Dear Kompasiana,
Dear Kompasianer,
Apa kabar kalian di Jakarta dan sekitarnya? Semoga tetap sehat dan bahagia. Bayangin kalian work from home dan gantian piket ke kantor supaya program social distancing dan physical distancing mulus. Jangan sakit apalagi lupa, ya. Namanya kerja di rumah, pasti sudah rusuh karena campur dengan keluarga. Mau pegang laptop, eee pasangan jiwa minta tolong ini-itu, adaaa aja. Mau nerusin gawean, eee anaknya rewel. Mau ngerjain deadline, eee disuruh mami pesen makanan lewat daring. Halah.
Siapa bilang home office itu lebih mudah? Justru tantangannya banyak karena lawannya adalah diri sendiri; bagaimana melawan rasa malas, lupa atau capek, konsekuen dan tentu, disiplin waktu dan tugas.
Baiklah. Mumpung lagi dibolehin, mau curhat, ya.
Betul, soal momen tersulit di Ramadan tahun ini.
Arghh, sebenarnya, sama saja sih, nggak sulit-sulit amat. Intinya, ramadan di Jerman berbeda dengan Indonesia. Udah, itu saja.
Gimana nggak beda? Islam adalah golongan masyarakat minoritas di Jerman. Puasa di Jerman kesannya seperti angin lalu, sepi. Di Indonesia, puasa dilaksanakan ramai-ramai dan semua menyambut gembira. Pernak-perniknya pun kentara karena ini tak hanya soal agama tapi juga sudah menjadi tradisi turun-temurun dan lestari di negara yang memiliki 250 juta penduduk dan 6 agama hidup dalam toleransi.
Tetapi saya ingat lagi, bukankah puasa itu merupakan hubungan antara manusia dengan Tuhannya? Jadi meski sendiri atau sama-sama, tujuannya untuk Allah. Jadi, kembali pada niat pribadi masing-masing. Enjoy saja.
Hidup di luar negeri sangat lekat dengan sifat mandiri, berdiri di atas kaki sendiri dan nggak nggantungin orang lain. Termasuk menjalankan ibadah sholat lima waktu. Nggak harus ada bunyi adzan si muadzin yang diperdengarkan di radio, TV atau masjid seperti di Indonesia. Nggak ada. Tahu sendiri kapan harus sholat Dhuhur, kapan sholat Ashar, kapan harus membaca Al-Quran dan seterusnya adalah kewajiban pribadi. Oh, iya, sejak beberapa tahun terakhir saya nggak kataman baca Al-Quran tapi lebih membaca tafsirnya. Mengapa? Karena saya bisa baca, bisa nulis Arab tapi nggak ngerti artinya. Buat saya penting banget mengerti isi surat-surat dalam 30 juz itu ketimbang baca tapi nol informasi. Sekarang sudah sampai halaman tengah.
Oh, ya, soal adzan jadi terkenang. Saking banyaknya masjid di tanah air, terkesan adzan bersahut-sahutan dari satu masjid dengan masjid yang lain tak ubahnya ayam berkokok di pagi hari. Indah, ya di Indonesia.
Di Jerman? Itu mimpi karena bunyi adzan masjid dilarang. Jadi jika beberapa kali selama masa corona, ada masjid yang nekad membunyikannya, saya hanya bisa bilang "Keajaiban, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Besar." Tapi itu nggak bakal abadi, kawan. Jerman sangat detil aturan dalam hidup manusianya.
Bunyi lonceng gereja di dekat rumah kami tetap rajin berdentang tak pernah berhenti. Walaupun begitu, nggak mengganggu pelaksanaan ibadah puasa, kok. Justru semakin yakin bahwa Tuhan ada di mana-mana. Tuhan nggak hanya ada di Indonesia tapi juga Jerman dan seluruh dunia. Yakinlah.
Durasi berpuasa yang lebih lama di Eropa awalnya akan sulit dijalani. Lama-lama, akan menjadi sebuah pengalaman unik. Bagaimana cara kita supaya perutnya nggak meledak karena harus diisi makanan dan minuman dalam waktu singkat, juga diuji. Waktu yang mepet antara berbuka puasa, sholat maghrib, sholat Isyak, tidur dan sahur, kadang menjadi kendala tersendiri. Bagi orang yang nggak biasa puasa di luar negeri, udah nyerah, nggak kuat. Ujian yang berat, kan.
Suatu kali perut bisa saja nggak mau diajak kompromi, akibatnya bisa sakit nggak ketulungan. Untung di rumah kami di Jerman, sudah ada entong atau sendok nasi besar terbuat dari kayu untuk mengurut perut kalau kekenyangan. Lega rasanya. Orang tua saya pernah mengajari cara ini sejak kecil. Sudah pernah coba? Manjur, kok.
Perbedaan lain adalah nggak ada siapa-siapa di Jerman. Bapak saya baru saja meninggal, ibu saya di Semarang bersama ketiga saudara laki-laki saya. Satu saudara laki-laki di Mojokerto dan satu adik perempuan di Belgia. Kemudian, teman-teman lama saya tersebar di seluruh Indonesia. Meskipun hubungan masih terjalin lewat media sosial, tetap saja lain ketika bisa bertatap muka langsung dengan mereka di bulan puasa. Apalagi kalau saya masih serumah dengan ibu dan saudara-saudara seperti dulu, pasti di masa corona pun masih bisa ramadan bersama-sama. Heboh, deh.
Ah, ya. Jika nggak ada corona pun, saya nggak bisa berjumpa mereka karena jarak dan waktu yang memisahkan. Nggak bisa asal pulang seperti pergi ke luar kota, karena banyak yang harus dipikirkan. Ya, kan luar negeri. Sedih tapi apalah daya.
Ya, gitu ... "masa sulit" di bulan ramadan selalu terjadi setiap tahun nggak hanya tahun ini saja di mana corona membuat orang tersekat jarak dan kesempatan. Istilahnya, setiap ramadan di Jerman seperti di masa corona, sepi dan berbeda.
OK, curhatnya segitu saja. Sudah ngantuk mau tidur.
Hmm, lucu, di Indonesia paginya sudah 6 jam duluan. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H