Berawal dari haul suami yang baru saja merayakan umur emasnya; "Kalau ultah, aku ingin lihat ombak monster di Nazare."
Hah? Lihat? Ombak? Monster? Nggak salah?
Ingatan saya teringat pada tsunami di Indonesia, Jepang dan Thailand yang menelan jutaan jiwa. Atau pengalaman kami di Khao Lak (Thailand), yang mirip Aceh, pernah luluh lantak karena ombak monster dari laut tetapi kini kembali dibangun.
"Ah, lebih baik memang jauh-jauh dari garis pantai yang ombaknya bermeter-meter dan bisa mengamuk" begitu pikir saya.
Ketakutan itu luntur ketika ingat bahwa Portugis adalah negara Eropa yang masuk visa Schengen dan belum saya kunjungi. Yup ... mau koleksi negara! Kalau nggak sekarang, kapan lagi? Hidup sangatlah singkat. Mumpung masih ada rejeki, sehat dan bahagia, memang harus dituruti.
Kami pun berangkat berempat. Perjalanan dari rumah memakan waktu dua jam, tiga jam terbang ke Porto, kota wisata yang cantik dengan bangunan tua dan wisata kuliner yang aduhai. Setelah puas, kami melanjutkan trip. Aih, dua jam naik mobil baru sampai ke Nazare.
Hari sudah gelap, perut sangatlah lapar. Sesuai rekomendasi resepsionis, kami menuju "Rosa." Restoran kecil yang sudah lebih dari setengah abad berdiri. Dekorasi interiornya unik, makanannya murah dan lezat, seperti masakan ibu-ibu rumahan.
Usai dari resto, suami ngotot mengajak saya menatap ombak. Ya ampun, mana saya berani? Dari buku saku tentang Portugal, ada pesan bahwa wisatawan nggak boleh menganggap remeh ombak dari laut bebas itu.
Saya enggan ke sana malam-malam,nggak lihat. Lebih baik kalau hari sudah terang. Kamipun mengitari kota Nazare. Tak ada perasaan takut dibegal perampok atau copet. Seperti berada di kampung sendiri. Nazare memang beda.
Dari beli suvenir, kami menuju pantai. Beberapa surfer sedang berlatih. Baju oranye dan hijaunya sangat mempesona. Genjreng, gitu loh dan kalau di air bisa segera kelihatan. Terlihat beberapa orang Jerman sedang mengambil video dua surfers perempuan berbaju selam warna hitam. Karena hujan rintik-rintik, tim memakai jas hujan tipis warna putih.
Ombak menggulung. Lagi dan lagi. Suaranya pun menghentak telinga. "Duar-duarrr ...."
Seorang pria berjaket kuning yang sepertinya dari Bay watch, menghentikan squadnya. Ia berharap kami tidak terlalu dekat di garis pantai. Ombak bisa menyambar dan tubuh bisa hilang. Kami harus agak menengah saat menyusuri pantai. Si pria pergi. Ia baru saja menjalankan tugas dari walikota untuk menjaga keamanan pengunjung. Tugasnya belum tunai, hari belum gelap.
"Habis ini kita ke mana?" Suami saya sudah puas menatap ombak.
"Ke menara," usul saya sembari menatap menara yang ada di tebing sana.
Jalan terasa berat karena pasir seperti tak rela kami meninggalkan pantai. Sepatu kami harus pelan-pelan melangkah.
"Awas ranjau," teriak suami. Ia wanti-wanti supaya kotoran anjing tidak terinjak oleh sepatu, bisa bau. Di Jerman, pemilik anjing yang jalan-jalan dengan piaraannya dianjurkan untuk mengambil kotoran anjing dengan plastik dan membuangnya di tempat sampah. Jadi bukan dibiarkan begitu saja dan meledak di sepatu orang. Tak heran selalu gampang ditemukan pojok tempat pengambilan kantong plastik yang bisa hancur, khusus untuk anjing.
Jalan, jalan dan jalan terus di antara bangunan tua Nazare yang sempit. Hmm, sekilas serasa di Italia. Selama itu pula, kami berempat banyak ngobrol. Saya minta anak-anak untuk tidak menyalakan HP agar mampu menikmati dunia. Jauh-jauh ke Portugis cuma lihat Handy, apa bedanya?
Hoppala, ada Ascensor. Kami sudah sampai di stasiun trem yang akan mengantar kami ke menara mercusuar. Beanya 2,90 euro untuk dewasa dan anak-anak hanya 1,50 euro untuk pp. Masinis yang masih muda melayani pembayaran dan mempersilakan kami masuk ke kereta. Kereta selalu berjalan setiap 15 menit sekali, kami harus menunggu karena tadi baru saja ada kereta yang naik.
Ketika kereta naik ke atas, pandangan kami disuguhi tanaman seperti Aloe Vera di kanan-kiri. Larinya kereta tak kencang dan tak lama, hanya sekitar 10 menit sudah sampai atas. Semua penumpang keluar dan menuju mercusuar. Selama itu banyak kedai souvenir yang menarik hati untuk dihampiri. Orang Nazare punya talenta seni yang tinggi. Lihatlah keramik-keramik di sana. Aduh, cantik sekali.
Dua puluh menit berlalu, kami sampai di depan pintu gerbang hitam bertuliskan "Nazare." Kabut membuat penglihatan kami tak sempurna. Namun dingin tak mampu menghalangi kami untuk terus berjalan sampai museum Surfing.
Memasukinya, kami harus bayar 1 euro per orang. Sebelum naik ke atas, kami boleh mengunjungi museum surfing terlebih dahulu. Kemudian, kami naik tangga batu ke atas. Iya, ke menara!
Foto sudah dibikin di depan Menara, saatnya kami menuruni tangga untuk menatap ombak monster lebih dekat. Anak tangga dari besi yang memang bukan untuk mereka yang takut akan ketinggian. Sesampai di bawah, kami saksikan bagaimana ombak menghantam karang atau membayangkan bagaimana para surfers menantang si ombak. Biasanya ombak sudah tinggi pada akhir bulan Oktober, rupanya alam berbicara lain. Ombak monster di Nazare konon bisa mencapai 30 meter. Serem, deh.
Anak-anak sudah rewel minta pulang, tetapi suami kasih saran untuk melihat museum dulu. Di sana, berjajar papan-papan surfing dari atlet kondang dari berbagai negara. Contohnya dari Jerman, Sebastian Steudner. Pria kelahiran tahun 1985 itu sudah belajar surfing di Hawaii. Sejak tahun 2013, pria dari tim Mercedes itu menyebut Nazare sebagai rumah keduanya pada musim dingin. Jerman boleh bangga karena ia menjadi penakluk big wave pada tahun 2010 dab 2015 atau jawara dari Eropa pertama di Big Wave Surfing Award. Jerman dilawan.
Ada lagi yang menarik adalah sosok perempuan berambut panjang secantik Maya Gabeiro. Si cewek Brasil berhasil memecahkan rekor dunia dengan ombak setinggi 20,72 meter pada tahun 2018.
Untuk rekor dunia kelas pria dicomot rekan senegaranya, Rodrigo Kaxa. Si cowok kelahiran 1979 itu mencapai ombak 24,38 meter setahun sebelumnya.
Saya pikir para surfer juga romantis dan berjiwa seni. Betapa tidak. Di antara jajaran nama dan papan, ada biola bertengger di sana. Nuno Santos membuktikan bahwa kerasnya dunia surfing yang dekat dengan kematian, masih ada kelembutan di sana. Musik adalah sebagian dari hidupnya. Makanya banyak film dan dokumenter yang melibatkannya sebagai musisi.
Kami memang hanya tiga hari di Nazare, tetapi rasanya kami sudah lama tinggal di sana. Suasana yang nyaman, ombak yang menyambar tak pernah henti, makanannya yang lezat dan udaranya yang segar membuat kami betah. Surga dunia sudah pasti ada di sini.
Ahhh, kami harus ingat bahwa tujuan hidup kami masih panjang. Ombak monster yang biasa ditunggangi para surfers memang tidak terlihat di mata kami. Walaupun begitu, ombak 3-5 meter saja sudah mampu memuaskan hati suami, sekaligus menakutkan hati saya untuk segera pamitan dan pergi. Jumpa lagi? (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H