Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ternyata Ada Juga Orang Jerman yang Malas atau Nggak Mau Pakai Masker

20 Mei 2020   05:03 Diperbarui: 20 Mei 2020   05:10 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pakai syal juga boleh asal hidung dan mulut tertutup (dok.Gana)

Kompasianer, pernah nggak ngeliat orang pakai masker nggak bener? Sering kann? Jangan-jangan Kompasianer juga nggak tertib, nih pakainya. Lah iya, yang dikasih masker mulutnya aja, hidungnya nongol. 

Ada yang pakai masker cuma dagunya aja yang ketutup, mulut sama hidungnya bebas-rapi. Ada bahkan masker yang nangkring di jidat, saudara-saudara. Emang virusnya bisa masuk kepala? Bahkan yang bikin saya mau salto, ada yang cuma dicantelin di satu telinga. Nggak takut ngabur maskernya? Lebih parah lagi kalau nggak pakai masker.

Aduhhhh, gimana sih? Apa sebenarnya kegunaan masker? Mengapa masker sangat berperan dalam memerangi penyebaran covid19 yang menjadi pandemi? Apakah pemakaian masker dengan baik dan benar sangat mempengaruhi masuknya virus?

Wajib pakai masker di Indonesia

Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah mengumumkan pemakaian masker kain (bukan masker bedah dan N95) sejak 5 April 2020, udah sebulan lebih kan. Bapak Achmad Yurianto selaku jubir pak Jokowi menegaskan program "Masker untuk semua" sesuai anjuran WHO demi menangani penyebaran Covid19. Pemakaian masker dianjurkan untuk tidak lebih dari 4 jam. Iya, saya tahu rasanya kalau sejam pakai masker sudah sesek napas, apalagi 4 jam.

Yang saya sayangkan adalah saat melihat masih juga banyak orang Indonesia yang nggak bener cara pemakaiannya. Ya, itu tadi, hidungnya masih nongol, mulutnya masih kelihatan, jidat atau telinganya yang ditutupi dan sejenisnya.

Tambah parah lagi karena program "wir stay at home" nggak bisa diterapkan di tanah air. Kerumunan, ngrumpi dan kumpul-kumpul, apalagi yang nggak pakai masker masih terlihat atau terjadi di sana-sini. Para petugas medis jadi bilang "#terserah, #sakkarepmu." 

Sementara di Jerman, yang dinilai oleh dunia bahwa pengereman jumlah pasien dan korban paling jempolan, hanya baru membolehkan dua keluarga saja yang bertemu dalam satu ruangan. Pelonggaran ini tentu saja tidak membuat gereja dan masjid di Jerman serta merta penuh, tidak. Jadi berbeda dengan yang terjadi di tanah air, yang masih belum tertib.

Saya prihatin, tetapi nggak berkecil hati begitu tahu banyak orang Jerman yang nggak bener pakai maskernya atau nggak pakai masker karena malas atau menolaknya. Mengapa masyarakat Jerman seperti itu?

Maskenpflicht di Jerman

Maske = masker, Pflicht = kewajiban. Kalau Indonesia punya 33 propinsi, Jerman memiliki 16 negara bagian. Sepuluh Bundeslaendern atau negara bagian Jerman itu mewajibkan warganya untuk memakai masker. Enam negara bagian lain hanya menganjurkan orang untuk jaga jarak. Lho, mengapa nggak semua wajib pakai masker? Kepala orang memang beda-beda.

Oh, ya, aturan wajib pakai maskter berbeda-beda, ada yang hanya wajib ketika masuk ruang publik yang tertutup seperti armada transportasi umum, praktek dokter, tempat belanja atau kantor. Ada yang tetap mewajibkan pakai ketika berada di pasar rakyat dengan banyak orang meski di tempat terbuka. 

Di negara bagian tempat kami tinggal, yakni Baden-Wuerttemberg , kewajiban pakai masker dimulai sejak 20 April 2020 atau dua minggu setelah Indonesia mengumumkannya.

Sebelumnya, kami dan beberapa orang Jerman lainnya sudah pakai masker sejak akhir Februari karena memang sudah punya dan merenungi kelalaian memakainya ketika berada di tempat-tempat umum Milan, Italia, satu hari setelah korban corona meninggal (24 Februari 2020). Bersyukur setelah karantina mandiri selama 14 hari di rumah, tidak ada yang sakit.

Pemerintah daerah mengatakan bahwa aturan inti masker adalah Mund-Nase Schutzmasken atau masker demi melindungi mulut dan hidung. Itu adalah lubang-lubang, jalan masuknya virus ke dalam tubuh. Entah pakai masker betulan atau syal yang dililitkan pada wajah untuk menutupi mulut dan hidung, tak masalah.

Anak-anak di bawah umur 6 tahun dianjurkan untuk tidak memakainya, dikhawatirkan mereka akan tersedak atau kesulitan bernafas saat memakai. Untuk menangkal nggak kena virus atau nggak menularkan virus, anak-anak sebaiknya di rumah saja. Nggak ke rumah nenek-kakek yang merupakan golongan beresiko atau nggak diajak belanja atau ke tempat umum.

Jerman memang terkenal akan kedisiplinan dan ketertibannya. Hal-hal kecil akan diurusi. Gambaran wajib pakai masker di Jerman ada yang kontrol, lho. Jadi kalau pergi ke toko atau supermarket, ada yang jaga di depan pintu. Yang nggak pakai masker, nggak boleh masuk. 

Kalau sudah pakai masker boleh masuk tapi dibatasi, dengan jarak dan waktu (sampai menunggu konsumen lain keluar supaya di dalam ruangan nggak kebanyakan orang) serta harus bawa satu keranjang. 

Pemakaian sarung tangan sekali pakai nggak disarankan karena nggak ramah lingkungan. Setelah berbelanja, ada disinfektan di bagian depan toko, yang bisa digunakan para pelanggan sebelum pulang ke rumah.

Pakai syal juga boleh asal hidung dan mulut tertutup (dok.Gana)
Pakai syal juga boleh asal hidung dan mulut tertutup (dok.Gana)
Sudah pakai masker sejak Februari (dok.B69)
Sudah pakai masker sejak Februari (dok.B69)
Golongan anti masker

Bagaimana dengan ABG dan orang dewasa? Mereka harus memakainya. Namun apa yang terjadi di lapangan? Waktu saya tanya, jadi tahu. Banyak anak muda yang nggak memakainya, selain banyak yang nggak punya, mereka ini bilang nggak keren. 

Mereka percaya bahwa dengan jaga jarak 1,5 - 2 meter sudah cukup menghindari virus meski tanpa masker. Bagi saya, ini underestimate, meremehkan penyebaran virus yang nggak pandang bulu dan nggak kira-kira itu.

Orang dewasa sudah pada pakai tapi tidak semua. Seperti yang pernah saya ceritakan bahwa seorang tetangga yang istri dokter gigi dan bekerja sebagai Heilpraktikerin atau tukang obat herbal, justru nggak mau pakai masker karena ia menganggap virus covid kayak virus lainnya. Ia nggak mau terlalu ribet memikirkannya. Oh, saya pikir ia harus jadi teladan di bagian kesehatan bagi kami para tetangganya. Nggak, tuh.

Masih banyak orang dewasa lainnya yang nggak pakai di tempat umum, entah terbuka atau tertutup. Ketika berpapasan mereka, kami biasanya hanya geleng kepala. Nggak ada rasa bersalah atau nggak enak, ya? Mereka cuek bebek saja.

Di alun-alun kota kami, selalu ada pasar tradisional yang digelar tiap hari Senin dan Jumat pagi. Para penjual semuanya memakai masker tetapi tidak dengan pembeli. 

Jika mereka nggak bawa masker, syal yang dilingkarkan untuk menutupi mulut dan hidung sudah OK dan terlihat di sana-sini. Sayangnya, ada satu-dua orang dewasa sebagai pembeli yang acuh tak acuh. Mereka nggak sadar bahwa masker bisa menyelamatkan nyawa diri sendiri dan orang lain.

Bahkan ada artis yang menentang peraturan pemakaian masker. Salah satunya adalah penyanyi Xavier Naidoo dari Mannheim. Ia adalah salah satu mantan juri "Deutschland Sucht Den Superstar- DSDS", ajang pencarian bakat yang digagas oleh Dieter Bohle. Xavier membuat video propaganda yang mengatakan bahwa pemerintah Jerman hanya membuat masyarakat resah dan menuding wajib pakai masker itu hanya untuk menyudutkan kaum lansia. 

Ia menambahkan bahwa ia nggak percaya adanya pandemi corona itu benar terjadi atau hanya buat nakut-nakuti penduduk Jerman saja.

Tuh, kann di Jerman orang nggak bener pakai maskernya. Paling heboh, ada yang menentangnya. Saya kira hanya orang Indonesia atau Asia saja yang begitu. Ternyata, saya salah sangka.

Ditambah beberapa hari yang lalu, kami mampir sebentar di sumber mata air Danube yang mengalir ke 10 negara di Donaueschingen untuk ambil cut video. Olala, hari memang panas dan banyak turis. Kaget, hanya saya dan suami yang pakai masker. Hasilnya, kami yang jadi tontonan orang, bukan Quelle nya. Alamak.

Pakai masker asal-asalan ada di Jerman

Ada kisah lucu ketika kami pergi belanja. Seperti biasa, kami selalu datang satu jam sebelum toko tutup (sekitar pukul 21.00) dengan anggapan nggak banyak yang belanja karena sudah malam. Saat membayar belanjaan, saya kaget karena ibu kasir yang kira-kira umurnya 50 an itu memakai masker tetapi hidungnya yang panjang masih nongol. 

Saya yakin sebabnya bukan maskernya yang salah, sesak atau nggak muat tetapi si ibu sengaja nggak memakainya dengan baik dan benar. Memang benar bahwa ada penghalang kaca di meja kasir, tetapi tetap saja itu bukan contoh yang baik. Masih ada anak-anak yang dibawa ibunya belanja. 

Artinya, mereka bisa melihat ada orang pakai masker nggak bener. Anak-anak? Mereka ini paling gampang meniru hal-hal yang keliru. "Ibu kasir yang di swalayan itu juga nggak benar pakainya, kenapa aku harus benar? Begitu pasti sanggahan anak-anak jika diingatkan ibunya untuk memakai masker dengan baik dan benar.

Barusan saya beli figura untuk tugas anak sekolah. Di dalam toko, ada dua orang asing yang ikut masuk di barisan belakang kami. Satunya nggak pakai masker, satunya pakai tapi nggak bener. Karet masker hanya bertengger di satu telinga alias maskernya nggantung seperti jemuran. Mengapa pihak toko tidak memperingatkan mereka?

Saya ingat-ingat lagi dan sedikit diskusi dengan suami. Ternyata meski Jerman adalah negara maju dan modern, belum tentu semua orangnya sadar akan pemakaian masker dan kalau pakai pun nggak semuanya benar.

Perhatikan perawatan masker

Oh, iya, selain pemakaian masker pada tempatnya dan pemakaian yang baik dan benar, rupanya materi dari masker yang dipakai juga harus diperhatikan. Sebaiknya dipilih bahan yang pori-porinya kecil atau rapat, berlapis tiga, kalau perlu dilapisi tisu kertas sekali pakai sebagai filter dan ganti baru. 

Ada dua jenis yang bisa dipilih FFP 2 dan FFP 3. FFP 2 cukup melindungi orang dari penularan virus corona sedangkan FFP 3 lebih tebal lagi karena mampu melindungi dari partikel radioaktif atau sehingga susah untuk bernafas dan tidak bisa digunakan berkali-kali seperti FFP 2.

Sedangkan masker buatan sendiri dari kain juga ada di Jerman. Nggak papa daripada enggak pakai sama sekali.

Untuk perawatan, masker bisa dicuci dengan temperatur 60 derajat celcius, disetrika atau dimicrowave. Masker sekali pakai tidak disarankan karena akan menimbulkan masalah baru seperti sampah, yang artinya nggak Umweltbewusst atau nggak ramah lingkungan.

Baiklah, segitu saja ngobrol tentang masker. Semoga kita semua termasuk golongan orang yang patuh pada peraturan wajib pakai masker ini, sampai masa pencabutan dari pemerintah. Sekarang, mari periksa lagi apakah kita sudah benar memakai masker dan memeliharanya dengan baik. (G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun