"Hatschiiiii ... oh Entschuldigung" seorang gadis bertubuh tambun bersin dan meminta maaf karenanya. Itu salah satu sopan santun di Jerman. Kalau tidak memakai masker, pasti ia sudah menutup mulutnya dengan siku, bukan telapak tangan, karena itu yang diajarkan di Jerman. Sebab kalau ditutup pakai tangan, tangannya pegang ini-itu, virusnya nyebar. Oh iya. Ia ini waktu itu duduk di seberang meja guru.
Sopan santun berikutnya bisa ditebak, kami segera berteriak "Gesundheit" atau "Bless you" supaya si teman tetap sehat dan Allah memberi kesehatan padanya. Bagaimana dengan adat di tanah air? Jangan nyukurin, ya... doakanlah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
Setelah itu, saya berbisik pada teman sebelah kiri saya "Semoga dia enggak Corona, supaya kita tidak repot. Teman dari Iran itu tersenyum simpul. Waktu itu saya yakin dan membayangkan tidak enaknya jika kami semua harus dirumahkan. Karena kami adalah peserta didik program Ausbildung atau sekolah sambil kerja, jika itu terjadi pasti semua berantakan. Tidak hanya hal yang berhubungan dengan sekolah seperti Hausaufgaben (PR) yang akan semakin banyak dari biasanya, Klassenarbeit (tes) yang tertunda, dan sekolah harus dilanjutkan dengan Fernunterricht atau online schooling menggunakan Alfaview yang berarti membutuhkan perangkat khusus, bagaimana jika ada yang tidak punya/tidak lengkap? Bahkan ada yang tidak punya Netflix, salah satu yang kami butuhkan. Kasihan, kan?
Di taman kanak-kanak atau di lembaga yang mengurusi remaja pun akan kesulitan seandainya kami sebagai tenaganya dirumahkan. Siapa yang menggantikan tugas kami?
Selama 8 jam di sekolah dengan memakai masker, dan ada yang bersin tetap saja membuat kami khawatir. Apakah corona masih getol mengintai dan memaparkannya pada kami? Aturan membuka jendela dan pintu selama beberapa menit setiap 20 menit sekali juga sudah kami lakukan. Tapi tetap saja, dag dig dug der rasanya.
Itu hal yang sama terjadi satu minggu sebelumnya, ketika teman duduk jarak dua orang dari kanan mulai membuka masker dan rajin mengelap ingusnya. Matanya yang berair membuat saya bergidik. Ia flu. "Semoga ia nggak kena virus Covid19," Lirih mulut saya bergumam. Dan beberapa hari berikutnya, ia nggak masuk, sakit. Seminggu kemudian hasil tes menunjukkan ia positif. Alamak.
Jika ada anggota keluarga yang terkena corona, tidak semua anggota keluarga dirumahkan
Di minggu yang sama, seorang teman perempuan berambut pirang asal Polandia ditelpon dari taman kanak-kanak untuk menjemput anaknya. Setelah itu ia tinggal di rumah, tidak kembali ke sekolah, begitu pula hari-hari berikutnya. Rupanya, ia menceritakan bahwa anak laki-lakinya terpapar corona dari pengasuhnya. Artinya, sebagai orang pertama yang memiliki kontak dengan pasien positif, ia tidak memiliki gejala tapi harus dites. Hasil tes tidak keluar hari berikutnya, harus nunggu.
Selama menunggu itu, ia masuk masa karantina 14 hari. Pada hari pertama ia sehat tapi memburuk pada hari kedua dan ketiga. Demam, pilek, indera pengecapnya terganggu, seluruh tulangnya lemas, rasanya tidak enak sekali badannya. Tambah parah karena ia harus tetap mengurusi dua anaknya (5 dan 3 tahun) sendiri, sedangkan ia single parent. Umurnya baru 25, umur yang masih butuh banyak dukungan dan bantuan dalam keluarga.
Jika teman saya itu langsung diminta departemen kesehatan untuk tinggal di rumah sampai hasil tes menentukan apakah positif atau negatif, berbeda dengan tetangga sebelah rumah.
Seorang anak tetangga, yang di kelasnya ada yang terpapar virus, segera dirumahkan. Di rumah, ia berdua dengan bapaknya. Si bapak boleh tetap bekerja. Dan meski tidak menunjukkan gejala, si bapak takut dan ngotot meminta tes. Selama karantina, anak-anak menyambanginya. Baru diberitahu kalau sedang dalam masa karantina ketika akan pulang ke rumah. Untung hasilnya negatif.