Sejak tiba di Jerman pada bulan Mei belasan tahun yang lalu, saya sudah 100% kaget dihantam hawa dingin.
Brrr... manusia tropis, paling nggak suka dengan temperatur rendah yang membuat malas keluar rumah, menarik selimut, kulit kering bersisik dan rambut kulit berdiri. Sudah pakai berlapis-lapis, eeeh.. tetap saja kedinginan.
Ah, alah bisa karena biasa. Setelah beberapa tahun berlalu, saya mengiyakan peribahasa orang Jerman bahwa "Es gibt kein schlechtes Wetter, es gibt nur aber falsche Kleidung" atau "tidak ada istilah cuaca buruk, yang terjadi adalah orang salah pakai kostum."
Jika memakai bahan pakaian yang baik dan benar, dalam cuaca apapun, di mana saja dan kapan saja, badan tetap nyaman terlindungi.
Kegiatan yang hanya bisa dilakukan pada musim dingin setahun sekali itu memang menyenangkan. Jangan sampai dilewatkan begitu saja. Nggak percaya? Silakan coba.
Yup. Main ski di Jerman (Freiburg dan Tuttlingen) sudah, Swiss (Engelberg/Titlis dan St.Moritz) sudah, kini saatnya kami menjajah Prancis.
Chamonix! Nama natural resort yang kondang dan punya gunung segagah Mont Blanc, bak gunung bertabur tepung putih. Terima kasih kepada kompasianer Eberle yang mengajak kami ke sana. Berangkat, nggak pakai lama!.
Sehari sebelum berangkat, kami sudah mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan untuk main ski dan dimasukkan ke dalam mobil. Yaoloh.
Satu orang satu tas gede. Isinya helm, sepatu ski yang mirip robot, kaos tangan, syal, kacamata UV, jaket dan celana salju. Berarti ada 4 tas besar yang kami packing.
Semua ditaruh di atas atap mobil yang dipasang box khusus untuk perangkat ski. Semua tongkat ski dan papan ski masuk juga. Koper-koper baju dan bahan makanan masuk bagasi mobil. Lengkap, sudah. Duh, ribet sekali seperti orang mau pindahan.
Yah. Setiba di Chamonix sudah gelap, nggak bisa main ski. Kami berencana main ski pada pagi harinya saja. Malam kami lewatkan dengan jalan-jalan di sekitar penginapan.
Ramenya... jalan, toko, restoran, caf, bar, semua dipenuhi orang-orang dari berbagai belahan dunia. Bahasa yang dipakai macam-macam. Sungguh suasana menarik, multikulti.
Ya ampun, baru pakai sepatunya saja sudah keringatan. Lha iya, karena sudah pakai baju berapa lapis, kan? Mulai dari pakaian dalam ski, sweater, celana ski dan jaket ski. Mana kaki nggak mau masuk-masuk. Jiah, seperti mau berangkat perang.
Untunglah, beberapa menit kemudian semua sudah siap. Kami berangkat menuju halte bis. Letaknya di sebelah kiri apartemen, kira-kira 5 menit jalan kaki.
Untuk mencapai Le Brevent, tempat ski tujuan kami, harus pilih bus nomor 14 atau 17. Bus datang setiap 30 menit, telat semenit alamat menunggu lama. Kaki harus cepat berjalan supaya tidak terlambat dan mata memang harus awas agar tidak tertinggal.
Selama menunggu di halte, dingin dihalau suasana nano-nano. Betapa Tuhan menciptakan manusia dengan beragam rupa dan asa.
"Bapak mau ke mana?" tanya seorang perempuan di halte bus itu.
"Mau main ski" Si kakek menunjukkan perangkat ski yang bersandar di papan jadwal bus.
"Hah, ski? Bapak umurnya berapa?" mata lawan bicaranya membesar, seakan tak percaya apa yang baru saja didengar.
"70" Si pria dengan mantab menjawab. Di Eropa orang belum merasa tua meski sudah pensiun. Baru nanti kalau sudah umuran 80-90 tahun, merasa jadi lansia. Beda, ya, dengan di tanah air Indonesia.
"Hah, 70? Nggak takut patah tulang, pak? Saya saja yang yang masih muda sudah takut dengkul saya copot kalau main ski, makanya saya pilih jalan-jalan." Si ibu lagi-lagi keheranan.
"Nggak, ini juga lagi belajar." Dengan tenang si bapak jujur.
"Hah, belajar? Bapak memang belum bisa main ski?" Si ibu makin heran.
"Belum, kan ini baru mau berangkat kursus ski."
Dan memang selama bermain ski, banyak lansia yang wara-wiri di Chamonix. Entah sendiri atau bersama keluarga; pasangan, anak dan cucu, mereka tampak menikmati. Nggak takut jatuh, nggak takut hilang, nggak takut encok apalagi patah tulang. "Non, non, non."
Yang disadvantage, tetap bisa main ski
Dari dua hari yang saya inginkan, rupanya saya jadi juga 4 hari main ski. Idih, gaya banget. Selain capek pasti duitnya juga, dong. Selama 4 jam main ski harus bayar 48 euro atau sekitar Rp 700 ribuan. Yang sehari penuh, hanya 7 euro lebih mahal dari tarif separuh hari.
Bisa saja sih, saya santai, jalan-jalan dan belanja. Tapinya saya merasa sayang bisa tergoda membuang uang untuk shopping ini-itu, mending buat trip lain waktu, lebih seru.
Saya ingat pepatah yang mengatakan "don't collect things, collect moments", paling enak mengumpulkan momen ketimbang koleksi barang.
Sadar banget keagungan Tuhan ada di sekeliling. Rugi kalau tidak naik dengan lift dan menuruninya dengan ski. Meluncurrrr!
Perempuan yang duduk di sana, seorang disadvantage atau difable. Siapa bilang kalau kaki sakit atau kaki nggak bisa berdiri tegak nggak boleh main ski, nggak bisa main ski? Di Chamonix, apa saja bisa diatur. Come on, let's go. (G76)