Di Jerman? Itu mimpi karena bunyi adzan masjid dilarang. Jadi jika beberapa kali selama masa corona, ada masjid yang nekad membunyikannya, saya hanya bisa bilang "Keajaiban, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Besar." Tapi itu nggak bakal abadi, kawan. Jerman sangat detil aturan dalam hidup manusianya.
Bunyi lonceng gereja di dekat rumah kami tetap rajin berdentang tak pernah berhenti. Walaupun begitu, nggak mengganggu pelaksanaan ibadah puasa, kok. Justru semakin yakin bahwa Tuhan ada di mana-mana. Tuhan nggak hanya ada di Indonesia tapi juga Jerman dan seluruh dunia. Yakinlah.
Durasi berpuasa yang lebih lama di Eropa awalnya akan sulit dijalani. Lama-lama, akan menjadi sebuah pengalaman unik. Bagaimana cara kita supaya perutnya nggak meledak karena harus diisi makanan dan minuman dalam waktu singkat, juga diuji. Waktu yang mepet antara berbuka puasa, sholat maghrib, sholat Isyak, tidur dan sahur, kadang menjadi kendala tersendiri. Bagi orang yang nggak biasa puasa di luar negeri, udah nyerah, nggak kuat. Ujian yang berat, kan.
Suatu kali perut bisa saja nggak mau diajak kompromi, akibatnya bisa sakit nggak ketulungan. Untung di rumah kami di Jerman, sudah ada entong atau sendok nasi besar terbuat dari kayu untuk mengurut perut kalau kekenyangan. Lega rasanya. Orang tua saya pernah mengajari cara ini sejak kecil. Sudah pernah coba? Manjur, kok.
Perbedaan lain adalah nggak ada siapa-siapa di Jerman. Bapak saya baru saja meninggal, ibu saya di Semarang bersama ketiga saudara laki-laki saya. Satu saudara laki-laki di Mojokerto dan satu adik perempuan di Belgia. Kemudian, teman-teman lama saya tersebar di seluruh Indonesia. Meskipun hubungan masih terjalin lewat media sosial, tetap saja lain ketika bisa bertatap muka langsung dengan mereka di bulan puasa. Apalagi kalau saya masih serumah dengan ibu dan saudara-saudara seperti dulu, pasti di masa corona pun masih bisa ramadan bersama-sama. Heboh, deh.
Ah, ya. Jika nggak ada corona pun, saya nggak bisa berjumpa mereka karena jarak dan waktu yang memisahkan. Nggak bisa asal pulang seperti pergi ke luar kota, karena banyak yang harus dipikirkan. Ya, kan luar negeri. Sedih tapi apalah daya.
Ya, gitu ... "masa sulit" di bulan ramadan selalu terjadi setiap tahun nggak hanya tahun ini saja di mana corona membuat orang tersekat jarak dan kesempatan. Istilahnya, setiap ramadan di Jerman seperti di masa corona, sepi dan berbeda.
OK, curhatnya segitu saja. Sudah ngantuk mau tidur.
Hmm, lucu, di Indonesia paginya sudah 6 jam duluan. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H