Dalam pembuatan undangan pembukaan acara pameran Indonesien, Paradise der 1.000 Inseln yang kami adakan dengan dukungan Rathaus dan museum, saya mengusulkan sekretaris pemda untuk membubuhi undangan dengan RSVP supaya tahu berapa orang yang akan hadir, kursi yang harus disiapkan dan snack yang harus disajikan.
Rupanya, kebiasaan dari Rathaus, kantor pemda setempat tidak begitu. Usulan saya diabaikan. Mungkin di Jerman daerah saya tidak musim RSVP. Hati saya sungguh kacau, saudara-saudara!
Tamu tidak datang tetapi kursi penuh
Buntutnya? Ajaib, Tuhan memang Maha Baik. Pada hari H, 85 kursi beralas bantal coklat, putih, kuning, hijau, biru dan pink yang kami sediakan di museum, penuh! Sedangkan grup angklung Mbak Umi cs yang kami boyong dari kota sebelah, Friedrichshafen harus berdiri selama 2 jam-an. Kok, bisa?
Begini, daftar undangan yang saya buat sekitar 60 tetapi banyak di antaranya yang untuk (atas nama) dua orang meski satu undangan saja. Jadi total 90 orang yang diharapkan menghadiri acara, belum termasuk grup musik dan petugas museum. Sebelumnya, Pak Buergermeister sudah wanti-wanti saya: "... Maximal 60 (orang) undangan saja." Mengingat kalau kebanyakan pasti repot dan makan dana besar. Begitu terka saya.
Ternyata setelah saya amati daftar catatan siapa saja yang diundang, hanya 50% yang hadir. Satu persatu saya tatap, beberapa yang hadir tidak kami kenal. Sedangkan orang-orang yang mendapat undangan untuk satu orang, membawa pasangannya atau temannya atau anggota keluarganya lagi. Bahkan ada yang membawa sampai 4 orang.
Saya ngakak. Mungkin harus ditulis secara jelas: undangan berlaku hanya untuk satu orang. Maklum, Jerman memang termasuk negara yang nritik, rinci dalam menjelaskan sesuatu secara gamblang dan harus ditulis hitam di atas putih. Jadi barangkali tanpa tulisan tersebut, undangannya terkesan semu dan bisa diterjang. Mereka bisa bilang, "Di undangan nggak ada larangan, kok, bawa teman banyak ke acara..."
Untung nggak bawa pakdhe, budhe, om, tante, aak, teteh, pembantu .....
![Undangan aka Einladung tanpa RSVP (dok.Gana)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/09/24/undangan-5d891918097f363d4d3520c5.jpg?t=o&v=770)
Bagi saya, undangan dengan RSVP itu penting untuk memudahkan penyelenggara acara dalam mengatur tetek bengek supaya acara lancar. Memang tidak ada gading yang tak retak tetapi jika kepercayaan itu penting, kontrol lebih penting lagi.
Selain itu, pemikiran saya, undangan dengan atau tanpa RSVP perlu mendapatkan respon dari si penerima. Tidak hanya masalah pengaturan kursi dan snack saja, melainkan itu sebagai tindakan terpuji atau setidaknya rasa terima kasih sudah mendapat undangan dari penyelenggara. Bisa lewat e-mail, whatsapp, SMS, message di medsos, surat, telepon atau disampaikan secara langsung. Dipilih-dipilih-dipilih. Mudah, kan? Kalau bisa dipermudah, jangan dipersulit lah.
Tahukah tamu undangan bahwa tidak semua orang diundang atau diizinkan untuk mengikuti suatu acara? Tahukah tamu undangan bahwa barangkali penyelenggara punya waiting list tamu yang ingin diundang tapi tidak bisa diundang karena kuota sudah penuh? Tahukah tamu undangan, jika sudah masak banyak tapi tidak ada yang menyantap masakan bisa mubadzir?
Seandainya ada umpan balik, dan tahu ada tamu yang tidak bisa datang, bisa saja penyelenggara mengirim undangan kepada tamu waiting list. Seandainya ada umpan balik, tukang masak jadi perlu memasak terlalu banyak atau terlalu sedikit, pas.
Bagi saya, respon atas undangan berlaku meski tanpa tertulis RSVP. Sedangkan jika ada tulisan RSVP, hukumnya wajib. Itulah sebabnya, dalam setiap acara memang sebaiknya tertulis RSVP sebagai kode bagi setiap tamu undangan untuk tidak lupa mengkonfirmasi, memberikan respon entah negatif atau positif.
Kewajiban memasukkan tanggal acara dalam kalender
Nah, ini kebiasaan buruk berikutnya. Jika sudah menyatakan akan datang tapi tidak datang karena ... lupa! Langganaaaaan.
"Kok, kamu nggak datang?" tanya saya pada seorang tamu undangan yang kebetulan tetangga.
"Yah, lupa. Maaffff." Si orang tepok jidat.
"Lupa? Pasti orang Indonesia, ya?" Begitu kata suami saya yang pernah lama tinggal di Indonesia dan tahu salah satu karakter orang Indonesia yang kalau ditanya jawabannya "Maaf, Pak, lupa." Jiahhhh.
"Habisnya undangan sudah dapat lama sekali," tepis si perempuan.
"Lain kali dimasukin kalender dong. Meski masih lama, bisa direncanakan. Bukan waktu yang mengatur kita tapi kita yang mengatur waktu. Di iPhone kann sudah canggih, kalau nggak ya di kalender dinding deh, dilingkari atau pakai spidol merah, noh," pesan saya.
Untung saya nggak bilang suruh coret di dinding, sama cecak dan semut.
Saya paling senang memasukkan janji apa saja di dalam kalender HP. Namanya saya orangnya pelupa, kalau tidak dimasukkan ke kalender pasti saya terlewat dan kecewa, bahkan bisa saja mengecewakan orang lain. Nggak enak, kan. Datang nggak datang, konfirmasi.
Jika dahulu saya suka menenteng buku tebal kalender untuk memasukkan jadwal ini-itu dan mencatat hal-hal penting, sekarang sudah ada smart phone. Thanks to high technology. Bahkan itu bisa terkoneksi dengan jam yang ada di tangan dan mengingatkan janji acara pada waktu yang tepat.
Masalahnya, alat-alat canggih itu tidak akan berfungsi kalau tidak diberdayakan oleh si manusia. Ah, manusia memang tempatnya lupa. (G76)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI