Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Jangan Remehkan Corona seperti Orang Bergamo, Italia

26 Maret 2020   19:08 Diperbarui: 26 Maret 2020   19:24 4973
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saking hangatnya Bergamo, lidah buaya jadi raksasa (dok.Gana)

Eropa memang tidak selalu sehangat di tanah air tercinta Indonesia. Untungnya, tinggal di Jerman itu ya, ke luar negeri seperti ke luar kota. Hanya satu-dua jam, sampailah kita ke negara tetangga. 

Mengendarai mobil kita bisa kapan saja-ke mana saja berkunjung, lantaran Jerman adalah negara yang terkunci berbatasan dengan Denmark di bagian utara, Polandia dan Ceko di daerah timur, Perancis dan Luxemburg di daerah barat, di wilayah selatan ada Swiss-Austria-Liechtenstein. Budgetnyapun bisa ditekan, bagus untuk perekonomian keluarga tapi tetap mementingkan piknik sebagai relaksasi dari rutinitas.

Tak heran jika dua tahun yang lalu, kami menggapai mimpi melihat keindahan Bergamo, Italia setelah melintasi negara Swiss. Mengendarai mobil, kami berenam sampai juga ke sana. Saya pikir, "Kalau anak-anak rewel, bisakah kita sampai Italia?"

Namanya pergi sama anak-anak. Pergi dengan mereka itu seperti dengan rombongan lenong, rame, cerewet dan semua harus dibawa. Jalanpun harus selalu pelan-pelan. Cepat sedikit, sudah ada yang rewel. Alhamdulillah, pergi dengan anak-anak adalah anugerah. Kalau tidak sekarang kapan lagi? 

Jika mereka sudah dewasa, mereka punya dunia dan interest sendiri. Kalau diajak ke Italia, mungkin mereka pengennya ke New York atau Bali. Hikmahnya, ketika mengajak mereka ketika masih di bawah umur, ada doktrin kami yang tertanam; berkunjung ke obyek wisata yang bersejarah demi nutrisi otak dan hati, nggak sekedar hura-hura belaka.

Akhirnya kami semua sepakat bahwa ke Bergamo, kota tua yang punya banyak sejarah jaman pertengahan di mana dinasti kerajaan Lombardi berjaya itu, nggak rugi deh.

Kota bawah (dok.Gana)
Kota bawah (dok.Gana)
Jerman-Swiss-Italia, Bergamo! (dok.Gana)
Jerman-Swiss-Italia, Bergamo! (dok.Gana)
Bergamo Atas

Sesudah lebih dari sejam meninggalkan Swiss, kami sampai. Mobil sudah diparkir, anak-anak keluar dengan ceria. "Horeee, pantatnya bebas!"

Menyusuri jalan utama Bergamo yang agak lengang, pandangan mata kami menyebar seperti pemburu mencari kijang. Terkesima melihat bangunan kuno di sana-sini, patung-patung di beberapa sudut bagai magnet mengundang kaki untuk menghampiri. 

Gaya ini-gaya itu, cekrek sana-cekrek sini, kamipun mengikuti komando suami saya untuk bergegas pergi ke kota atas Bergamo. Setelah berjalan beberapa kilometer mengikuti jejak google map, kami sampai juga di depan stasiun Citta Alta. Itu panggilan kota lama Bergamo, yang ada di daerah atas. 

Betul pemikiran kekasih hati saya, lebih awal lebih baik karena takut ketinggalan kereta naik ke atau dari kota atas. Tanpa naik kereta yang sudah dipakai sejak 120 tahun yang lalu itu, kami harus memanjat atau lewat dari mana? Bukit yang jadi kota atas itu setinggi 245 meter. Alamakkkk, kaki bisa mbledhos, meledak seperti balon jika harus naik pakai kaki. Itulah faktor U.

Untung selalu ada solusi di dunia ini. Segera kami menuju loket untuk membayar tiket. Meski nggak ada yang periksa tiket, kami harus patuh aturan. Tiket naik ke atas saja untuk satu orang 1,30 euro (Rp 20.000) sedangkan 2 orangnya 2,30 (Rp 35.000). 

Jika berdua dan beli tiket pp, 5,20 euro (Rp 80.000). April sampai Oktober kereta dibuka jam 9-20.00. November sampai Maret pukul 09.00-17.30. Tanggal 1 Januari dan 25 Desember kereta tidak beroperasi alias libur.

Waktu tunggunya nggak lama, paling 5 menit atau maksimal 10 menitan. Coba kalau setengah jam, harus panjianggg usus saya. Anak-anak gitu, tuh. "Wann sind wir bald da? Wann sind wir bald da?" ("Kapan kita sampai sana?Kapan kita sampai sana?"). Pleaaaase, deh.

Hopsalaaaa. Dari kereta, kami melompat keluar. Sudah sampai di atas!

Kota Bergamo terkenal dengan sepatu kulit yang keren. Nggak heran banyak toko sepatu di sana-sini. Namanya perempuan, mana tahan lihat sepatu murah, berkualitas dan cantikkk? Adu-du-duuu. Mana tahaaaan, untung dompetnya ketinggalan.

Nggak papa lah, karena dari Santa Maria Maggiore, Capella Callioni, Piazza Vecchia, Orto Botanico-botanical garden sampai Citta Alta-kota tua Bergamo berhasil kami kunjungi. Owaiyooo. Kaki seperti mau lepas sendiri. Paling enggak lebih dari 10 km telah kami lalui.

Mata saya selalu mengerjap tiada henti. Lihat ini-lihat itu. Jalan-jalan di kota yang mendapat penghargaan sebagai kota yang dilindungi EU tahun 2014 (Eropanostra Award) itu memang luar biasa. "Mimpi apa, ya, saya sampai sana? Pastinya bukan mimpi makan duren," gumam saya.

Eit, kenikmatan termangu-mangu itu terganggu bunyi cicitcuit. Aih, perut anak-anak sudah keroncongan minta diisi. Ah, ya. Waktunya untuk mengganjal perut. Apa ya? Emmm...Pizza! Tentu makanan khas Italia ini yang harus kami cari. Apakah pizza di Jerman sama rasanya dengan pizza asli Italia?

Horeee. Ketemu dengan resto kecil yang menurut saya unik, anak-anak suka. Unik? Ya, karena memotong pizza untuk kami bukan dengan pisau khusus pizza atau pisau biasa melainkan gunting! Lho, bukankah gunting untuk potong rambut atau kertas? Halahhh, ini bukan salon, bu. Pada akhirnya, survey membuktikan; rasa pizzanya memang beda. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan.

Sejam berada di sana, kami keluar meneruskan jalan-jalan di toko-toko sebelahnya. Aihhh banyak biskuit cantik. Lihat saja Boscottini Minions atau Biscottini Cartoon Tweety yang dibandrol 1,5-2 euro. Tambah parah ketemu Polenta. Duh. Sayang, perut sudah gendut.

Makan sudah, minum sudah. Matahari di Bergamo yang mampu membuat lidah buaya jadi raksasa itu mulai malas menyinari kami. Ia hendak kembali ke peraduan. Oh, ada yang lupa. Kami belum coba es krim straciatella yang katanya diciptakan orang Bergamo. Lelahpun kami lepas di sebuah cafe tua yang terkenal dengan es dan penganan imut. Namanya cafe "La Marianna", terkenal dengan es krim rasa straciatella sejak 1961. 

Stracciatella adalah es krim mirip rasa vanila dengan chip remah coklat. Konon bahannya susu, telur, coklat, whip cream dan gula. Setiap orang bisa bikin tapi rahasia kelezatannya terletak dari cara mengolahnya dan siapa yang membuatnya.

Ketika sibuk menjilat es krim, sekilas mata menangkap sesuatu. Terlihat seorang pria duduk di aspal dekat gapura. Ironi sekali. Negara Italia termasuk negara maju, masih ada orang yang terlantar di jalan?

Mata saya terlempar ke arah lain, menemukan papan bertuliskan aturan yang harus dipatuhi di area itu, seperti tidak boleh menginjak rumput dan bunga, tidak boleh memetik bunga sembarangan, dilarang naik motor dan sepeda melainkan hanya jalan kaki dan anjing nggak boleh lewat.

Stasiun Citta Alta (dok.Gana)
Stasiun Citta Alta (dok.Gana)
Kereta tua ke dan dari Citta Alta (dok.Gana)
Kereta tua ke dan dari Citta Alta (dok.Gana)
Peta kota atas (dok.Gana)
Peta kota atas (dok.Gana)
Saking hangatnya Bergamo, lidah buaya jadi raksasa (dok.Gana)
Saking hangatnya Bergamo, lidah buaya jadi raksasa (dok.Gana)
Piazza Vecchia (dok.Gana)
Piazza Vecchia (dok.Gana)
Palazzo del Podesta (dok.Gana)
Palazzo del Podesta (dok.Gana)
Katedral megah (dok.Gana)
Katedral megah (dok.Gana)
Pizzanya digunting, kresss (dok.Gana)
Pizzanya digunting, kresss (dok.Gana)
Polenta (dok.Gana)
Polenta (dok.Gana)
Biskuit yang menggoda (dok.Gana)
Biskuit yang menggoda (dok.Gana)
Bergamo Bawah

Tur di kota atas selesai. Rugi banget kalau nggak mampir lagi ke kota bawah sebab tadi hanya numpang lewat. Di kawasan itu, nggak sebanyak orang di kota atas tadi. Ada beberapa situs yang layak untuk dikunjungi seperti Accademia Carrara dan Galleria d'Arte Moderna e Contemporanea. 

Ketika melewati restoran di mana piano dipajang di depan pintu, anak-anak mulai usil memencet beberapa not. Jiahh, sumbanggg tapi nggak papa, yang penting mereka senang dan nggak ada yang larang. 

Konon, siapapun boleh memainkannya jika punya talenta. Ketika mendengarkan tamu yang bermain piano dengan lagu syahdu, suami dan sayapun berdansa. 

Anak-anak ngacir meninggalkan kami yang bak Romeo dan Juliet. Mereka malu dan memutuskan untuk merasa nggak kenal siapa kami untuk beberapa menit saja. Haduh, tepok jidaaaaat. "Mama-papa nggak punya malu."

Bangunan kuno tapi terawat (dok.Gana)
Bangunan kuno tapi terawat (dok.Gana)
Patung di mana-mana (dok.Gana)
Patung di mana-mana (dok.Gana)
Bonaparte pernah di Bergamo 1797? (dok.Gana)
Bonaparte pernah di Bergamo 1797? (dok.Gana)
Cafe La Marianne sejak 1961 (dok.Gana)
Cafe La Marianne sejak 1961 (dok.Gana)
Es krim Straciatella (dok.Gana)
Es krim Straciatella (dok.Gana)
Jangan Tiru Orang Bergamo

Itulah gambaran kecantikan Bergamo, Lombardei, Italia yang sudah terkenal ratusan tahun lamanya. Kota yang seakan selalu bergembira dan penuh dengan gemerlapnya dunia. Lebih dari itu, saya ingat pepatah "Rumput tetangga memang lebih hijau." 

Kota tua yang pernah kami singgahi pada bulan Mei 2018 itu tahun ini menghentak dunia karena memiliki catatan buruk. Setidaknya 6000 orang Italia terinfeksi corona, angka yang menyaingi Wuhan, China. Seperti dikabarkan koran Frankfurter, kota Bergamo lah yang memiliki korban terbanyak. Hari Kamis minggu lalu (19 Maret 2020), truk militer mengangkut setidaknya 800 mayat yang meninggal dalam 24 jam untuk dikebumikan. Sebagian besar adalah warga Bergamo dan harus dimakamkan di kota tetangga. Makam Bergamo sudah penuh. Mengapa bisa terjadi?

Ceritanya, para pakar virus mencoba berdiskusi tentang penyebabnya. Bukankah Bergamo kota kecil? Belakangan mereka menduga bahwa penyebabnya adalah rakyatnya pernah tidak mempedulikan apa yang terjadi sebelumnya (di China sejak Januari atau di Codogno, kota tetangga terdekat Bergamo yang sudah serius menanggapi corona sejak pertengahan Februari). 

Virus corona itu bahaya, pemerintah harus sigap dan rakyat harus ikut berpartisipasi dalam masa karantina! Namun apa yang terjadi? Justru pemda dan rakyat Bergamo tidak peduli. Semua kantor dan toko-toko masih buka. Orang masih bekerja di luar rumah dan wara-wiri.

Puncak kelalaiannya pada sebuah pertandingan sepak bola tanggal 19 Februari di Milan. Banyak orang Bergamo yang nonton demi mendukung klub kesayangan, Atalanta Bergamo. 

Dikabarkan korban corona pertama di Bergamo meninggal pada tanggal 21 Februari 2020. Pemakaman di gereja dihadiri ratusan orang, walau di kota-kota lain sudah mulai dilarang pertemuan yang memungkinkan orang social contact. Di sinilah diperkirakan oleh para pakar bahwa virus  kembali menyebar.

Kesalahan diulangi rakyat Bergamo pada tanggal 23 Februari, di mana kembali fans sepakbola nonton di stadion Milan. Mereka secara tak sengaja sebagai carrier, menyebarkan virus ketika berada di bus, kereta, bertemu keluarga di rumah dan kolega. Dua minggu setelahnya, Bergamo benar-benar kacau karena banyak yang terinfeksi dan sampai meninggal. Fasilitas kesehatan tak memadai, jumlah dokter dan perawat kurang.

Walikota setempat buru-buru menyadari kesalahan telah menganggap remeh isu corona. Sesal kemudian memang tiada guna. Nasi telah menjadi kerak. Kita berdoa saja bahwa keadaan di Italia khususnya Bergamo pulih. Jerman sudah membuka pintu membantu para pasien untuk diangkut dan  dirawat di negara yang memiliki system kesehatan lebih ciamik.

Bergamo oh Bergamo (dok.Gana)
Bergamo oh Bergamo (dok.Gana)
Semoga malaikat memandu kita (dok.Gana)
Semoga malaikat memandu kita (dok.Gana)
***

Mengunjungi kota kecil ini dua tahun lalu, saya jadi ingat Semarang. Kota kelahiran saya ini juga punya dua Kawasan; Semarang atas dan Semarang bawah. Keduanya memiliki keunikan dan kelebihan sendiri yang tidak bisa dibandingkan satu sama lain. Begitu pula dengan Bergamo.

Kompasianer, selain belajar soal bagaimana pemerintah dan rakyat memelihara kelestarian situs bersejarah, merawat dan mempromosikannya supaya banyak turis mengalir dari tahun ke tahun, kita juga hendaknya belajar dari pengalaman Italia khususnya Bergamo ini.

Saya mengajak Anda untuk tidak meremehkan virus ini seperti mereka bulan Februari lalu. Mematuhi peraturan yang dibuat pemerintah demi meredam penyebaran virus corona adalah langkah bijak untuk menyelamatkan nyawa; nyawa diri sendiri dan nyawa orang lain. Jangan pernah bilang "Nyawa saya seribu", "Saya nggak takut corona", "Saya sudah cuci tangan, sanitizer dan pakai pengaman, aman", "Di daerah saya belum ada yang sakit/meninggal karena corona", "Saya sudah minum jamu/multivitamin/fitnes", "Di tempatku orang masih boleh bebas beraktivitas" ...... Byuhhh

Betul memang, nyawa ditangan Tuhan tetapi jika sudah terjangkit virus corona ini, manusia tak akan berdaya. Apalagi sistem kesehatan di tanah air yang mungkin belum sebaik dan selengkap di luar negeri menjadi sebuah kendala dalam menyembuhkan pasien atau mengantisipasi jumlah korban.  Untuk itu, stay at home, please. Semaksimal mungkin mengerjakan tugas atau beraktivitas dari rumah.

Mari tinggal di rumah saja sampai pada titik waktu aman, di mana kita bisa kembali normal beraktivitas dan bersosialisasi. Jaga diri Anda sekeluarga. Salam sehat dan bahagia. (G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun