"Nggak usah, lain kali saja." Suami saya tampak cuek sambil berlalu menuju mesin pembayaran. Ia tempelkan kartu tanpa memasukkannya. Wireless. Setelah itu ia harus menunggu mesin mengeluarkan Quittung atau bon belanjaan dan mendapatkan gulungan stiker bonus untuk belanja barang-barang mercandise.
Olala, saya melongo tapi tetap mencoba mencerna apa katanya. Ah, masak pelit, sih. Menyumbang ala kadarnya juga nggak papa, kok.
Segera keranjang saya dorong keluar dari kasir, mumpung suami saya belum selesai dengan transaksi pembayaran. Langkah seribu. Yihaa, saya bak kilat menyambar.
"Srttttt." Kaki-kaki kecil saya sudah sampai di depan box. Kaki mengerem dengan sempurna. Tengok kanan-tengok kiri dan belakang, suami saya belum nongol juga. Yuhuuu, aman. Saya lempar 1 kg tepung terigu, 1 kg beras dan 1 kg gula pasir ke dalam jeruji besi yang lebih tinggi dari saya itu. "Bammmm"
Berhasil! Sembako itu masuk ke boks tanpa cacat alias nggak meledak. Menurut saya, menyumbang itu kan karena panggilan hati. Kalau sudah terpanggil memang harus dipenuhi. Terkabul.
Beberapa menit kemudian, suami datang.
"Ada apa, buk." Namanya belahan jiwa, ia curiga saya melakukan hal yang dia nggak ngerti atau nggak lihat.
"Enggak ...." Diam adalah emas, pikir saya begitu.
Kami pun ngeloyor menuju mobil. Pada kesempatan belanja yang lain, terulang. Saya baru ngaku waktu ditanya habis ngapain dan suami nggak marah, kok. Sip.
Cara dan gaya menyumbang orang memang berbeda. Kalau tadi ada box, ada juga pagar tempat menggantungkan sumbangan di Jerman, di Indonesia banyak orang menyampaikan sendiri dari rumah ke rumah atau di jalan raya. Berbeda tapi satu tujuan.
Mari ikut peduli semampunya, selagi bisa. Now or never. Kompasianer setuju? (G76)