Yah. Setiba di Chamonix sudah gelap, nggak bisa main ski. Kami berencana main ski pada pagi harinya saja. Malam kami lewatkan dengan jalan-jalan di sekitar penginapan.
Ramenya... jalan, toko, restoran, caf, bar, semua dipenuhi orang-orang dari berbagai belahan dunia. Bahasa yang dipakai macam-macam. Sungguh suasana menarik, multikulti.
Ya ampun, baru pakai sepatunya saja sudah keringatan. Lha iya, karena sudah pakai baju berapa lapis, kan? Mulai dari pakaian dalam ski, sweater, celana ski dan jaket ski. Mana kaki nggak mau masuk-masuk. Jiah, seperti mau berangkat perang.
Untunglah, beberapa menit kemudian semua sudah siap. Kami berangkat menuju halte bis. Letaknya di sebelah kiri apartemen, kira-kira 5 menit jalan kaki.
Untuk mencapai Le Brevent, tempat ski tujuan kami, harus pilih bus nomor 14 atau 17. Bus datang setiap 30 menit, telat semenit alamat menunggu lama. Kaki harus cepat berjalan supaya tidak terlambat dan mata memang harus awas agar tidak tertinggal.
Selama menunggu di halte, dingin dihalau suasana nano-nano. Betapa Tuhan menciptakan manusia dengan beragam rupa dan asa.
"Bapak mau ke mana?" tanya seorang perempuan di halte bus itu.
"Mau main ski" Si kakek menunjukkan perangkat ski yang bersandar di papan jadwal bus.
"Hah, ski? Bapak umurnya berapa?" mata lawan bicaranya membesar, seakan tak percaya apa yang baru saja didengar.
"70" Si pria dengan mantab menjawab. Di Eropa orang belum merasa tua meski sudah pensiun. Baru nanti kalau sudah umuran 80-90 tahun, merasa jadi lansia. Beda, ya, dengan di tanah air Indonesia.
"Hah, 70? Nggak takut patah tulang, pak? Saya saja yang yang masih muda sudah takut dengkul saya copot kalau main ski, makanya saya pilih jalan-jalan." Si ibu lagi-lagi keheranan.
"Nggak, ini juga lagi belajar." Dengan tenang si bapak jujur.
"Hah, belajar? Bapak memang belum bisa main ski?" Si ibu makin heran.
"Belum, kan ini baru mau berangkat kursus ski."