"Semua sudah dicek?" Begitu kalimat suami saya setiap kali, saat kami akan meninggalkan kamar hotel.
"Sudah. Bahkan sabun sampai shampoonya kebawa." Saya meringis. Gigi jagung saya berkilat. Aha, senyum pepsoden. Kebiasaan mengumpulkan sabun dan shampoo hotel sudah saya mulai pada umur 18 tahun. Gilaaaa sudah dapat berapa karung coba hari gini, untungnya selalu ada yang dipakai jadi nggak mubadzir.
"Ih, buk, malu-maluin ..." Muka cinta saya itu ditutupi dengan kedua telapak tangannya yang mirip sarung tangan baseball. Ia menampik ide cemerlang saya; koleksi sabun dan shampoo hotel. Ya, gitu-tuhhh, suami saya memang tipe orang yang suka hemat tetapi rupanya untuk barang-barang kecil dia masih suka buang karena dianggap nggak butuh.
"Kenapa malu, kan sudah bayar hotelnya dan kita nggak pakai itu karena sudah bawa dari rumah. Bukankah semua jadi hak kita. Siapa tahu kita butuh? Unik dan lucu lho isi dan kemasannya." Keras kepala sekali saya ini, menampik sanggahan dan cemoohan suami. Disuruh nggak meringkus sabun dan shampoo hotel ke dalam koper, tetap saja dilakukan. Maaf, ya, pak. Souvenirrrrrr .....bungkus!
Dari tahun ke tahun, nggak semua sabun dan shampoo di Eropa yang saya kumpulkan terpakai. Apakah itu hal yang percuma? Mengapa nggak dipakai? Namanya orang, punya favorit sabun dan shampoo sendiri-sendiri. Suami saya suka yang ada olive atau lemon grass, saya suka sandalwood dan rose, anak-anak suka rasa stroberi warna pink. Ya ampun, pusing nggak sih, macem-macem daftar belanjaannya. Kenapa nggak disamaratakan semua pakai sabun bebek, sihhhhh?
Dan tibalah masa panen ituh. Masih ingat peribahasa sedia payung sebelum hujan? Itu pas banget ketika masa karantina corona begini.
"Pak, kamu ambil sabun, aku ambil samphoo." Mata saya masih mengamati daftar belanjaan di HP. Suami sudah melangkah menuju arah belakang. Komando saya disikapi dengan sigap.
Selama masa corona, belanja bukan lagi refreshing jalan-jalan di toko yang besar seperti Kaufland, nggak bisa lenggang kangkung.
Kami mewajibkan diri datang satu jam sebelum toko tutup alias pukul 21.00 supaya nggak banyak orang belanja, social distancing. Yang artinya, waktu kami juga nggak banyak sehingga tugas harus dibagi mengambil barang dalam daftar belanjaan dalam satu waktu. Masker? Wajibbbb!
"Yahhhh, buk, sabun kosoooongggg." Ia kembali ke tempat saya berdiri bersama keranjang dengan tangan hampa.
Heran, sabun yang harganya 0,19 sen 0,29 sen atau kira-kira 5 ribuan rupiah semua habis. Rak-raknya kosong. Seperti rak-rak kertas toilet dan tepung terigu yang tak bertuan. Adanya yang 1-2 euro atau 5 kali lebih mahal harganya dari harga normal. Kemana larinya barang-barang itu? Siapa yang mborong?
Ya, sudah akhirnya kami nggak jadi beli.
Oiiiiii. Seingat saya di lemari kamar mandi masih banyak tumpukan sabun dan shampoo yang dikumpulkan selama traveling selama ini dari hotel ini-itu. Artinya, bisa dipakai, dong.
Sama halnya dengan keluarga saya di Indonesia, mereka mendapat manfaat. Selama kami traveling di tanah air, saya tetep lanjutin hobi kumpulin sabun, shampoo dan tetek bengek lainnya.
Lantaran nggak bisa dibawa ke Jerman karena menuh-menuhin koper, jadi ditinggal buat keluarga di Indonesia supaya lebih bermanfaat kalau nggak lusa atau di lain hari. Sedangkan sikat gigi hotel untuk anak-anak di pulau-pulau kecil Indonesia, supaya gigi mereka rajin disikat dan nggak bolong.
Anak Indonesia giginya harus terawat, dong. Ke dokter gigi dan perawatan gigi mahallll, semaksimal mungkin harus menjaga gigi tetap sehat dan bersih.
Sedangkan koper-koper kami ke Jerman lebih baik diisi bumbu dan baju tradisional Indonesia untuk pernak-pernik menari di luar negeri karena di sana nggak ada yang jual. Paling banter satu-dua saja sabun dan shampoo hotel tertentu yang terbawa sampai rumah, misalnya karena tempatnya keren, mewah atau mengesankan.
Kompasianer, itulah hikmahnya, peninggalan sabun dan shampoo bisa digunakan di masa corona. Iya, kan harus banyak kali cuci tangan supaya virusnya pada nggak nempel. Akibatnya keluarga jadi boros memakai sabun. Ah, ini rupanya masa panen dari hobi koleksi sabun dan shampoo hotel. Jadi, mengapa harus malu membawanya pulang? Hemat pangkal kaya (sabun dan shampoo).
Hanya saja, sabun kalau dari hotel kan ukurannya sak unyil. Sabun jadi cepat menipis atau mengecil. Untuk orang yang nggak telaten, pretilan sabun langsung dibuang. Padahal, pretilan-pretilan bisa loh disulap jadi jadi sabun yang agak besar dan digunakan lagi.
Lantas, bagaimana caranya supaya mereka menyatu? Gampang banget. Tinggal mengumpulkan pretilan dalam satu wadah dan merendam mereka dengan air dalam beberapa saat, jangan lama-lama nanti malah menyublim.
Setelah itu buang air, tekan pelan-pelan supaya menyatu. Kalau terlalu keras, serpihan sabun yang lunak akan hancur dan malas gabung. Sesudah kering, sabun akan padat dan bisa digunakan. Gampang banget, kan.
Di masa karantina yang mengharuskan kita rajin pakai sabun saat mencuci tangan akan mulus dengan kebiasaan kita berhemat, nggak asal buang serpihan sabun. Menghargai benda-benda kecil memang butuh ketelatenan dan kesabaran. Bisa? Pasti!
Cara Membuat Sabun Sendiri
Oh iya. Pas mengecek medsos Facebook, melintas pesan dari managemen, bagaimana cara membuat sabun sendiri. Ini akan jadi aktivitas menarik ketika berada di rumah saja. Work from home yang menyenangkan dan bermanfaat ini pasti disukai anak-anak yang suka bereksperimen.
Bayangkan saja jika masa karantina diperpanjang seperti di Jerman sampai bulan Juni. Ini saja masih April, banyak waktu kosong untuk diisi kegiatan ini-itu. Bingung mau ngapain dan takut boring. Mau cobain ini?
Ini bahannya:
- 250 gram inti sabun
- 1-2 sendok minyak olive
- beberapa tetes minyak esensial rasa jeruk
- 1/2 gelas air hangat
Caranya:
- Parut sabun dengan parutan.
- Ambil air, tuang.
- Campur dengan minyak olive dan minyak esensial rasa jeruk.
- Masukkan campuran bahan di atas itu semua dalam sebuah wadah yang sudah diolesi minyak, biarkan mereka jadi padat.
- Diamkan sabun beberapa saat sampai mengering.
- Sabun siap dipakai.
***
Semoga tulisan blah-blah-blah ini bermanfaat dan menginspirasi. Sabun dan shampoo hotel memang barang seupil nan sepele yang biasa dibiarkan begitu saja tergolek di dalam kamar hotel sepeninggal kita check out. Padahal jika dikumpulkan akan memberi berkah. Nggak percaya?
Saya membuktikannya. Virus corona datang, senjata sabun dan shampoo siap di tempat. Sabun untuk mencuci tangan dan shampoo untuk reserve menggantikan sabun cair, dimasukkan ke dispenser kecil sabun cair yang telah kosong dan nggak ada stok dari swalayan.
Tuhhh. Nggak pernaaaaah, kann saya bayangin bakal butuh banyak sabun di rumah seperti masa karantina tahun 2020 ini. Yaolohhh, rejeki kolektor.
Sebenarnya jika tidak kita pakaipun, itu bisa kita sumbangkan kepada orang lain yang membutuhkan. Bukankah barang tersebut adalah layanan dari hotel yang bisa digunakan dan telah kita bayar? Nggak perlu malu. Malu itu kalau kita nyolong, nipu, ngeles bayar utang, malas sikat gigi, nggarong, mencibir orang lain, berpikiran negatif, apalagi kalau kita pakai baju yang kekurangan bahan bahkan sampai nggak pakai celana. Betul?
Baiklah, sekarang memang bukan saatnya mengumpulkan sabun dan shampoo buat souvenir jalan-jalan karena hotelnya pada ditutup. We stay at home. Lain kali pasti masih ada waktu. Saya tunggu di perempatan, deh. Salam kolektor sabun dan shampoo hotel. Toss! (G76)
Ps: Punya souvenir unik dari traveling terdahulu dan tersimpan di rumah? Ikuti lomba komunitas traveler Kompasiana-Koteka dan lihat karya lainnya di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H