menyumbangkan hal baik bagi lingkungan, tidak banyak polusi yang ditimbulkan manusia.
Global warming sebelum pandemi membuat dunia panas, temperatur udara semakin naik, ini tentu tidak mendukung datangnya natal putih. Sekarang ini sudah berbulan-bulan bumi tidak merasakan panas yang diciptakan manusia.
Ditambahkan oleh para ahli bahwa panas yang tidak konsisten di muka bumi ini menyebabkan kemungkinan adanya natal putih sangat kecil. Sedangkan bulan-bulan ini, bisa saja panasnya konsisten bahkan cenderung rendah.
***
"Oh Tannen Baum ... oh Tannen Baum, wie gruen sind deine Blaetter! Du gruenst nicht nur zur Sommerszeit, nein, auch im Winter, wenn es schneit. O Tannenbaum, o Tannenbaum, wie grnd sind deine Blaetter!"
"Oh, pohon natal ... oh pohon natal, betapa hijau daunmu. Warnamu hijau tak hanya pada musim panas, tetapi juga di musim dingin ketika salju turun. Oh, pohon natal. Oh pohon natal, betapa hijau daunmu."
Lagu natal itu selama seminggu yang lalu mengalun di kelas, di taman kanak-kanak tempat saya bekerja.
Dan sejak kemarin hingga hari ini semakin pas untuk didendangkan rakyat Jerman, sembari berujar, "Indah, indah sekali dan ajaib hari ini."
Ya, kalimat itu pasti muncul dari jutaan warga Jerman yang memandang bahwa melihat natal putih adalah hadiah natal terbaik dan termahal sedunia. Bukankah natal putih dikatakan hanya datang dalam hitungan dasawarsa jika beruntung atau dekade jika sedang tidak bernasib baik?
Nggak heran jika beberapa warga bersama keluarganya menikmati sekali natal putih dengan cara berjalan-jalan di sekitar kampung menuju hutan sejak tadi pagi. Beberapa terlihat menuju gereja hingga sore ini. Di sana, mereka mendoakan arwah keluarga yang bersemayam di sana, di makam yang ada di halaman tempat ibadah pemeluk agama Katolik Roma.
Udara sangatlah dingin menggigit hingga ke tulang. Namun kami tetap tak gentar menghirup udara segar setelah seharian di rumah saja.
Saya pandangi desa kami, gereja buatan tahun 1700-an dan bukit di ujung rumah yang memutih sejak kemarin malam. It's really a white christmas. Sungguh pemandangan istimewa bagi saya yang kelahiran Indonesia dan tidak pernah melihat ini di negeri kita. Tiap negara memang punya kelebihan dan kekurangannya. Semua harus dinikmati.
Natal putih. Ya, natal bagi penduduk Jerman merupakan saat yang paling istimewa untuk bertemu dengan keluarga. Di negeri yang hubungan persaudaraannya tidak serekat di tanah air, pertemuan di hari natal dengan keluarga adalah sesuatu. Sebuah perayaan berdaya mega.
Sedangkan di nusantara, orang sering bertemu pada acara silaturahim, arisan, perkawinan, sunatan, kematian dan acara tradisional keluarga lainnya selain pada Idul Fitri dan natalan.
Hati ini bahagia rasanya, sangat senang melihat para tetangga berkumpul dengan keluarga inti dan keluarga terdekat. Warna putih dari salju di luaran, semakin menambah keharmonisan natal tahun ini.
Selamat natal bagi Kompasianer yang merayakan di tanah air, meski tanpa hamparan salju putih yang dingin tapi menyejukkan kalbu seperti di sini. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H