Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Setiap Lansia Jerman Keempat Belum Lunasi Utang Kredit Rumahnya

13 Agustus 2020   05:46 Diperbarui: 13 Agustus 2020   06:42 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

"Bu, utang kita masih kira-kira sekian euro di Bank. Aku sudah ada tabungan segitu tapi kalau dibayarkan ke bank, aku nggak punya modal usaha. Asap dapur nggak bisa ngepul. Uang itu harus diputar buat usaha, nggak bisa dicairkan." Suami saya ngobrol santai di atas sofa merah hati kesukaannya.

Ia juga memberitahukan bahwa kredit rumah kami diperkirakan akan lunas ketika anak bungsu kami berusia 18 tahun atau 7 tahun lagi, kalau rajin atau lebih tepatnya disiplin mencicil kredit bank.

Sebenarnya, ada keinginan untuk lebih cepat melunasinya selagi ada uang simpanan, supaya hati tidak berdebar-debar ada bunyi "dat-dit, dat-dit... kredit", ketika menempati rumah kami.

Sayang, setelah dikonfirmasi ke pihak bank tentang niatan kami, management tidak mengizinkan nasabahnya untuk mengubah perjanjian kredit dengan mempercepatnya. Artinya, kredit bank tetap harus berjalan dengan bunga dan jumlah angsuran yang sama sesuai perjanjian lama.

Begitulah rasanya utang, tidak nyaman. Serasa dikejar, ada deadline dan tentunya besar tanggung-jawab yang harus dipikul.

Lho, mengapa dulu berani utang bank?

Ah, namanya rumah tangga, pasti ingin memiliki rumah sendiri. Karena kalau sewa rumah atau sewa flat, berarti membayar tapi sampai kapanpun tempat tinggal tidak akan jadi milik sendiri. Berbeda sekali dengan membeli dan kredit bank. Membayar tiap bulan dan kalau disiplin sampai final, tempat tinggal jadi milik pribadi. Tempat tinggal di Jerman ada dua; Einfamilienhaus (rumah) dan Wohnung (flat).

Zaman itu kami berangkat dari nol berdua, tidak punya apa-apa dan baru saja pindah ke Jerman. Keadaan serba sulit. Suami masih memulai pekerjaan yang baru. Lalu, kami beranikan diri mengambil kredit 20 tahun pada sebuah bank di kota supaya tidak ikut PMI (Pondok Mertua Indah).

Bersyukur bahwa di Jerman itu selalu ada subsidi dan support bagi keluarga muda untuk mengambil kredit rumah dengan bunga rendah dan cara yang mudah. Semua berjalan mulus sampai tahun ini. Itulah yang mendorong kami untuk nekat utang dari awal.

Toh kami banyak temannya. Hampir semua orang yang kami kenal di Jerman, punya rumah karena utang bank dulu. Menurut pengamatan saya dari pengalaman mereka, bukan orang Indonesia saja yang pintar berhutang. Orang Jerman juga manusia, suka ambil kredit.

Soal mudahnya utang bank untuk kredit tempat tinggal, sungguh kesejahteraan hidup di Jerman yang mungkin bikin orang Indonesia ngiri. Saya masih ingat cerita salah satu artis Indonesia yang tinggal di Jakarta, kepada saya waktu ia bertandang ke Jerman. Utangnya milyaran dari beli rumah, untuk bayar bunganya saja sudah susah alias tinggi apalagi bayar cicilan kreditnya?

Kami berdoa bahwa sebelum suami pensiun, rumah sudah lunas. Jika tidak, akan berat sekali hidup di Jerman dengan hanya mengandalkan uang pensiun suami nanti dan gaji saya saja. Apalagi jika untuk bayar utang bank, pasti tidak akan cukup.

Bukankah kebutuhan lainnya sangat banyak. Apalagi di Jerman itu pajaknya tinggi, banyak asuransi dan entah apalagi yang harus ditanggung.

Ngomong-ngomong, sejak beberapa tahun lalu bunga bank Jerman turun (hanya 0,43%-0,75% per tahun dibandingkan Indonesia yang 5-12% per tahun, tergantung banknya), bagus untuk investasi rumah dan sejenisnya. Tapi kami belum berani utang (lagi) karena utangnya yang lama belum lunas, takut masuk lobang dan terkubur.

Dari 1000 responden, setiap lansia Jerman keempat rumahnya belum lunas

Seorang kerabat pernah telepon untuk meminjam uang. Lansia yang sudah pensiun itu merengek karena rumah yang ditempati bersama suaminya belum lunas.

Bank menagih tapi mereka tidak bisa membayar kredit bulanan. Mereka diancam bahwa rumah akan dijual oleh bank jika mereka selalu tersendat membayar kredit.

Karena kami tidak punya uang sebanyak yang diminta, kami menolak. Apalagi kami banyak pengalaman, jika memberikan pinjaman ke orang mudah nanti kembalinya susah. Endingnya pasti nanti kami yang harus menjadi hamba merengek meminta uang kami kembali. Tidak asyik, kan. Uang, uang kita malah kita yang pusing.

Untung saja, pasangan itu mendapat bantuan dari saudaranya. Kredit bank kembali lancar dan hari ini rumah sudah menjadi miliki pasangan lansia itu.  

Kisah pasangan lansia Jerman yang terjepit masalah ekonomi itu bukan isapan jempol. Dari sebuah hasil studi yang dilakukan oleh der Deutsche Leibrenten AG terhadap lebih dari 1000 responden lansia Jerman di seluruh negara bagian, ditemukan bahwa setiap keempat lansianya ternyata rumahnya belum lunas.

Dikatakan pula bahwa lebih dari separoh dari jumlah lansia Jerman dinyatakan telah berhasil memiliki tempat tinggal tanpa harus membayar atau tidak hutang. Namun, dua pertiga dari mereka yang menginvestasikan uang selama bekerja untuk mengkredit hunian ternyata tidak berhasil mewujudkan impian. Mereka itu juga tidak bisa memiliki tabungan untuk bersenang-senang. Uang hanya habis untuk kebutuhan sehari-hari dan membayar kredit.

Situasi keuangan lansia Jerman

Hasil studi yang saya bagi di atas itu belum seberapa. Yang lebih mengerikan lagi adalah penelitian bagaimana nasib lansia setelah pensiun (usia 63 tahun jika telah 45 tahun bekerja atau di usia 65 tahun).

Banyak kasus terjadi bahwa lansia Jerman hidup melarat dan sendiri. Sudah lelah, tubuhnya rapuh, uangnya kurang untuk hidup, apalagi masih ada hutang kredit rumah tadi.

Tidak heran jika banyak dari mereka menuntut kepada kanselir Jerman, Angela Merkel. Jika pengungsi dari negara lain saja dirawat, mengapa mereka lansia yang sudah mengabdikan diri, bekerja, membayar pajak selama mudanya selama bertahun-tahun, tidak mendapatkan penghidupan yang layak di Jerman?

Bukankah pengungsi mendapatkannya secara cuma-cuma? Jangan habis manis, sepah dibuang. Begitu perasaan dan unjuk rasa yang biasa disampaikan para lansia Jerman di dalam masyarakat dan berbagai media massa.

Aduh, urusan politik negara Bundes Republik Deutschland memang saya tidak paham.

Kembali ke soal keuangan lansia Jerman. Melas sekali melihat kondisi keuangan mereka yang 56% atau lebih dari separoh mengalami situasi keuangan yang lebih buruk dari sebelum masa pensiun.

Ditambah, 29% di antara mereka yakin bahwa 5-10 tahun mendatang kondisi buruk itu akan semakin buruk.

Itulah sebabnya, sebelum masuk pensiun banyak saran dari lembaga kredit supaya warga melunasi hutangnya tepat waktu. Jangan ditunda. Jika ditunda, ini tak ubahnya menyiapkan warisan hutang tak berkesudahan.

Padahal semakin tua orang di Jerman, semakin tinggi dana yang harus dibutuhkan. Misalnya untuk perawatan kesehatan (butuh alat pendengar, butuh alat untuk membantu berjalan, butuh cangkok lutut, cangkok jantung, implant gigi dan lain-lain) sampai kebutuhan mendesak akan penjaga/perawat dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk masuk ke panti jompo dengan perawatan kesehatan yang bagus juga tidak mudah dan tidak murah. Artinya untuk mendapatkan tempat atau kamar, harus antri. Tidak bisa pesan, langsung dapat. Itu seperti cerita murid-murid bahasa Inggris saya yang pasangannya butuh perawatan intensiv tapi tidak bisa melakukannya sendiri tapi tidak mendapat tempat. Mungkin karena semakin banyak lansia namun persediaan panti jompo dan tenaganya kurang mencukupi.

Masuk di panti jompo juga tidak murah, lho. Sebulan saja sudah 1700 euro ke atas. Lah pensiunannya berapa? Atau rumah yang dijual bisa menutup bea di pantikah? Dan entah apalagi jutaan pertanyaan yang muncul di kepala. Pusing Barbie.

Sedangkan untuk mengambil perawat dari negara tetangga juga tidak murah. Lima tahun yang lalu saja satu bulan sudah dipatok 1100-1600 euro netto (Rp 18-27 juta). Tahun 2020 sudah berapa, coba? Itu belum termasuk urusan visa kerjanya.

Win-win solution

Sebuah lembaga kredit bernama Deutsche Leibrenten AG menawarkan solusi 50-50 pada para lansia.

Yakni dengan menjual rumah milik lansia, tetapi lansia masih boleh menempati rumahnya sampai meninggal. Nantinya, akan dihitung berapa uang pensiun dan sekali bayar pada lansia atau kombinasi dari keduanya yang diatur pihak management. Semua tertulis hitam di atas putih, di depan notaris. Jadi jelas sekali hukumnya alias rapi sekali.

Walaupun demikian, kembali lagi pada pokok permasalahan. Jika hutang harus tetap dibayar. Oleh sebab itu kredit rumah harus disiplin dibayarkan tiap bulannya, jangan untuk kebutuhan lain. Jika tidak tepat waktu bayarnya dan belum lunas tapi sudah pensiun, hidup jadi berantakan.

Bukankah usia lansia atau pensiun itu adalah masa untuk relaks dan menikmati hidup? Jika di mana-mana dikejar-kejar debt collector atau teman, saudara, kenalan yang dimintai hutang, rasanya tentu tidak nyaman hidup di dunia ini.

***

Dari cerita di atas, barangkali menjadi wawasan baru bagi beberapa dari kalian yang mengira bahwa setiap orang Jerman kaya dan tidak punya hutang. Boleh dikata, sebelum orang di Jerman pensiun, rumah-rumah di sepanjang mata memandang masih milik bank karena belum dilunasi kreditnya. Kenyataan yang bikin geleng kepala, setiap pensiunan keempat rumahnya masih kreditan. 

Kisah para lansia yang melarat karena sudah pensiun tapi kredit rumahnya belum lunas juga  bisa kita ambil hikmahnya; berdisiplinlah dalam membayar cicilan alias tepat waktu. Mengatur keuangan dengan baik dan benar adalah kuncinya. Jangan lebih besar pasak daripada tiang. Dan ingat selalu bahwa membayar hutang itu wajib.

Sumber: studi, setiap pensiunan Jerman keempat ternyata rumahnya masih milik bank

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun