Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Begini Cara Orang Bersedekah di Jerman pada Masa Corona

28 Mei 2020   13:14 Diperbarui: 28 Mei 2020   14:39 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Apa bentuk kepedulian warga Tuttlingen, minimal meringankan korban terdampak Covid 19, meringankan pekerja yang kehilangan pekerjaan?" presenter Kompas TV mbak Adisti bertanya pada saya yang diundang jadi narsum pada siaran live dari Jerman pada suatu hari.

"Kebetulan saya bekerja sebagai pengajar Bahasa Inggris di sebuah Lembaga VHS, yang ini milik pemerintah dan separohnya adalah privat atau pribadi. Kami diberikan subsidi dari pemerintah bahwa kami akan diganti honor atau pemasukan yang hilang selama masa corona. Sejak 16 Maret sampai dengan April, saya tidak bekerja. Bahkan sampai Juni pun kami belum ada kepastian apakah akan dibolehkan untuk mengajar lagi atau tidak. Jadi tidak ada penghasilan.

Sementara mereka yang tidak pernah bekerja mereka mengambil bahan makanan gratis atau murah sekali dari Tafel. Jadi di sebuah swalayan biasanya ada boks, di mana siapapun boleh memasukkan bahan-bahan makanan untuk disumbangkan kepada orang-orang yang tidak punya.

Di daerah Berlin dan Leipzig sekitar 5 jaman dari rumah saya itu unik sekali. Orang-orangnya memberikan perhatian kepada orang-orang yang tidak punya yang tidak penghasilan, tidak ada pemasukan begitu ya, mereka memasukkan di kantong plastik lalu digantungkan di pagar yang ada di alun-alun kota, di mana banyak orang berlalu lalang. Siapapun  yang ingin mengambil isinya ada pisang, ada Marmelade e ... ada selai atau sepatu atau baju digantungkan saja.

Lalu tertulis peringatan di sana, "Jangan ambil semuanya, silakan ambil seperlunya saja." Cerocos saya yang sepertinya hampir kehabisan nafas karena pertanyaan cuma satu kalimat, jawabnya muter-muter. Hedeh.

Ya, sudah habis itu link videonya saya share supaya teman-teman, sanak-saudara dan kerabat serta kenalan tahu kondisi yang ada di kota kami lewat wawancara 5 menit langsung dari Indonesia-Jerman.

Komentar netizen

Selain pertanyaan tentang kepedulian warga lewat sumbangan makanan, ada pertanyaaan lainnya yang menarik yang dilontarkan si mbak ayu pada saya. Aduh, belepotan sekali dan ngomongnya cepet banget saya. Mana lupa pakai headset lagi.

Oh, ya, khusus untuk donasi, beberapa teman memberi komentar:

"Wah, unik ya, cara orang Jerman bersedekah."

"Nggak takut sumbangan dicolong?"

"Mengapa orang-orang Jerman nggak ngasih langsung ke orang yang membutuhkan?"

Dan banyak lagi feedback yang saya terima, termasuk 9 tanda jempol ke bawah dari 9641 klik. Kita memang nggak bisa ngarepin semua orang senang dengan kita atau apa yang kita bagi. Tidak semua orang yang harus menyenangkan kita. Mereka punya pilihan dan cara pandang sendiri. Termasuk memberikan umpan balik.

Memang terbilang unik cara orang Jerman bersedekah. Nggak kayak di Indonesia di mana pemda, masyarakat bahkan para artis turun sendiri ke jalan untuk membagikannya. Tentu saja masih dengan masker dan disinfektan.

Diletakkan di boks yang mirip penjara? Digantungkan di atas pagar? Mungkin hal yang nggak biasa di tanah air. Apa nggak takut barangnya diambilin orang yang bukan sasaran donasi?

Kompasianer, lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Bahwa setiap negara punya budaya sendiri. Karakter bangsanya juga demikian. Kalau saya amati, orang Jerman sedikit tertutup dibandingkan dengan orang Indonesia. Tetapi jangan remehkan jiwa menyumbang mereka yang besar dan mendarah daging. Bukan hal aneh kalau mereka suka menyisihkan sebagian hartanya meski sudah dipotong pajak gereja sebanyak ratusan euro sebulan. Banyak, kan. Mereka biasanya sangat mudah untuk memberikan transfer bagi organisasi yang mendukung program untuk anak-anak dan hewan-hewan sedunia. Jadinya untuk memberikan sumbangan bagi orang yang menderita di masa penyebaran covid19 itu sangat gampang terlihat, meski tak terlihat tangan mana yang ada di atas tadi.

Contoh sembako (dok.Gana)
Contoh sembako (dok.Gana)

Terima kasih, sudah menyumbang (dok.Gana)
Terima kasih, sudah menyumbang (dok.Gana)

Box sumbangan, Spendentisch

Tadi saya menyebutkan soal sumbangan yang diletakkan di swalayan atau disebut Spendentisch (Spende=sumbangan, Tisch=meja). Bagaimana sih, penampakan boks sumbangan selama masa corona itu?

Adalah swalayan Kaufland. Namanya saja Kauf =Membeli dan Land = negara/wilayah. Wilayah di mana orang biasa membeli atau shopping ini memang lebih luas dari retail lainnya di Jerman. Saking luasnya, kalau saya pindah ke swalayan yang sama tapi di kota lain, saya bisa tersesat dan nggak tahu di mana tempat ambil barang A, B, C.

Di sana itu tersedia box di depan mesin penukaran botol kosong. Jadi berseberangan dengan meja resepsionis yang sekarang punya dinding kaca. Artinya bisa ada yang mengawasi.

Oi, terlihat beberapa bahan baku seperti tepung terigu, gula pasir, mi, minyak goreng, cairan pembersih, bumbu, snack dan lain-lain.

Saya nggak tahu apakah barang-barang itu masih fresh atau sudah kadaluwarsa. Mau ngecek nanti saya malah dikira maling. Biarkan saja, sudah ada yang ngatur, yakni Tafelladen yang bersangkutan, misalnya di Trossingen.

Apa itu Tafelladen?

Kalau saya menyentil soal Tafel atau Tafelladen (Tafel=papan/sepotong, Laden=toko), itu adalah toko kecil di setiap kota yang menyediakan kebutuhan sembako dan kebutuhan sehari-hari lainnya dengan harga murah. Toko hanya untuk orang-orang khusus. Misalnya pengangguran atau Hartz IV. Oleh sebab itulah, setiap pelanggan memiliki kartu langganan toko untuk membedakan dengan orang umum. Takutnya yang nggak berhak, mengambil hak orang yang membutuhkan alias salah sasaran.

Nah, kartu member itu bisa didapatkan di gereja Katolik atau kristen setempat, kantor pemda, biro sosial dan di toko Tafel sendiri.

Toko Tafel terdekat dengan rumah kami adalah di Hohnerstrasse 16 Trossingen, seberangan dengan tempat TK di mana saya training. Kalau saya lewat bersama anak-anak, terlihat beberapa petugas tampak sibuk melayani pelanggan. Sepertihalnya toko-toko lain pada umumnya.

Tempat belanja mini itu dibuka setiap hari Selasa dan Kamis pukul 14.00-17.00. Sayang, selama masa corona tutup. Kayaknya Juni nanti baru buka, sepertihalnya sekolah-sekolah.

Contoh sumbangan masker di pagar (dok.Annapetz)
Contoh sumbangan masker di pagar (dok.Annapetz)

Mari ikut peduli now or never

 "Pak, nanti kalau pulang kita mampir box, ya. Nyumbang." Hmmm, membayangkan senengnya orang kalau menemukan sembako dari saya nanti itu sesuatuh. Muka saya berseri sebelum pulang menuju kasir. Gunungan belanjaan sampai bikin saya nggak keliatan dari depan. Namanya juga Minnie Mouse. Saatnya berbagi.

"Nggak usah, lain kali saja." Suami saya tampak cuek sambil berlalu menuju mesin pembayaran. Ia tempelkan kartu tanpa memasukkannya. Wireless. Setelah itu ia harus menunggu mesin mengeluarkan Quittung atau bon belanjaan dan mendapatkan gulungan stiker bonus untuk belanja barang-barang mercandise.

Olala, saya melongo tapi tetap mencoba mencerna apa katanya. Ah, masak pelit, sih. Menyumbang ala kadarnya juga nggak papa, kok.

Segera keranjang saya dorong keluar dari kasir, mumpung suami saya belum selesai dengan transaksi pembayaran.  Langkah seribu. Yihaa, saya bak kilat menyambar.

"Srttttt." Kaki-kaki kecil saya sudah sampai di depan box. Kaki mengerem dengan sempurna. Tengok kanan-tengok kiri dan belakang, suami saya belum nongol juga. Yuhuuu, aman. Saya lempar 1 kg tepung terigu, 1 kg beras dan 1 kg gula pasir ke dalam jeruji besi yang lebih tinggi dari saya itu. "Bammmm"

Berhasil! Sembako itu masuk ke boks tanpa cacat alias nggak meledak. Menurut saya, menyumbang itu kan karena panggilan hati. Kalau sudah terpanggil memang harus dipenuhi. Terkabul.

Beberapa menit kemudian, suami datang.

"Ada apa, buk." Namanya belahan jiwa, ia curiga saya melakukan hal yang dia nggak ngerti atau nggak lihat.

"Enggak ...." Diam adalah emas, pikir saya begitu.

Kami pun ngeloyor menuju mobil. Pada kesempatan belanja yang lain, terulang. Saya baru ngaku waktu ditanya habis ngapain dan suami nggak marah, kok. Sip.

Cara dan gaya menyumbang orang memang berbeda. Kalau tadi ada box, ada juga pagar tempat menggantungkan sumbangan di Jerman, di Indonesia banyak orang menyampaikan sendiri dari rumah ke rumah atau di jalan raya. Berbeda tapi satu tujuan.

Mari ikut peduli semampunya, selagi bisa. Now or never. Kompasianer setuju? (G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun