Masjid sepi. Kami pun memasuki petak demi petak lantai.
"Wowww, lampunya seperti di surga" Chayenne berteriak. Ia mengulangi kata bagus saya bahwa masjid itu layaknya "surga."
"Iya, lantainya luas dan mengkilap seperti di surga." Shenoa nggak mau kalah sama kakaknya.
"Pssst jangan keras-keras." Jari telunjuk saya membuat anak-anak menutup mulut. Mereka berlari kecil dan menghampiri barang-barang raksasa di dalamnya:
- Sebuah mushaf akbar ukuran 145 x 95 cm yang dibuat oleh Drs. Hayat dari Universitas Sains Al-Quran (UNSIQ) di Wonosobo, Jateng selama 2 tahun 3 bulan dan diterima MAJT pada tanggal 26 Oktober 2005
- Sebuah rekal sandaran baca Al-Quran ukuran raksasa dari kayu. Rekal yang biasa, digunakan untuk membaca Al Quran supaya tidak membungkuk.
Hmm. Anak-anak cepat bosan, kaki-kaki mini mengitari ruangan yang luas itu. Mimik-mimik terpasang begitu serius. Mata mereka melesat ke segala penjuru. Keingintahuan yang bikin haru nan lucu, menjadi saksi kemegahan MAJT, masjid kebanggaan masyarakat Semarang khususnya dan Jawa Tengah pada umumnya, bahkan memori bagi dunia internasional.
Menit demi menit berkejar-kejaran seperti mega di atas sana. Kami sudah keluar dari masjid dan berada di halaman paling depan, di mana bedug besar dari kulit lembu Australia ukuran panjang 310 cm diameter 220 cm bercokol di sana. Bedug replika buatan santri pondok pesantren Al Falah, Banyumas. Ok, anak-anak mau foto dulu sebelum berpisah, tapi nggak boleh mendekat karena pagar dikunci.
Sembari menunggu taksi datang, kami berbelanja di Souvenir Shop. Membeli oleh-oleh sebagai kenangan bahwa kami pernah ke Masjid Agung Jawa Tengah yang menjadi saksi keindahan akulturasi Islam, Jawa dan Romawi.
Selamat tinggal, surga. Kami akan kembali lagi menghampirimu jika badai corona telah berlalu. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H