Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Jangan Remehkan Corona seperti Orang Bergamo, Italia

26 Maret 2020   19:08 Diperbarui: 26 Maret 2020   19:24 4973
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saking hangatnya Bergamo, lidah buaya jadi raksasa (dok.Gana)

Untung selalu ada solusi di dunia ini. Segera kami menuju loket untuk membayar tiket. Meski nggak ada yang periksa tiket, kami harus patuh aturan. Tiket naik ke atas saja untuk satu orang 1,30 euro (Rp 20.000) sedangkan 2 orangnya 2,30 (Rp 35.000). 

Jika berdua dan beli tiket pp, 5,20 euro (Rp 80.000). April sampai Oktober kereta dibuka jam 9-20.00. November sampai Maret pukul 09.00-17.30. Tanggal 1 Januari dan 25 Desember kereta tidak beroperasi alias libur.

Waktu tunggunya nggak lama, paling 5 menit atau maksimal 10 menitan. Coba kalau setengah jam, harus panjianggg usus saya. Anak-anak gitu, tuh. "Wann sind wir bald da? Wann sind wir bald da?" ("Kapan kita sampai sana?Kapan kita sampai sana?"). Pleaaaase, deh.

Hopsalaaaa. Dari kereta, kami melompat keluar. Sudah sampai di atas!

Kota Bergamo terkenal dengan sepatu kulit yang keren. Nggak heran banyak toko sepatu di sana-sini. Namanya perempuan, mana tahan lihat sepatu murah, berkualitas dan cantikkk? Adu-du-duuu. Mana tahaaaan, untung dompetnya ketinggalan.

Nggak papa lah, karena dari Santa Maria Maggiore, Capella Callioni, Piazza Vecchia, Orto Botanico-botanical garden sampai Citta Alta-kota tua Bergamo berhasil kami kunjungi. Owaiyooo. Kaki seperti mau lepas sendiri. Paling enggak lebih dari 10 km telah kami lalui.

Mata saya selalu mengerjap tiada henti. Lihat ini-lihat itu. Jalan-jalan di kota yang mendapat penghargaan sebagai kota yang dilindungi EU tahun 2014 (Eropanostra Award) itu memang luar biasa. "Mimpi apa, ya, saya sampai sana? Pastinya bukan mimpi makan duren," gumam saya.

Eit, kenikmatan termangu-mangu itu terganggu bunyi cicitcuit. Aih, perut anak-anak sudah keroncongan minta diisi. Ah, ya. Waktunya untuk mengganjal perut. Apa ya? Emmm...Pizza! Tentu makanan khas Italia ini yang harus kami cari. Apakah pizza di Jerman sama rasanya dengan pizza asli Italia?

Horeee. Ketemu dengan resto kecil yang menurut saya unik, anak-anak suka. Unik? Ya, karena memotong pizza untuk kami bukan dengan pisau khusus pizza atau pisau biasa melainkan gunting! Lho, bukankah gunting untuk potong rambut atau kertas? Halahhh, ini bukan salon, bu. Pada akhirnya, survey membuktikan; rasa pizzanya memang beda. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan.

Sejam berada di sana, kami keluar meneruskan jalan-jalan di toko-toko sebelahnya. Aihhh banyak biskuit cantik. Lihat saja Boscottini Minions atau Biscottini Cartoon Tweety yang dibandrol 1,5-2 euro. Tambah parah ketemu Polenta. Duh. Sayang, perut sudah gendut.

Makan sudah, minum sudah. Matahari di Bergamo yang mampu membuat lidah buaya jadi raksasa itu mulai malas menyinari kami. Ia hendak kembali ke peraduan. Oh, ada yang lupa. Kami belum coba es krim straciatella yang katanya diciptakan orang Bergamo. Lelahpun kami lepas di sebuah cafe tua yang terkenal dengan es dan penganan imut. Namanya cafe "La Marianna", terkenal dengan es krim rasa straciatella sejak 1961. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun