Setelah saya telusuri, saya baru tahu bahwa video itu lebih dulu diposting komandan Kompasiana, Kang Pepih Nugraha di facebook.
Video yang diklik 927 orang dan mendapat 58 like itu dishare 15 kali. Komentar orang macam-macam; ada yang mengambil hikmah, ada yang terharu, ada yang mengatakan bahwa ada anak yang tegar meski ibunya bekerja, ada pula yang mengingatkan bahwa setiap anak pernah punya mimpi seperti itu tapi berubah seiring bertambah usia. Setiap anak dilahirkan dengan karakter yang beraneka.
Dari sana, ada resep untuk tetap bahagia menunggui anak-anak di masa kecil tetapi tetap tidak meninggalkan keinginan untuk melakukan sesuatu dalam hidup. Banyak perempuan Indonesia yang hobi tata boga buka catering dari partai kecil tingkat RT sampai ekspor ke luar negeri.
Yang pinter njahit, menerima jahitan atau bikin butik bahkan menjadi desainer terkenal. Yang senang berkebun, menanam sayuran dan buah untuk dipasarkan dan menyehatkan masyarakat. Masih banyak contoh-contoh yang sudah dipamerkan perempuan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Semua itu ternyata bisa dijalani dari rumah, home office atau apalah namanya, yang bisa diatur bersama-sama saat merawat anak-anak.
Apa yang Sebaiknya yang Dipilih Perempuan?
Menurut saya, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan sebelum memilih yang mana:
- Apa tujuan berkarir? Cari uang/penopang ekonomi, aktualisasi diri atau kepuasan diri/ego?
- Jika anak ditinggal, siapa yang bisa dipercaya selain pembantu/baby sitter? Ibu kandung, tante, budhe, kakak, adik, saudara atau lembaga khusus?
- Jika berada di rumah, apa kegiatan sesuai bakat minat untuk membuat kita tidak bosan?
- Diskusi dengan suami dan dukungannya atas keputusan kita untuk tinggal di rumah atau karir. Apa katanya?
- Dengarkan tanggapan anak-anak jika ibu tinggal di rumah atau ibu berkarir.
- Apakah nanti kita menyesal tinggal di rumah? Apakah menyesal berkarir tapi meninggalkan anak-anak di rumah? Stop stress, hidup masihlah panjang. Nikmati surga dunia sebelum bermimpi menuju surga akhirat.
- Percaya dirikah kita berada di rumah atau di luar rumah/karir? Tetaplah rawat diri, jangan mentang-mentang di rumah penampilan awut-awutan dan mencerminkan hidup tidak tertata. Atau jika bekerja di luar rumah, penampilan berlebihan dan mengundang hal-hal yang tidak diinginkan.
Saya Pilih Dua-duanya
Begitu pula dengan saya. Waktu belum menikah bertekat mau tetap mengejar karir meski nanti suatu kali akan berumah tangga. Gaya banget.
Akibatnya, dalam masa awal pernikahan dan masih berada di tanah air, saya melakukannya. Ibu mertua mengeluh dan meminta saya berhenti bekerja demi anak-anak. Ibu kandung saya sendiri menyerahkan keputusan ke saya; apakah tinggal di rumah atau berkarir, terserah. She knows me.
Sebuah dilema. Tak mudah untuk segera berhenti bekerja. Sampai suatu hari, tak ada hujan dan tak ada angin, saya memutuskan untuk berhenti bekerja. Resign tanpa beban. Huhahhhh.
Sampai suatu ketika kami harus pindah Jerman. Dukungan untuk selalu berada di rumah sangat didukung oleh cara hidup, adat dan budaya orang Jerman. Tinggal di negeri yang memiliki 16 negara bagian itu, harus mandiri. Semua harus dikerjakan sendiri. Oleh sebab itu, anak-anak saya rawat sendirian. Suami kerja dari pagi sampai sore. Yang bantu? Mana adaaaaa?
Hidup tidak mudah dan mewah seperti di Indonesia. Betapa tidak Di tanah air ada pembantu, ada tukang, ada warung, ada bapak-ibu, ada saudara, ada teman atau tetangga yang membantu. Tidak, tidak ada di sini! Jerman mah bedaaa.
Kebiasaan para perempuan Jerman untuk tinggal di rumah sampai anak-anak masuk TK, sudah SD atau lulus SD (kelas IV), membuat saya semakin yakin bahwa kalau tinggal di rumah saja meski berpendidikan tinggi, adalah hal yang biasa. Saya tidak sendiri. Saya nggak boleh belagu dan gengsi apalagi stress.