Apa pengalaman menarik Kompasianer selama bergabung di Kompasiana? Pasti ada suka-dukanya, deh. Yang nggak enaknya, dipinggirin dulu, ahhhh. Selama 9 tahun bergabung di blog keroyokan ini, ada banyak manfaat yang saya dapatkan. Salah satunya yaitu pernah beberapa kali sebagai peserta Kompasiana TV selama tahun 2015. Waduh, sudah zaman kapan, tuh?
Memang saya bukan satu-satunya yang mendapat kesempatan masuk Kompasiana TV, namun bagi saya pengalaman itu manis, sesuatu dan menjadi kenangan indah tak terlupakan. Telah diputuskan, ini harus saya bagi.
Ya, ya, ya, ini sudah tahun 2020, mengapa tiba-tiba saya mengulik soal itu? Sebabnya pada bulan puasa lalu, saya mendapat undangan dari Kompas TV untuk menjadi narasumber di Jerman pada sebuah acara live streaming seputar bulan ramadan "Kompas Sahur".
Nah, jadi ingat sejarah, dong dan barangkali cerita ini jadi inspirasi serta motivasi Kompasianer semua. Kalau sekarang ini belum dapat rejeki apa-apa dari Kompasiana, mungkin lusa atau di lain hari. Sabar, ya.
Berawal dari kontak seorang kenalan lama di Semarang yang pernah bekerja di Metro TV lalu pindah ke Kompas TV. Pria baik itu tiba-tiba menghubungi saya lewat instagram lalu berlanjut ke Whatsapp. Rupanya ia mengajak saya untuk mengisi acara ramadan di Kompas TV langsung dari Jerman, tempat saya merantau.
Yang perlu saya persiapkan adalah akun skype di laptop demi visual dan telepon genggam untuk audio. Proses awalnya, beberapa hari sebelumnya ada perbincangan dengan teman saya itu, termasuk mengecek skype saya tersambung atau tidak. Ia meminta saya mengambil video pengamatan keadaan kota kami yang masih lock down waktu itu (sekarang sudah pelonggaran).
Kemudian pada hari H, operator studio Kompas TV menelpon saya dari Jakarta dan menyambungkan dengan studio. Perbedaan waktu harus disesuaikan karena Jerman 5 jam lebih lambat dari waktu Indonesia Barat. Jika siarannya pas makan sahur berarti di tempat kami masih berbuka puasa.
Sedangkan skype dibuka untuk menyambungkan dengan layar TV. Salah satu crew nyeletuk "Lho, kayaknya pernah lihat mbak Gana, wajah yang nggak asing." Walah GR-nya. Lantas teman saya cerita kalau saya blogger Kompasiana dan penulis buku Elexmedia, yang satu sodaraan sama Kompas dan Kompasiana. Hmm, dunia memang kecil. Jarak Jerman-Indonesia seolah begitu dekat, meski sebenarnya butuh minimal 16 jam terbang bersama pesawat.
Singkat cerita, selama 5 menit wawancara jarak jauh dengan presenter mbak Adisti itu, saya berbagi informasi situasi di kota kami dan apa saja yang dilakukan masyarakat selama masa karantina. Mungkin sedikit berbeda dengan apa yang bisa dilihat di tanah air. Salah satunya adalah pemberian bantuan warga Jerman tidak disalurkan secara langsung di jalan-jalan atau rumah-rumah seperti di Indonesia, tetapi digantungkan di sebuah pagar di sudut kota atau di sebuah box di swalayan (disalurkan oleh organisasi di kemudian hari).
Acara berakhir seperti kilat menyambar. Olala, sudah selesai. Tadinya, saya minta dibagi kaos Kompas karena kaos Kompasiana sudah punya dari give away di Instagram Kompasiana. Jadi biar lengkap koleksinya, mau dong kaos Kompas TV dan kalau pakai rasanya gimana, gitu kali ya.