"Jangan cerita mama, ya?" Suara suami saya dengar dari kamar atas yang jendelanya terbuka. Acara membenahi kamar masih saya teruskan sambil nguping.
"Chayenne, tuh yang suka bocor." Anak bungsu tahu betul adat kakaknya yang seperti radio, tak bisa berhenti mengeluarkan suara. Kakak tidak bisa menutup mulut.
"Heyyyy..." Namanya disebut-sebut, Chayenne protes.
Tiga manusia yang saya cintai itu masuk rumah. Bunyi pintu dengan tujuh kunci pengaman begitu kencang terdengar.
"Mamaaaa..." Seru anak cantik saya. Kata itu sangat khas, dan sangat saya rindukan. Anak mesra mencari induknya.
"Ya, di atas." Teriak saya. Acara berbenah belum juga usai. Saya tak bisa turun, anak yang kudu naik.
Tak berapa lama, ia sudah ada di depan mata, memeluk dan mencium saya. Ai-ai indahnya...
"Kamu nggak boleh cerita apa?" Selidik saya.
Anak pun bercerita seperti buku bersuara. Ah, rupanya si ayah melarang dia cerita kalau baru saja kena speed trap atau Blitz dalam perjalanan. belanja bersama anak-anak untuk keperluan barbecue. Paling tidak sejumlah 10-15 euro atau Rp 160.000-Rp 240.000 harus dibayar ke pemda lewat tagihan yang akan dikirim ke alamat kami beberapa minggu mendatang.
Pekerjaan di kamar telah usai. Mendekat ke belahan jiwa saya sembari meringis.
"Kok, gitu wajahnya?" Suami saya mencoba menerawang apa yang ada di pikiran ini.
"Kamu mau cerita apa?" Tanya saya sambil bertanya.
"Nggak..." Suami mengelak lalu ngakak.
Dia cerita kalau menyetir dan saya co pilot, pasti ada yang mengingatkan "awas-awas ...", sedangkan bersama anak-anak beda. Mereka sibuk sendiri-sendiri. Jadinya kamera pengintai tidak terlihat dan mobil melaju terlalu kencang. "Blitz!"
Kemudian kami berdiskusi tentang radar yang ada di mana-mana. Misalnya di perbatasan masuk kota, di mana kecepatan kendaraan hanya maksimal 50 kmh. Selain itu di jalanan cepat atau Schnellstrasse yang lurus nan panjang, sebab banyak orang mengebut melebihi 100km/jam.
Yang paling menjengkelkan banyak orang adalah radar berjalan. Kamera biasanya dipasang dengan tripod dan mobil serta petugas bersembunyi di belakang pohon atau jauh dari kamera. Padahal kakau nonton film Hollywood, polisi atau petugas dan mobil akan ada di samping kamera, lalu buru-buru mengejar mobil yang melebihi batas kecepatan. "Uii... uiii... uiiii." Lampu dan sirene berbunyi.
Bentuk dari radar kontrol yang permanen bisa macam-macam. Ada yang mirip rumah-rumahan burung. Ada yang mirip tabung metal panjang dengan banyak panel.
Yang paling menarik, tak heran jika kota Tuttlingen yang memiliki populasi hampir 37.000, tiba-tiba terkesan kaya karena berhasil meraup denda dari pengendara jalanannya sebanyak 60.000 euro atau 900 jutaan rupiah dalam sebulan. Saya yakin pemanfaatan pendapatan itu digunakan untuk pembangunan jalan dan kegiatan lain yang berhubungan dengan lalu lintas. Bukan untuk dikorupsi.
Nah, dari cerita saya ini, sepertinya bagus juga jika speed trap atau kamera radar diberlakukan di jalanan Indonesia. Entah jalan tol, jalan raya atau gang kecil dipasang kamera, supaya jadi efek jera bagi siapa saja yang sembarangan melebihi batas kecepatan yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain. Kecelakaan tidak hanya soal "ngebut-benjut" namun "nyawa taruhannya." Menurut hemat saya, cara berkendara orang Indonesia masih serampangan dan aturannya belum detil untuk membuat pengguna jalan jadi disiplin.
Menurut studi di Amerika, speed trap atau speed limit enforcement atau radar guna mampu menurunkan resiko kecelakaan sebesar 11-44%. Studi LSE tahun 2017 itu juga menyebutkan bahwa Inggris berhasil menyelamatkan 190 nyawa per tahun setelah menambah 1000 kamera di wilayahnya.
Ditambah, keteledoran yang disengaja dilakukan pengendara, sebenarnya bisa dimanfaatkan alias ada hikmahnya untuk mengumpulkan dana Pemda setempat. Pemda bisa kaya raya.
Sekarang pertanyaannya, kota mana di Indonesia yang ingin cepat kaya dan berani ambil gebrakan speed trap? Barangkali kota tempat Kompasianer?