Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Para Orangtua, Sudahkah Anda Kursus P3K?

14 September 2020   03:27 Diperbarui: 14 September 2020   08:00 993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pertolongan pertama| Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Anak perempuan kami pulang dengan berderai air mata. Namanya seorang ibu, pasti khawatir jika ada sesuatu yang terjadi padanya hingga menyebabkannya menangis.

Ketika saya tanya, ia cerita bahwa ia dikasih permen oleh tetangga depan rumah dan tersedak. Saking paniknya, si anak mengadu kalau tadi tangan si ibu merogoh ke kerongkongannya sampai permen meloncat, bahkan si ibu teriak-teriak seperti kesetanan. 

Ketika memeluk si gadis, saya coba lihat pakai senter, kerongkongannya agak lecet dan merah. Keesokan harinya, saya bawa ke klinik setempat karena pada saat kejadian klinik sudah tutup.

Saya pikir-pikir, kerongkongan anak saya bukan terowongan yang bisa dilewati orang. Area sensitive yang harus dijaga. Menurut saya, yang harus si ibu lakukan adalah dengan menepuk punggung anak balita saya itu atau menekan bagian perut dengan cara merangkul perut dari belakang.

Mungkin saja karena si ibu yang sudah berumur 50 tahun itu belum pernah punya anak, jadi nggak tahu hal-hal kecil tapi bahaya yang biasa terjadi pada anak-anak.

Untung saja, sekarang ini sudah banyak kursus Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan yang digelar oleh Palang Merah Jerman (DRK -- Deutsches Rotes Kreuz) di tiap kota. 

Meski jadwalnya tidak tiap bulan, mereka menggelar kursus yang menambah wawasan serta pengetahuan orang tua dan umum tentang bahaya pada anak-anak dan bagaimana menanganinya.

Selain itu kursus P3K dan sertifikatnya biasa dibutuhkan di Jerman untuk mereka yang ingin menjadi baby sitter, Tagesmutter (ibu pengasuh anak orang lain), cari SIM motor dan atau mobil serta Ausbildung atau program kerja sambil sekolah.

Baiklah, sekarang akan saya bagi pengalaman saya ikut kursus P3K untuk kedua kalinya di Jerman.

Selfie saat praktek dalam kursus P3K bersama DRK (dok.Gana)
Selfie saat praktek dalam kursus P3K bersama DRK (dok.Gana)
Cari info kursus P3K

Untuk mendapatkan informasinya, kita harus rajin cari di internet. Setahu saya, P3K selalu diadakan oleh Palang Merah Jerman, sehingga saya segera menuju website mereka dan menemukan informasinya. Saya ingat, kursus P3K untuk memenuhi syarat mendapatkan SIM mobil tahun 2007 juga dengan DRK.

Tahun 2020 ini, ada dua jadwal; yang pertama adalah Maret dan kedua pada bulan Juli. Karena masa corona, yang jadwal pertama dibatalkan. Masih keburu ikut, karena saya program Ausbildung mulai September. Untung sajalah yang kedua masih bisa dijalankan. Meski dengan beberapa peraturan antara lain:

  • Jumlah peserta terbatas
  • Jarak 2 meter tiap peserta, kecuali pasangan suami istri
  • Pakai masker selama kursus berlangsung, di saat tertentu, harus dobel dengan face shield
  • Hanya satu orang yang boleh di berada di toilet.

Saat mendaftar kursus, tidak langsung membayar karena sesuai pengalaman, banyak dari mereka yang tidak datang. Pembayaran kursus dilakukan pada hari terakhir kursus. Misalnya selama tiga hari kursus dan dilakukan setiap hari Jumat mulai pukul 19.00-22.00. 

Di Jumat ketiga itu, baru membayar dan mendapatkan bukti pembayaran. Jika lupa bawa uang kontan, bisa dibayar keesokan harinya. Tapi jangan lupa, ya untuk tetap membayar.

Sertifikat akan dikirim ke alamat peserta. Untuk beberapa orang yang mengikuti program Ausbildung seperti saya, bisa dikirim ke alamat lembaga yang mendanai, karena ada uang reimburse untuk saya selaku peserta. Lumayan, beanya 40 euro.

Alasan mengikuti kursus P3K

Ketika memasuki ruangan, saya kaget kok banyak ibu-ibu dan bapak-bapak yang ikut? Ternyata mereka ini pasangan muda yang memiliki anak balita di rumah, beberapa di antaranya sedang menunggu kehadiran sang buah hati alias istrinya pada hamil.

Saat perkenalan masing-masing peserta, instruktur bertanya alasan mengikuti kursus P3K. Kebanyakan dari mereka mengatakan bahwa mereka ini orang tua yang ingin memperdalam ilmu dan wawasan tentang pertolongan pertama pada kecelakaan yang akan membantu mereka dalam merawat anak-anak di rumah.

Namanya anak-anak, ada-ada saja yang terjadi. Yang kepalanya benjol memar biru bahkan sampai berdarah, tangan atau kaki terkilir, yang jatuh dari sepeda, yang tersedak makanan dan entah kejadian apalagi yang bisa menimpa mereka.

Sebagai orang tua, mereka ini merasa punya kewajiban dan tanggung jawab untuk tahu tentang hal itu.

Seperti dikatakan instruktur, P3K ini tidak untuk menyembuhkan pasien saat terjadi kecelakaan tetapi lebih pada pertolongan pertama, lalu dirujuk kepada para ahlinya di klinik atau rumah sakit terdekat. Obat-obatan bahkan seperti betadine yang di Indonesia dipakai bebas, tidak disarankan.

Tiga wanita lainnya ternyata juga mirip dengan saya, mereka itu adalah peserta yang ingin mengetahui P3K karena akan mengasuh anak orang lain. Namanya titipan orang, harus dijaga sehingga mereka harus tahu banyak bahaya yang bisa mengancam anak-anak dan penanganannya.

Kursus terdiri dari teori dan praktik

Waktu itu masih bulan puasa. Karena panas dan puasa, hawanya ngantuk. Apalagi kursus baru selesai pukul 22. Sedangkan buka puasanya setengah jam sebelum acara berlangsung. Biasanya, saya akan mengunyah permen dan meneguk air dari botol untuk membatalkan puasa. Dan minum tidak dilarang selama kursus.

Ruangan berupa hall sangat panas, tanpa AC. Maklum, Jerman adalah negara yang ramah lingkungan. Mereka ini tidak menyukai adanya freon yang disinyalir mampu merusak alam. 

Rasanya seperti di dalam oven. Mana aturan memakai masker selama 3 jam itu tidak semudah bayangan. Untung saja ada istirahat 10 menit, bisa keluar gedung dan menghirup udara segar. 

Berat, ya, pakai masker di dalam ruangan? Kalau tiga jam saja sulit apalagi yang seharian, coba? Mari kita menghargai mereka yang bekerja seharian penuh dan harus pakai masker.

Kembali ke kursus yang terdiri dari teori dan praktik. Sang tutor yang bekerja di sebuah rumah sakit pemerintah di kota kami itu masih muda, kira-kira kisaran 25-30 tahun. 

Tampangnya ganteng, menarik, dengan rambut panjang seperti Renegade. Tapi entah mengapa saya tetap ngantuk. Supaya rasa kantuk hilang, saya pijat-pijat kaki, tangan, leher, badan pelan tapi pasti.

Teori selama 2 jam, praktik satu jam. Aduh, rasanya, bored banget. Makanya, untuk hari-hari berikutnya, saya usul dibalik saja. Sayang tetap saja sama. Nasib.

Saat praktik, kami harus berdekatan dengan peserta lain sebagai partner. Face shield pun harus dipakai selain masker. Rasanya, alamak, nggak nyaman.

Syukurlah, rasa itu berangsur-angsur hilang karena keasyikan mempraktikkan cara yang sudah diterangkan oleh tutor tadi:

  • Cara menangani orang yang terbentur kepalanya.
  • Cara menangani orang yang terluka lehernya.
  • Cara menangani orang yang terkilir tangannya.
  • Cara memberi pernapasan buatan dengan boneka.
  • Cara membantu orang yang tersedak dengan boneka.
  • Dan lain-lain. 

Prinsip P3K

Dari pengalaman ikut kursus itu, saya jadi tahu bahwa kalau ada orang yang mengalami kecelakaan entah masih anak-anak atau orang dewasa, harus ada empat rumus (4S) yang harus diperhatikan:

Sage das Du da bis und das etwas geschieht (katakan bahwa kamu ada dan ada sesuatu yang sedang terjadi)

Kepercayaan orang terhadap kita sebagai penolong itu harus dibangun. Orang yang mengalami kecelakaan biasanya akan kaget, bingung, shock. Jika tahu ia aman bersama kita, itu akan membantu proses penanganan pertama pada kecelakaan.

Schirme den Betroffenen vor Zuschauern ab" (lindungi pasien dari penonton)

Ya, kalau di Indonesia sudah biasa. Kalau ada kecelakaan yang mengerumuni kayak semut. Banyak banget. Semaksimal mungkin kita menghindari pasien untuk dikelilingi kerumunan orang yang ingin tahu apa yang terjadi. 

Perasaan nyaman pasien harus diciptakan supaya tidak tambah crazy karena sudah kecelakaan kok ditonton. Memangnya film.

Suche vorsichtigen Koerperkontakt" (coba hati-hati memegang pasien, beberapa pasien karena alasan budaya dan latar belakang/agama akan merasa tidak nyaman dipegang orang, apalagi yang tidak dikenal)

Beberapa orang akan merasa nyaman juga ketika dipeluk, dibelai ketika sesuatu yang buruk terjadi padanya. Sebagian lagi pasti tidak mau. Ini yang harus diketahui penolong.

Sprich und hoere zu" (berbicaralah dan dengarkan apa katanya). 

Untuk itu bicara dengan pasien itu perlu karena tahu apa yang ia rasakan, apa yang ia inginkan. Dengarkan keluhannya juga penting dilakukan. Jangan menggurui, nanti pasien bisa BT.

***

Demikian pengalaman saya mengikuti kursus P3K di Jerman. Banyak manfaat yang saya dapatkan di sana. Pengetahuan baru yang dibagi oleh para ahli yang sudah tugasnya sehari-hari menghadapi pasien yang mengalami kecelakaan di rumah sakit.

Beberapa waktu lalu, ada teman suami yang datang berkunjung tapi nggak pulang-pulang. Sebelum pulang, tiba-tiba pria tinggi besar itu tersandung dan jatuh menimpa almari kaca berisi keramik dan perkakas gelas. Satu kaca pecah dan menusuk tangannya sampai berdarah. Seperti film Hollywood!

Alhamdulillah, di rumah ada kotak P3K lengkap. Kaget pasti tapi tidak, kami tidak boleh panik. Kalau kami panik, bagaimana dengan pasien? 

Segera kami bersihkan dengan kertas khusus untuk pembersih luka yang steril, sembari menenangkan dan diajak berbicara dengan lembut. Lalu dibalut dengan perban putih. Karena rumahnya 5 gang ke bawah dari rumah kami, saya antar pakai mobil, suami yang bantu memapah ke dalam mobil dan duduk di belakang. 

Tamu menolak dan minta pulang jalan kaki. Waktu itu pukul 2 dini hari, saya sudah ngantuk sekali. Sayang, ketika saya sarankan untuk kami antar ke rumah sakit, ia tidak mau. Saya pikir, luka terbuka harus dijahit. Ngeri, serem lihatnya.

Sorenya, ia benar-benar pergi ke rumah sakit. Dokter mengatakan tidak bisa menjahit luka karena sudah lebih dari 10 jam. Yah, alamat luka dibiarkan kering sendiri dan menutup otomatis dalam jangka panjang, tanpa bantuan medis. Saya tepok jidat karena kemarin ia keras kepala.

Namun, saya ingat bahwa pengetahuan P3K yang sudah saya dapatkan dari dua kali kursus itu sedikit membantu saya dalam menghadapi hal-hal yang terjadi di sekitar saya. Entah itu pada anak-anak kami atau orang lain yang bertandang ke rumah. Bayangkan kalau saya seperti tetangga yang main rogoh dan main panik, payah bukan?

Alangkah brillian jika para orang tua di Indonesia ikut kursus P3K seperti di Jerman ini. Masalahnya, saya tidak tahu, apakah palang merah Indonesia atau pihak swasta ada yang sudah membuka kursus serupa?

Untuk SIM Indonesia, dulu saya tidak perlu mengikuti kursus P3K. Di Jerman, harus. Beda negara, beda aturan.

Entah kalau khusus pengetahuan P3K untuk para orang tua, adakah? Bisakah?

Semoga artikel ini menginspirasi kita semua bahwa pengetahuan P3K ini sepele tapi bisa jadi gawe kalau tidak tahu sama sekali, seperti saat anak saya tersedak di rumah tetangga tadi. (G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun