Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Matang Puluh Dina, Adat Peringatan 40 Hari Meninggalnya Orang Jawa

3 Juni 2020   05:14 Diperbarui: 10 Juni 2021   08:39 25583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang Jawa memiliki banyak tradisi untuk memperingati orang meninggal. Ada peringatan hari pertama (geblag), telung dina (3 hari), pitung dina (7 hari), patang puluh (40 hari), nyatus (100 hari), mendak pisan (1 tahun), mendak pindo (2 tahun), nyewu (1000 hari atau 3 tahun), kol (4 tahun) dan nyekar atau nyadran (ziarah kubur).

Masing-masing memiliki makna dan ubarampe atau pernak-pernik sendiri-sendiri yang berwarna. Dibandingkan dengan tradisi kematian orang Jerman di tempat kami tinggal yang ringkas, itu sangat bertolak belakang.

Dan hari Sabtu, 30 Mei 2020 adalah peringatan 40 tahun bapak kami. Kami pun memberitahukan tetangga kanan-kiri dengan cara membagikan berkat makanan sebagai doa pengantar untuk almarhum.Persiapan 40 hari

Sejak beberapa minggu yang lalu, lewat chat di WA, semua sudah dipersiapkan oleh murid-murid beliau dari Swagotra Budaya Jawa Tengah yang setia. Selain pendiri Permadani, organisasi budaya yang mirip, beliau adalah pendiri Swagotra.

Apa yang dilakukan para cantrik sangat membantu keluarga kami. Viele Haende schnelles Ende," kata orang Jerman. Artinya semakin banyak yang bantu, kian cepat selesai. Memang tidak sebanyak dan seheboh saat sebelum corona, tetapi kami memaklumi.

Nah, dalam chat, tiap member whatsapp group itu mengirimkan file video atau audio dari rumah, yakni nembang macapat (menyanyikan lagu Jawa seperti Maskumambang) khusus untuk bapak dan kemudian menurut rencana dibuat buku yang akan dibagi kepada para murid dan videonya, yang akan diputar pada 40 hari bapak disimak bareng-bareng.

Sungguh saya bahagia bahwa orang Indonesia khususnya Jawa memiliki karakter baik yang sangat menghormati guru, yang nggak hanya digugu dan ditiru (didengarkan dan diteladani) tetapi juga akan tetap berbakti setelah guru mati.

Di Jerman, belum seperti itu. Pada umumnya, kalau sudah nggak jadi guru, ya sudah, putus. Meskipun begitu, saya masih bisa melihat bahwa tetap ada segelintir orang Jerman yang masih setia dan hormat pada mantan gurunya. Semoga saja bukan karena gurunya orang Indonesia.

Oh, ya, selain persiapan tembang dan buku, adik saya yang di Belgia sudah memesan sindur, kain warna merah putih yang nanti akan ditutupkan pada nasi tumpeng. Sindur umumnya berwarna merah-putih dan ada motif gelombang. Merah artinya berani dan putih berarti suci. Prasyarat itu dilengkapkan pada peringatan 40 hari nanti. Sindur juga digunakan pada upacara adat orang Jawa lain, contohnya pernikahan.

Sound system pun sudah dipersiapkan oleh pak Mardi, pak Puryono. Sedangkan kakak-adik, pak Mustamin, bu Marni, pak Pamudji serta kadang Swagotra lainnya akan membantu pelaksanaan acara.

Jamaah masjid pun sudah diberitahu beberapa hari sebelumnya. Intinya, semua sudah diwanti-wanti sejak awal agar tidak lupa atau bertabrakan dengan jadwal acara lainnya.

Baca juga: Buku Yasin Dicetak Saat Mengenang 40 Hari Wafat Seseorang

Karangan bunga putih dan wangi untuk hiasan meja dan untuk tanda jasa bagi murid yang paling rajin mempersiapkan acara telah dipesan pula oleh adik saya, mengingat bapak kami menyukai bunga dan gemar berkebun. Menghadiahi orang dengan karangan bunga saat bertamu, ke pesta ultah atau pesta kematian juga menjadi salah satu tradisi orang Eropa.

Tumpeng dan dos makanan pun sudah jauh-jauh hari dipesan oleh ibu di tetangga yang suka masak.

OK, semua sudah siap menyambut acara 40 hari. Persiapan sudah matang. Laksanakan.

Tahlilan jarak 1 meter an (dok.Swagotra)
Tahlilan jarak 1 meter an (dok.Swagotra)
Apa itu Matang puluh dina?

Papat dalam Bahasa Indonesia artinya empat. Patang puluh sama dengan 40. Dina, yakni hari. Jadi peringatan matang puluh dina ini untuk memperingati orang yang meninggal selama 40 hari yang lalu atau 1 bulan 10 hari. Konon, ini untuk mempermudah roh almarhum/ah menuju alam kubur. Kehidupan orang Jawa masih dekat dengan hal ghaib. Kami meyakini bahwa jasad almarhum sudah mati dan terkubur di dalam tanah. Walaupun begitu, spiritnya masih berjalan-jalan dari makam ke rumah. Almarhum/ah akan bertemu dengan roh-roh halus yang sudah ada sebelumnya. Untuk itu perlu diadakan selamatan supaya roh tenang dan tidak mengganggu.

Menurut Muhamad Nasrur dalam sebuah blog tahun 2018, riwayat yang ada hanya mengatakan bahwa pernyataan bahwa ruh orang yang sudah wafat tetap berada di bumi selama 40 hari, belum ada riwayat yang sahih terkait persoalan itu, tapi ia tahu dan yakin bahwa "bumi menangis atas kematian orang beriman selama 40 kali waktu pagi."

Sedangkan karaton Ngayogjakarta Hadiningrat menuliskan:

"Fase terakhir adalah kematian, yaitu proses meninggalnya manusia setelah melalui banyak tahapan dalam kehidupan dan mengalami tugas-tugas perkembangan sedari lahir, masa kanak-kanak, masa remaja, dewasa, hingga tua. Dalam hal ini, upacara tradisi Jawa untuk memperingati kematian dapat diurutkan ke dalam berbagai prosesi. Lelayu (memberitakan kematian), Ngrukti Laya (mengurus jenazah dari memandikan, memberangkatkan jenazah, kegiatan sepanjang menuju makam, sampai doa di pemakaman), termasuk urusan administrasi yang berkaitan dengan kematian. Lalu ada juga upacara ritual kematian yang meliputi Selametan Surtanah atau Bedhah Bumi (upacara mempersiapkan liang kubur), Telung dina (selamatan hari ketiga setelah kematian), Pitung dina (selamatan hari ketujuh setelah kematian), Patang puluh dina (selamatan hari keempat puluh setelah kematian), Satus dina (selamatan seratus harian setelah kematian), Pendhak pisan (selamatan satu tahun sejak kematian), Pendhak pindho (selamatan dua tahun sejak kematian), dan Sewu dina (selamatan seribu hari setelah kematian)."

Lebih jauh Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1997 menerangkan bahwa "Selametan Matang Puluh dina diadakan pada hari ke empat puluh, sesudah orang tersebut meninggal dunia. Maksud dan tujuan selametan ini adalah supaya roh orang yang meninggal dunia itu mendapat tempat yang layak dan segala amal perbuatan di dunia diterima di sisi Tuhan."

Baca juga: Tradisi Misuan Tanda Bayi Umur 40 Hari

Sebuah studi yang dilakukan Amru Almu'tasim dan Jerry Hendrajaya dari Institut Agam islam Uwuliyah Mojokerto yang dirilis Februari 2020 menyebutkan bahwa "Tradisi selamatan matangpuluh dina dimaksudkan sebagai upaya untuk mempermudah perjalanan roh menuju alam kubur. Ahli waris membantu perjalanan itu dengan mengirim doa yaitu dengan bacaan tahlil dan selamatan...."

Pro dan kontra tentang peringatan 40 hari adalah hal yang biasa. Yang penting, tetap harmonis dalam hidup bersama di dunia.

Teman-teman, selain mengamati  nasi tumpeng, snack dan dos isi nasi berkat yang ada di meja, mari kita tengok acara tahlilan yang sudah siap dijalankan.

Jamaah masjid Al-Falah yang hanya beberapa langkah dari rumah orang tua kami telah siap duduk di kursi yang telah didesain sesuai zaman new normal. Mereka tampak rapi dengan pakaian sehabis sholat, rata-rata dengan baju koko-kopiah-sarung. Tentu saja masker adalah wajib karena masih dalam masa pandemi dan supaya saling menjaga.

Senang meneliti gambar satu demi satu dari para tamu yang hadir untuk membacakan doa untuk bapak. Selain jaraknya 1,5 meteran, semua pakai masker dan tertib. Sebelum masuk ruangan balai, tadi sudah cuci tangan dengan air mengalir dan sabun di depan rumah. Satu yang tak luput dari pengamatan saya, yakni peringatan di layar utama "Cukup dengan ucapan, tidak berjabat tangan." 

Doa dipimpin seorang imam. Keluarga kami mendampingi di meja paling depan. Setelah doa selesai, semua pulang dengan membawa berkat.

Tamu shift kedua adalah tamu dari Swagotra. Mereka berpakaian lengkap, busana Jawa dengan warna hitam atau gelap. Tentu saja masker menutupi mulut dan hidung. Para cantrik istilahnya "Mengeti 40 dinten surutipun Rama Drs. RM Setyadji Pantjawidjaja amarengi hari Tumpak Manis Magut Ratri Radhite Jenar 30 Mei malem 31 Mei 2020" atau memperingati 40 hari meninggalnya bapak kami yang bertepatan dengan hari Sabtu (Legi) malam (Ratri) Minggu (Radhite) Pahing (Jenar), 30 Mei 2020.

Gambaran acaranya, dimulai dengan memutar gending-gending Jawa sebagai pengucap selamat datang para tamu yang satu-persatu mengisi daftar hadir, mengambil souvenir berupa buku dan sindur.

Begitu semua duduk dan lengkap, prakata dari beberapa murid mengalir. Tembang macapatan yang diajarkan bapak bertahun-tahun yang lalu, mulai berkumandang di ruangan dari sebuah layar video. Isinya ada yang menyayat hati mengenang almarhum. Lengkingan suara masing-masing membuat bulu kuduk yang mendengar, mampu berdiri. 

Pemotongan tumpeng dipimpin salah satu murid, kakak sulung dan ibu kami mendampingi. Nasi gurih yang biasanya dimasak dengan bumbu serai, daun salam, percikan garam, santan kelapa dan air ditemani lauk pauk seperti ingkung, ayam besar yang dimasak dengan bumbu sedap ala Jawa bikinan tetangga. Ada juga sayuran (tomat, ketimun, terong, salat hijau), tempe, tahu dan telur yang mengelilingi tumpeng yang ditaruh di atas tampah berbentuk lingkaran terbuat dari  bambu dan dialasi dengan daun pisang yang ditata sedemikian rupa (menyerupai gerigi).

Tumpeng pun dibagi-bagi ke hadirin yang ada di ruangan yang biasa juga dipakai untuk PAUD itu. Kripik gedang, kripik tela. Sitik edang, waton rata. Keripik pisang, keripik ketela. Semua dapat sedikit, asal rata. Usai makan bersama dan akan pamit, para tamu foto bersama sebagai kenang-kenangan.

Apa tanggapan orang asing terhadap tradisi 40?

Gimana, unik-menarik juga kan tradisi matang puluh itu?

Sebenarnya nggak hanya orang Jawa yang merayakan 40 hari orang meninggal. Para penganut gereja ortodok timur rupanya juga memiliki kebiasaan untuk mengingat bahwa setelah 40 hari seorang yang meninggal akan datang lagi ke rumah dan kembali lagi ke kuburan. 

Untuk itu, di Rusia misalnya disediakanlah sajen berupa roti dan segelas air di sebuah sudut rumah almarhum/ah. Handuk milik almarhum/ah digantung di jendela dan dibawa ke gereja terdekat. Makanan akan disediakan di rumah duka, khusus bagi para tamu (keluarga atau jamaah gereja).

Eri Bolot dalam blog pribadinya menulis bahwa Jepang sendiri juga mengenal perayaan 49 hari setelah seseorang meninggal, di mana keluarga, tetangga, saudara, kerabat dan kenalan berkumpul serta berdoa untuk almarhum/ah. Bahkan masyarakat Jepang kuno pun masih melestarikan kematian orang setelah 7 hari, 49 hari, 1 tahun, 3 tahun, 5 tahun, 7 tahun, 13 tahun dan 50 tahun.

Baca juga: Puasa dan Tradisi Sembahyang 40 Hari

Di Jerman yang mayoritas penduduknya Katolik Roma, mereka merayakan paskah. Empatpuluh hari pasca Yesus meninggal dan dipercaya sebagai masa kebangkitannya, ditandai dengan acara berbagi telur pada keluarga, saudara dan kerabat. Acara cari telur dimaksudkan pula sebagai lambang awal kehidupan. 

Tapi rupanya, tetap saja, tradisi bagi berkat makanan ke tetangga dekat pada acara 40 hari bapak kami masih asing di telinga mereka. Begini komentar mereka:

  • "Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus membawa sesuatu ke kalian sebagai balasan? Aku harus masak apa untukmu?"
  • "Menarik sekali. Tradisi yang aku baru tahu."
  • "Hmm pasti makanan Indonesia ini enak. Maaf kalau kami nggak tahu tentang kepergian ayahmu pada hari H."
  • "Terima kasih makanannya, ya. Barusan kami santap. Aku tadi pergi sebentar. Kami turut berduka atas kepergian ayahmu."
  • "Sekali lagi, turut berduka atas kehilangan yang kamu alami. Doa kami menyertai supaya bapakmu masuk surga."
  • "Pasti berat, ya, ditinggal seorang bapak. Bapakku dan bapak mertua juga meninggal sudah bertahun-tahun masih saja berat rasa di hati. Mereka juga kena Aneurisma bahkan sampai dirawat 3 tahun. Bapakmu mendapat kematian yang cepat dan tidak menyiksa."

Saya hanya mengangguk dan menahan titikan air mata. Ditumpahkan di rumah saja, malu kalau diumbar di jalan.

Setidaknya 40 kardus yang harus saya bagi, saya pilih 10 saja untuk tetangga kanan-kiri yang dekat dengan kami. Lagian, saya lupa belanja dan hanya memanfaatkan gudang makanan yang ada di rumah. Jadinya, limited edition. Yang penting selesai, mission accomplished. Perhatian dan doa para tetangga membuat saya lega.

***

Kompasianer, senangnya selangit sudah berbagi suka dan duka dengan tetangga lewat perayaan matangpuluh dinanan, 40 hari meninggalnya bapak dan eyang kami Drs. Dr.Hc. KRMH Setyadji Pantjawidjaja Sastraningrat.

Masih panjang perjalanan bapak untuk menuju apa yang dicita-citakan, taman Firdaus. Mugi-mugi sowanipun sawargi pinaringan margi pajar anggambuh mring Gusti Ingkang Maha Suci. Semoga almarhum yang menghadap Tuhan Yang Maha Suci mendapat jalan yang terang.

Semoga Allah mengabulkan permohonan kami.

Luar biasa, adat kematian yang ada di Indonesia sungguh sangat berwarna. Selain adat kematian  Jawa yang lekat dengan kehidupan kami tadi, kami pernah mengikuti upacara adat masyarakat Toraja dan Bali. 

Waktu itu ribuan perasaan berkecamuk menjadi satu. Memang acara temanya sedih tapi selalu luwes, dikemas dengan cantik, akal-budi orang-orangnya yang tinggi dan luhur sekali norma-norma, nilai-nilai yang ditularkannya. Bahkan acara mampu menjadi magnet bagi turis mancanegara. Jika orang asing saja tertarik, kita harus lebih tertarik.

Oh, wonderful Indonesia. Betapa indah Indonesia yang memiliki budaya yang berbeda tetapi tetap satu serta lestari hingga kini. Saya tahu sebabnya sampai bisa begitu. Karena kalau bukan kita yang merawatnya dari generasi ke generasi, siapa lagi? (G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun